INTENSITAS, Sebuah Cerpen Tentang Cinta


"aku mencintaimu dalam diam, kubisikan perasaanku pada nyamuk yang terbang bebas dibidik oleh tepukan tangan"

Hanya kata itu yang malam ini aku tulis pada sobekan kertas bungkus rokok. Untuk yang kesekian kalinya aku tak berdaya untuk sekedar memberikan ucapan perasan padanya. 

Bukan transaksional aku mengatakannya. Aku bicarakan lebih mengarah pada bayangan menakutkan tentang akibatnya. Karena pada kenyataannya bayangan adalah hitam. Aku tidak takut mengatakan cinta, namun aku lebih takut lagi pada jawaban setelahnya. Aku bilang sekali lagi tidak takut minum vodka, aku hanya khawatir pada ketakutanku jika saja pusing memaksaku untuk terguling. 

Dan benar saja, malam ini setalah aku menulis, kudesak diriku untuk menyadari. Sadar jika semua yang ada pada pikiran dan hati adalah benar-benar adanya. Tidak ada kebohongan yang lebih berbohong dari bohong itu sendiri. Sampai di sini aku menyadarinya. 

"Aku adalah pembohong" Ya, itu mungkin pikirku sendiri. Tapi bukankah kejujuran itu lebih penting daripada sekedar keberanian. Namun, bukankah kejujuran juga dipengaruhi oleh keberanian?. Stop, kita sudahi perdebatan itu. 

Kesadaranku membawa pada terangnya dunia di pagi hari. Semua telah berlalu semalam tadi. Mimpiku nampak begitu jelas bagaimana aku menceburkan diri di sebuah pantai yang begitu biru. Jangan tanya airnya, sudah pasti asin. Dan di dalam air yang asin itu tak sengaja aku meminum air yang cukup banyak. Air yang begitu banyak masuk dalam perutku, penuh sesak hingga akhirnya memberontak dan aku muntah dengan hebatnya. Air yang begitu asin dan sangat korosif meracuni diriku, terkapar, tak berdaya di atas pasir putih menghampar. Tak ada yang menolong. 

Pantai yang begitu ramai dengan para pelesir yang menikmati angin dan pasir tak ada yang peduli barang seorang pun. Aku tergulai tanpa kepedulian. Bibirku yang membiru, jari yang kian keriput karena kedinginan hebat, tergolek nahas di tengah sang bayu. 

"Tuhan, ini kah jalan akhirku. Ini kah jalan pulangku dimandikan alam?" 

Dalam mimpiku yang tampak begitu nyata hingga aku berpikir akan akhir hayatku, tertikam keadaan dan membusuk tak di pedulikan. Namun untung, dalam kondiaku demikian datang seorang laki-laki kurus tak berkaus, ia hanya memakai celana pendek tanpa motif, memghampirkku dan membopongku menjauh dari bibir pantai. Setelah itu ia pergi sebentar dan kembali membawakan sebuah kelapa hijau segar. Ia memintaku untuk menghabiskan air kelapa hijau tersebut. Namun perutku seakan menolak, banyaknya air laut yang masuk dan sebagian yang masih tersisa menolak kehadiran air kelapa tersbut. Dari situ, kembali aku muntah dengan hebat. 

Tubuhku kian lemas. Pikirku, apakah laki-laki tua ini menolong kesembuhanku atau menolong mempercepat mautku. Ah, dunia semakin gelap, gelap, hitam dan aku tak sadar lagi. 

Tanpa kutuai jawaban, aku telah terbangun di pagi hari yang beranjak siang. Aku bangun dengan pikiran kacau tak karuan. Bingung dengan kejadian dalam mimpi itu. Bingung juga memikirkan pagi ini aku akan bagaimana. Wajar pengangguran akut seperti diriku selalu disibukkan dengan kesibukan menyibukkan diri. 

Lama aku termenung diatas ranjang. Mataku yang memerah, perutku yang ikut sakit membayangkan mimpi itu, meracuni hasratku untuk bergerak. Padahal kantung kemih ini rasanya hendak pecah karena penuh. Dan aku masih belum punya niatan untuk beranjak membuangnya. 

Hampir dua jam aku merenung, dan dari situ aku mulai tersadar tentang mimpiku semalam, bahwa air laut pasti ada pasang dan surutnya. Namun yakin pasang surutnya air laut tak akan merubah rasanya, rasanya selamanya akan tetap asin. Mungkin begitu juga dengan cinta. Dinyatakan atau tidak, disadari atau tidak, berani atau tidak, bukankah itu tetap cinta. Cinta tetaplah cinta, tidak akan mengurangi intensitas dan siklusnya. 

Penulis adalah M. A. A, salah satu kader PMII Attanwir Bojonegoro 
30/11/2020 

Komentar

Postingan Populer