Aswaja



RISALAH SEJARAH ULAMA ASWAJA NUSANTARA DAN DISTORSI YG DILAKUKAN KAUM WAHABI TERHADAPNYA(Part 1)

Description: https://fbcdn-sphotos-c-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash2/554274_404142603012501_1459445804_n.jpg 

“....Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para rohaniawan non-Yahudi (*muslim) dalam rangka menghancurkan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari faham agama telah dikumandangkan dimana-mana. Tinggal masalah waktu maka agama-agama itu akan bertumbangan…” (*Protokol zionis ke 17). 

Salah satu kejahatan Wahabi dan seluruh varian harokah yg berafiliasi serta menganut akidah yg sama dengannya diluar pentahrifan kitab kitab ulama klasik adalah memanipulasi sejarah ulama aswaja, khususnya ulama aswaja nusantara yg sangat dihormati oleh kalangan umat Islam berbasic tradisional.

Seperti yg ditulis baru baru ini di sebuah situs resmi harokah yg mengklaim bahwa KH. Wahab hasbullah salah seorang tokoh pendiri NU yg juga berperan dalam pendirian NKRI sebagai seorang yg mendukung sebuah konferensi yang memperjuangkan tegaknya kembali khilafah, dalam hal ini tentu saja khilafah versi pemahaman mereka, bukan versi pemahaman aswaja. (*silahkan di cek tulisan mengenai hal tersebut di http://hizbut-tahrir.or.id/2012/05/15/sejarah-umat-islam-indonesia-sejarah perjuangan-syariah-dan-khilafah/).

Sebelum itu telah kami temukan juga sebuah tulisan disebuah blog mengenai KH hasyim asy’ari yg di katakan panjang lebar sebagai ulama yg anti terhadap bedug dan perayaan maulid (*silahkan baca di http://axingx.blogspot.com/2012/07/kh-hasyim-asyary-tolak-beduk-maulid.html).

Selain itu mereka juga memanipulasi fakta sejarah polemik yg terjadi antara Syeikh Ahmad khatib al minangkabawi dan ulama ulama thariqat di ranah Minang di zamannya sebagai alibi untuk mengatakan beliau sebagai seorang ulama yg anti thariqat sufi dan pendukung gerakan pembaharuan islam ala wahabiyah Muhammad abduh.

Hal ini tentunya membuat kami sebagai generasi muda aswaja pemerhati sejarah bertanya tanya: Manufer apalagi yang dilakukan oleh kaum wahabi di Indonesia sekarang ini? Apakah setelah gagal atau paling tidak kurang berhasil memalingkan kaum muslimin dunia dan Indonesia pada khususnya dari akidah asy’ariyah-maturidiyah dan dari madzhab Imam yg empat dengan segala vonis sesat, bid’ah dan kafirnya lalu mereka sekarang melakukan ini?

Atau memang mereka sudah tidak percaya diri lagi mengusung nama ulama ulama wahabiyahnya yg selama ini selalu mereka jadikan sumber hujjah sehingga mereka berusaha membajak ulama ulama aswaja sebagai sumber hujjah baru mereka...???

Entahlah..., namun menurut pengamatan kami ketidak pedulian generasi muda Islam akan sejarah keislaman negerinya sendirilah yg membuat mereka menjadi sasaran empuk bagi kejahatan wahabi yg satu ini. Siapapun yg cenderung silau dengan apapun yg berbau timur tengah alias Arab sentris, lebih mengenal ulama ulama kholaf/mutakhir timur tengah wabil khusus yg mengusung sesuatu yg mereka sebut sebagai gerakan pembaharuan islam yg berpusat di Arab saudi sana, maka dialah mangsa yg tak perlu lagi diburu oleh para wahabi yg melakukan distorsi sejarah ini. Atau mereka yg bersemangat meneriakkan gerakan penegakan kembali khilafah, pemberlakuan syariah Islam yg salah kaprah dan basah kuyup dalam gegap gempita gerakan Pan islamisme radikal-fundamental yg berakar dari buah fikiran Muhammad abduh, Rasyid ridha, Hassan albana, Taqiyudin an-Nabhani, Sayyid Quthb dan sejenisnya maka pastilah juga yg menjadi mangsa empuk korban distorsi sejarah ini.

Kami tidak bicara omong kosong, coba lihat berapa banyak anak muda Islam yg aslinya berasal dari keluarga berbasic nahdiyin dan mungkin juga Pertiyin yg putar haluan menentang akidah dan amalan amalan orang tuanya sendiri setelah mengenal Islam dari sumber yg salah. Sumber sumber yg menampilkan wujud Islam yg tampak kemasan luarnya lebih nyunnah, yg semangatnya berapi api, gagah  dan mengobral syurga instant serta murah berbungkus kaleng berlabel jihad dunia maya yg merupakan produk import dari Saudi arabia, Mesir, Yaman, Qatar, Kuwait, Iran, Palestina, syuriah dan Jordania.

Produk produk import wahabisasi global yg berbumbu manis jargon kembali kepada Al Qur’an dan hadits sesuai pemahaman para salafus sholeh dengan dalil dalil yg shahih, shorih dan rojih.

Aaahaah...., siapakah yg tak akan mabuk kepayang lupa daratan yg dipijak, lupa air bumi mana yg diminum dan lupa udara mana yg setiap detiknya dihirup jika terkena slogan agama sedahsyat itu? Sedangkan yg dari kalangan Muhammadiyin lebih parah lagi karena sejarah Muhammadiyah memang telah mengalami distorsi sedemikian rupa secara sistematis semenjak berpuluh puluh tahun lalu. Mereka lebih mengenal tauhid trinitas ala wahabi yg tak berdasar dan bak martabak dibelah tiga itu ketimbang sifat 20.

Mereka malu mengakui kenyataan bahwa ibunya ikut pengajian aswaja, hobi maulidan, ratiban, dan tahlilan, atau si mbahnya ada yg berbaiat kepada thariqat thariqat sufi serta hobi tirakatan dan ngobong menyan. Mereka lebih mengenal pemikiran dan fatwa fatwa Syeikh Abdul aziz bin baaz dan sang muhadits nomer wahid Syeikh Albani ketimbang pemikiran Syeikh Muhammad sa'ad al khalidi mungka tuo atau KH. Hasyim asy’ari misalnya.

Dan kalaupun mereka mengenalnya maka sosok yg dikenal adalah sosok ulama aswaja yg telah didistorsikan oleh tangan tangan kreatif seperti di 2 buah link yg kami cantumkan diatas.

Lalu yg terjadi kemudian adalah klaim klaim sok tahu kalau mereka dalam aktifitas gerakan dakwahnya juga terpengaruh oleh pemikiran Yai Hasyim misalnya. Namun disaat bersamaan mereka memuja muja Syeikh Muhammad bin Abdul wahab sampai ke langit yg ketujuh...., oooooh muwahiddun..., entah kemana logika dan akal sehatmu kau campakkan? Masihkah dia ada bersemayam di dalam kepalamu saat ini seperti bersemayamnya Allah di atas arsy-Nya yg kau yakini sebagai akidah yg haq? Atau dia sudah kabur entah kemana.

Atau mungkin kesadaran historismu yg teramat sangat miskin itulah yg membuatmu begitu? Karena tidaklah mungkin seorang yg akalnya berfungsi dengan baik mengaku terpengaruh oleh 2 tokoh yg bahkan dalam masalah ushuludin saja bagai bumi dan langit bedanya, dimana yg satu menyelisihi yg lainnya.

Namun mereka ini sebenarnya adalah korban..., ya korban dari sebuah konspirasi manipulasi sejarah yg secara sistematis dilancarkan dari dalam tubuh Islam sendiri oleh Illuminati-Freemasonry serta agen agennya.

Karenanya, sebuah usaha pangkajian sejarah aswaja nusantara secara mendalam sangatlah diperlukan. Ketahuilah saudara saudara kami yg hobi klaim dan memanipulasi sejarah sana sini, tindakan kalian akan mendapat perlawanan yg sengit dari kami, sejarah tak bisa kalian putar balikkan seenak kepentingan kalian...

KEHEBATAN ULAMA-ULAMA ASWAJA NUSANTARA DI MASA LALU

Description: https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-frc3/376303_404143283012433_1782528146_n.jpg
Ulama ulama kita dahulu memang hebat hebat adanya. Mereka telah menjadi tokoh tokoh dunia dan mengharumkan serta melambungkan nama nusantara ke pentas dunia islam internasional. Nama-nama ulama seperti Syekh Yusuf Al- Makassary(Makassar) dan Syekh Abdul Rauf Al-Sinkili (Singkel, Aceh), merupakan ulama yang malang melintang menuntut ilmu di Haramain pada abad ke-17. Syekh Abdul Shomad Al-Palimbani (Palembang), Syekh Nafis Al-Banjari (Banjar, Kalsel), Syekh Arsyad Al-Banjari (Banjar, Kalsel) merupakan ulama tasawuf thariqat Samaniyah yang berpengaruh pada abad ke-18.

Kita juga mengenal nama-nama seperti Syekh Nurudin Al-Raniri (Aceh), Syekh Abdul Rahman Al Masry Al Batawi (Jakarta), Syekh Khatib Sambas (Kalimantan), dan lain-lainnya.

Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, ulama kita malah makin hebat-hebat di Mekkah. Karena mereka tidak sekadar menuntut ilmu, tapi justru menembus pusat ilmu di Mekkah, yaitu sebagai pengajar dan imam di Masjidil Haram. Tercatat ada 2 nama ulama Indonesia yg menjadi Imam di mesjidil haram Mekkah, yaitu Syeikh Nawawi al bantani dan Syeikh Ahmad khatib al Minangkabawi.

Tersebut jualah syeikh Muhammad saad al khalidi mungka tuo yg telah melanglang buana menuntut ilmu sampai ke Mekkah, Madinah dan Yaman disaat bahkan penduduk Indonesia mungkin belumlah mengenal memakai celana apalagi yg berbahan dan bermodel pantalon. Atau mungkin sebagian dari kita juga akan asing mendengar nama KH. Kholil bangkalan, KH. Sholeh darat al Semarangi, Buya maulana Syekh Sulaiman ar-Rasuli Canduang, Buya H. Sirajuddin Abbas, Syekh Tuanku Shaliah Keramat dan Syeikh mahfudz al termasyi. Serta masih puluhan bahkan ratusan nama ulama ulama Indonesia yg hebat di masanya yg tidak mungkin kami sebutkan satu persatu disini..

Seluruh ulama pilih tanding nusantara yg kami sebutkan diatas adalah ulama berakidah asy’ariyah-maturidiyah dan bermadzhab syafi’iyah, madzhab yg lazim dianut oleh penduduk muslim nusantara semenjak dulu kala.

Tak satupun diantara mereka yg berakidah Mujasimah-musyabihah, dan berfaham ekstrim nyeleneh anti madzhab imam yg empat alias wahabiyah. Lebih jauh lagi seluruh mereka adalah para sufi, ulama ulama thariqat yg bertassawuf.

Sebuah kenyataan historis yg mencengangkan mengingat ulama ulama thariqat saat ini dikecam secara membabi buta dengan sebutan “kaum sufi yg tolol dan terbelakang” oleh orang-orang ahistoris tak tahu diri yg mengklaim diri mereka sebagai penegak tauhid.

Mereka buta akan fakta bahwa setelah era keemasan Walisongo di tanah Jawa dan ulama ulama besar di tanah sumatera serta melayu pada umumnya para ulama sufi yg tolol dan terbelakang itulah yg menjadi imam imam panutan tempat bertanya dan menuntut ilmu serta merenangi samudera  keilmuan islam yg nyaris tak terlihat bibir pantainya.

Dari tangan tangan mulia para ulama serta wali waliyullah inilah kemudian lahir ulama ulama seperti KH. Hasyim asy’ari, KH. Wahab hasbullah, KH. Ahmad dahlan dan lainnya yg kelak sangat berperan dalam membebaskan bangsa Indonesia pada umumnya dan umat islam nusantara pada khususnya dari belenggu penjajahan Belanda.

GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM MESIR DAN EFEKNYA PADA ULAMA-ULAMA INDONESIA SERTA POLEMIK ANTARA GOLONGAN TRADISIONAL SERTA MODERN YANG DIMANIPULASI OLEH WAHABI DIMASA KINI. 

Mereka para ulama yg kami sebutkan panjang pendek perihalnya diatas terkemuka di dalam dunia keilmuan Islam tak hanya di nusantara melainkan juga di dunia selama abad ke 18 dan paruh kedua abad ke 19 serta awal abad ke 20.

Hingga akhirnya hembusan gerakan pembaharuan islam bertiup dari Mesir, setelah beberapa waktu sebelumnya berhembus pula dari Najd. Namun anehnya sumber hembusan terdahsyat justru datang dari Perancis.

Ya, tersebutlah 3 tokoh disini: Jamaludin al afghani, Muhammad  abduh dan Rasyid ridha. Uniknya majalah Al manaryang merupakan corong propaganda ide ide pembaharuannya diterbitkan pertama kali saat mereka berada di Paris Perancis. Bukankah sebuah keanehan pembaharuan islam namun dihembuskan dari negeri kafir penjajah yg terang terang dikenal sebagai salah satu markas gerakan Freemasonry dunia...??

Sepintas lalu ide pembaharuan yg digagas mereka itu sangatlah luar biasa. Ide ide tentang modernisasi pendidikan islam, sosial dan politik tentunya tak dapat dipungkiri memang diperlukan oleh kaum muslimin di seluruh belahan dunia yg terjajah oleh bangsa bangsa barat saat itu. Tiba tiba saja Al manar menjadi konsumsi bacaan populer para pelajar Islam di Mekkah saat itu, tak terkecuali ulama ulama asal nusantara seperti KH. Ahmad dahlan dan KH. Hasyim asy'ari yg sedang belajar disana. Tak sedikit dari para pelajar itu lalu beramai ramai ke Mesir untuk bertemu dan kursus kilat gerakan tajdid (*pembaharuan) kepada Muhammad abduh dan muridnya Rasyid ridha.

Namun gerakan modernisasi Islam alias gerakan tajdid ini menyimpan racun yg justru sangat mematikan bagi umat Islam itu sendiri yaitu pelepasan diri dari kaidah bermadzhab kepada madzhab yg empat serta pemberangusan thariqat thariqat sufi bahkan yg mu’tabarah sekalipun.

Mereka juga menolak madzhab akidah asy’ariyah-maturidiyah yg telah berabad abad dikenal sebagai akidah ahlussunnah wal jam’ah. Bayangkan..., bukankah itu ibarat seekor kambing yg tak bisa mengaum namun ingin diakui sebagai singa bukan???

Selain itu mereka juga mengecam keras tradisi keislaman seperti maulid, perayaan isra mi’raj dan berziarah ke makam orang orang sholeh. Dan mereka sangat menekankan bahwa pintu ijtihad masih terbuka lebar dan siapapun bisa dan berhak melakukannya. Walhasil lahirlah mujtahid mujtahid gadungan yg kurang ilmu, kering hikmah, miskin khazanah, dan bahkan tanpa sanad  keilmuan yg jelas, sehingga fatwa fatwa yg dihasilkanpun bukan alang kepalang nyeleneh bin ngawurnya.

Semua orang asal bisa bahasa arab agak sejurus dua jurus, sepukul dua pukul maka dia bisa dan boleh berijtihad sekehendak hatinya tanpa harus memperhatikan ijma ulama terdahulu.

Kalau perlu silahkan saja menyalahkan pendapat mereka, shahihkan, dhoifkan, maudhu-kan, bahkan kafirkan muhadits sekelas Imam Bukhari dan imam Muslim jika hadits mereka tak sesuai dengan akidah wahabiyah yg merujuk kepada Syeikh ibnu taimiyah. Ini sama saja dengan membebaskan segerombolan anak paud mengurus keperluan hidupnya sendiri tanpa ada bekal yg cukup dan tanpa ada yg mengawasi.

Agama Islam itu bisa kau fahami dengan seenak nafsu dan akalmu... Do what you want, do what you wilts. Dari luar gerakan pembaharuan ini sangat mempesona dengan ide ide modernisasi Islam yg bertujuan mengangkat Islam dari keterbelakangan, namun isinya tak lebih dari gerakan wahabisme jilid dua.

Bahkan yg menarik adalah Muhammad abduh sendiri mengakui bahwa dia sangat terpengaruh pemikiran mu’tazilah alias Islam liberal, suatu faham Islam yg ditolak mentah mentah dengan reaksi yg sangat overacting oleh pengagum pengagumnya saat ini.

Kemu’tazilahan Abduh bukanlah sebuah rahasia lagi di dunia kajian sejarah faham wahabi dikalangan para ulama aswaja dan pemerhati masalah konspirasi saat ini. Bahkan seorang bernama David livingstone di dalam bukunya Illuminati and terrorism dengan tegas dan berani mengatakan Abduh, Ridha, dan Jamaludin al afghani sebagai agen-agen freemasonry yg ditanam di dalam tubuh islam.

PELURUSAN DISTORSI SEJARAH, FITNAH SERTA KLAIM WAHABI TERHADAP SYEIKH AHMAD KHATIB AL MINANGKABAWI, SERTA POLEMIKNYA DENGAN THARIQAT NAQSABANDIYAH DI MINANG KABAU. 

Description: https://fbcdn-sphotos-h-a.akamaihd.net/hphotos-ak-frc3/65242_404144409678987_1276309537_n.jpg?lvh=1
Gelombang gerakan pembaharuan ini ditanggapi dengan reaksi yg beragam oleh para pelajar dan ulama Indonesia saat itu baik yg belajar di Mekkah maupun tokoh tokoh pergerakan Islam yg berada di tanah air.
Golongan pertama adalah mereka yg cenderung menerimanya bulat bulat sebagai sesuatu yg mutlak dan sebagai sebuah keniscayaan, termasuk ide Abduh dan Ridha untuk meninggalkan taqlid kepada madzhab imam yg empat dan pemberangusan thariqat thariqat sufi.

Sedangkan golongan kedua adalah mereka yg  menerima dan menyerap gagasan pembaharuan Islam Abduh dalam bidang modernisasi pendidikan, sosial dan kesadaran politik, namun dengan tegas menolak mentah-mentah gagasan untuk keluar dari kaidah taqlid bermadzhab kepada Imam madzhab yg empat serta mengikuti dan mengamalkan tassawuf melalui thariqat thariqat sufi.

KH. Hasyim asy'ari dan KH. Ahmad dahlan termasuk kepada golongan yg kedua ini, sedangkan ulama seperti Syeikh Ahmad syurkati (*pendiri Al Irsyad) dan pimpinan organisasi pergerakan Islam seperti HOS. Tjokroaminoto termasuk kepada golongan yg kedua. Tentunya terjadi perdebatan, ketegangan dan tarik menarik diantara kedua golongan ini, namun diantara mereka tetap saling menghargai dan menghormati. Cita cita untuk mencapai Indonesia yg merdeka dari penjajahan bangsa kafir Belanda yg menjadi impian seluruh rakyat Indonesia saat itu membuat mereka mau tak mau harus duduk dan berjuang bersama.

Disinilah kaum wahabi hari ini melakukan distorsi-distorsi sejarah yg cukup signifikan. Mereka mengatakan bahwa Syeikh Ahmad khatib al Minangkabawi yg merupakan guru dari nyaris seluruh ulama Indonesia yg belajar di Mekkah saat itu sebagai seorang ulama yg anti tassawuf, anti thariqat dan anti kaum sufi, sejalan dengan Abduh dan Ridha. Ini tentunya cukup menggelikan, memang Syeikh Ahmad khatib pernah terlibat polemik permasalahan thariqat dan hukum adat yg berlaku di alam Minang kabau dengan ulama ulama dan kaum niniak mamak-cadiak pandai di ranah minang.

Memang beliau juga terlibat berbantah bantahan cukup panjang dengan ulama ulama thariqat Naqsabandiyah dan mengecam thariqat itu melalui kitabnya Izhar Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bis Shadiqin (*artinya: "Menyatakan kebohongan orang orang yg menyerupai orang orang yg benar", terbitan 1906). Di kitab  yg membuat heboh urang awak di masanya tersebut beliau menyerupakan orang yg bersuluk dengan memakai rabithah (*Membayangkan wajah mursyid saat melafalkan dzikir pada prosesi suluk) sama dengan orang menyembah berhala.

Lebih lanjut beliau juga memfatwakan haramnya harta pusako serta hukum berwaris dari mamak (*paman) kepada kemenakan sebagaimana yg lazim berlaku dalam adat Minang. Kecaman ini telah dikupas habis oleh seorang ulama besar, pendekar Naqsyabandiyah, Syeikh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka Tuo (w. 1922) lewat kitab balasannya Irghamu Unufil Muta’annitin fi Inkarihim Rabitathalwashilin (*artinya: "Meremukkan hidung penantang, yaitu mereka yang mengingkari Rabithah orang-orang yang telah sampai kepada Allah).

Polemik ini kemudian ramai dibicarakan oleh ulama ulama muda wabil khusus yg berasal dari Minang kabau yg tentunya mendukung Syeikh Ahmad khatib. Sikap mereka ini disinyalir akibat terpengaruh oleh bacaan mereka yaitu majalah Al manar yg diasuh oleh Muhammad abduh dan Rasyid ridha.

Perbantahan seputar masalah thariqat ini kemudian terus berlanjut, masing masing kedua ulama besar ini kemudian mengeluarkan satu kitab lagi untuk berargumentasi. Namun para ulama Minang dan seluruh Sumatera sepakat bahwa argumen dan dalil dalil dari Syeikh Muhammad sa'ad mungka yg didukung dengan ilmu alat yg lengkaplah yg jauh lebih kuat dan unggul ketimbang apa yg disampaikan oleh Mufthi Mekkah Syeikh Ahmad khatib.

Maulana Syekh Muda Wali al-Khalidi Naqsyabandi, ulama besar di Aceh, pernah menulis dalam kitabnya "Intan Permata" mengenai keputusan perdebatan Syekh Ahmad Khatib dengan Syekh Sa’ad Mungka bahwa dalil dalil yg dikemukakan syeikh ahmad khatib itu ibarat seekor harimau yg telah terpenggal lehernya oleh kitab tulisan Syeikh Muhammad saad mungka tuo.

Kelak di kemudian hari Syeikh Ahmad khatib dan Syeikh Muhammad sa'ad mungka tuo bertemu disebuah jamuan makan di Mekkah. Syeikh Ahmad khatib tercengang dan takjub dengan kerendahan hati, kezuhudan serta kefasihan dan kealiman Syeikh Muhammad sa'ad mungka tuo saat berbicara dengannya. Mereka berbincang bincang akrab, bahkan Syeikh Ahmad khatib yg adalah seorang mufthi saat itu mempersilahkan Syeikh Sa'ad duduk disebelahnya sbg tanda penghormatan. Nyata betul kalau perdebatan mereka jauh sekali dari perilaku takfir dan tabdi' seperti yg lazim ditulis para akademisi sejarah Islam berhaluan wahabi saat ini.

Jelas sekali kalau polemik mereka hanyalah sebatas keilmuan saja, selayaknya 2 raksasa intelekual Islam yg saling menguji sampai batas mana kefahaman mereka terhadap Al-qur'an dan hadits, tak lebih.

Hal itu, karena walau bagaimanapun mereka adalah sama sama ulama berakidah asy'ariyah-maturidiyah, sama sama bermadzhab Syafi'iyah dan bahkan lebih dari itu: sama sama mursyid thoriqoh. Ya..., Syeikh ahmad khatib al minangkabawi walau bagaimanapun keras argumennya tentang thariqat, namun beliau tetaplah seorang sufi belaka.

Beliau memang mempunyai pandangan pandangan khusus ttg thariqat, namun bukan seluruh thariqat yg dikritisinya atau bahkan dibantainya seperti yg dilakukan Abduh dan ridha, melainkan hanyalah thariqat Naqsabandiyah khalidiyah saja, dan itupun argumennya mentah dibasuh oleh Syeikh Muhammad sa'ad mungka tuo.

Terlebih dari itu bagaimanapun luasnya keilmuan beliau namun hingga akhir hayatnya tak sekalipun beliau berlepas diri dari madzhab Imam yg empat, dalam hal ini madzhab Syafi'iyah. Begitupula murid murid beliau baik yg berasal dari Minang maupun dari tanah Jawa, walaupun akrab dengan Al manar tapi mereka tetaplah berpegang teguh kepada tradisi bermadzhab dan mengikuti thariqat thariqat sufi.

PELURUSAN DISTORSI SEJARAH YANG DILAKUKAN OLEH WAHABI TERHADAP POLEMIK PEMBAHARUAN DI MINANGKABAU

Description: https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash2/554334_404144519678976_1192108447_n.jpg
Tersebut jualah seorang tokoh ulama besar Indonesia asal Sumatera barat/Minang kabau yg disebut sebut oleh kaum wahabi saat ini sebagai tokoh pembaharu pendukung dan pengadopsi gerakan tajdid Muhammad abduh dan Rasyid ridha serta mendukung gerakan pemurnian tauhid ala Wahabiyah. Beliau adalah Syeikh DR. Abdul Karim Amarullah (*ayah Buya Hamka) di ranah Minang.

Keduanya memang merupakan tokoh modernisasi Islam di Indonesia, dan memang pernah mengenal dan mengakrabi ide ide Abduh yg termaktub di dalam majalah Al manar.

DR. Abdul Karim amarullah atau yg lebih dikenal dengan Inyiak Rasul ini merupakan pendiri sekolah dan perkumpulan Sumatera Thawalib di Parabek Padang panjang serta orang yg pertama kali memperkenalkan perkumpulan Muhammadiyah di ranah Minang.

Bersama DR. Abdullah Ahmad Padang (*pendiri Adabiyah School) dan lainnya dia menerbitkan surat kabar untuk menyambung ide-ide pembaharuan itu di Padang, dengan nama “Majalah al-Munir” (senada dengan al-Manar di Mesir). Memang seperti halnya guru mereka Syeikh Ahmad khatib merekapun melakukan kritisi terhadap praktek thariqat wabil khusus thariqat naqsabandiyah khalidiyah yg lazim dianut kaum ulama tua di Minang kabau.

Hal ini menimbulkan polemik yg merupakan kepanjangan dari polemik thariqat antara Syeikh Ahmad khatib dan Syeikh Muhammad sa'ad mungka. Masing masing fihak mengemukakan pendapatnya. Fihak Sumatera Thawalib melalui majalah Al munir nya mengkritisi kejumudan kaum tua yg terlalu sibuk dengan urusan suluk dan beramal bathiniyah namun melupakan keadaan  sosial masyarakat yg terpuruk dibawah kaki penjajah Belanda saat itu.
Sebagai aksi nyatanya mereka mendirikan sekolah sekolah dinniyah dan madrasah modern yg pendidikannya mengkombinasikan pendidikan ala Islam dan barat sebagai anti tesis dari pendidikan Islam ala surau yg lazim berlaku di ranah Minang dan tanah melayu pada umumnya.

Dan ulama ulama tua Minangpun tak tinggal diam, puluhan kitab ditulis mereka untuk membantah tuduhan jumud dan kolot dari kaum muda tsb. Diantaranya Maulana Syeikh Sulaiman ar-Rasuli (w. 1970) yang mengarang berbagai risalah tentang Naqsyabandiyah, salah satunya yang terkemuka ialah Risalah Aqwalul Washithah fi Zikri wa Rabithah; kemudian Syeikh Abbas Qadhi Ladang Laweh, Syeikh Arifin Batu Hampar, kemudian Syeikh Abdul Wahid “Beliau Tabek Gadang” Payakumbuh.

Dan saat polemik tersebut semakin meruncing sampai ke ranah khilafiyah dan furuiyah fiqih maka para ulama kaum tua di Minang merespon gerakan pembaharuan kaum muda tsb dengan mendirikan PERTI atau Persatuan Tarbiyah Islamiyah pada tahun 1930, maka lengkaplah sudah babak polemik agama Islam antara kaum muda/modernis dan kaum tua/tradisionalis di ranah minang.

Namun seiring dengan waktu setelah masa pergolakan dan perang dingin antara kaum pembaharu muda dengan Sumatera Thawalib dan Muhammadiyahnya serta kaum tua dengan PERTI-nya tsb, mereka lalu hidup berdampingan dalam persaudaraan hingga hari ini. Sungguh ikatan persaudaraan mereka sebagai muslim dan ikatan emosional adat dan kekerabatan di alam Minang kabau tak memberi sedikitpun tempat bagi perilaku takfir dan tabdi' ala Wahabiyah.

Terlebih lagi semoderat apapun pemikiran DR. Abdul karim amarullah akibat pengaruh gerakan tajdid ala Abduh dan Ridha di Mesir dia tetaplah jua seorang ulama yg sangat kental corak dan latar belakang thariqatnya. Bahkan seperti halnya gurunya diapun adalah seorang sufi belaka jua.

Sang Inyiak Rasul ini adalah anak dari seorang ulama besar dan legendaris Minang kabau bernama Syeikh Amrullah Tuanku Kisa’i al-Khalidi Naqsyabandi ad-Danawi. Ayahnya tersebut yg lebih dikenal di kalangan masyarakat Minang saat itu dengan sebutan Tuanku Kisai ini adalah seorang ulama pewaris kaum paderi dan seorang mursyid thariqat Naqsabandiyah khalidiyah dan beberapa thariqat lainnya. Dari ayahandanya inilah Inyiak Rasul mendapatkan ijazah thariqat Alawiyah dan Haddadiyah.

Begitupula dengan DR. Abdullah ahmad Padang dan Syeikh Muhammad Jalil jambek serta ulama ulama Minang pengusung modernisme lainnya juga adalah orang orang yg berlatar belakang thariqat belaka adanya.
Dan perlu juga kami tuturkan disini bahwa tak sedikit pula murid dari Syeikh Ahmad khatib al minangkabawi yg justru malah menjadi ulama ulama thariqat Naqsabandiyah dan cenderung berdiri di sisi kaum tua.

Jadi di Minang kabau tak ada itu gerakan tajdid membabi buta ala Abduh dan Ridha di Mesir yg secara serampangan memberangus thariqat thariqat sufi dengan menggunakan kekuasaan Abduh sebagai seorang mufthi. Tak ada pula itu obral tabdi' apalagi takfir dan tindakan penghalalan darah sesama muslim sebagaimana layaknya corak kelam dan menjijikkan yg mewarnai sejarah gerakan wahabi dimanapun dia berada.

Perdebatan boleh bergemuruh laksana guruh di dalam topan badai, argumen dan dalil boleh diumbar selebar dan sepanjang jalan berkelok ampek puluah ampek nan mahsyur itu, namun hanya sebatas kajian keilmuan saja, tiadalah lebih.

Modernisasi tak pelak memang perlu dilakukan sebagai keniscayaan tuntutan zaman, namun bukan berarti menjadi alibi dan legitimasi untuk mendobrak tatanan kaidah agama yg telah ijma' selama nyaris 1000 tahun lebih seperti tradisi dan kaidah bermadzhab.

Inilah yg sangat disadari oleh kaum muda pembaharu di Minang kabau, mereka mengganti yg usang dengan yg baru sesuai tuntutan zaman tanpa harus membuang seluruhnya. Mana yg baik dan bisa dipakai maka tetaplah dipertahankan karena merenovasi sebuah rumah bukanlah dengan cara meruntuhkan pondasi rumah tersebut dengan dinamit, sungguh hanya orang kurang akal dan telah pesong otaknya saja yg melakukan hal itu.

Tapi walaupun demikian adanya, tiadalah dapat dipungkiri kalau angin gelombang pembaharuan ini berperan tidaklah sedikit dalam memudarkan tradisi belajar agama di surau yg lazim berlaku di ranah minang.

Lengang sudah surau surau tempat anak nagari mempelajari ilmu agama, mengkaji kitab kitab kuning ulama ulama terdahulu, mengenal adat nan basandi syara' dan basandi kitabullah, serta menyelami dan meniti jenjang syariat, hakikat dan ma'rifat menuju sosok insan kamil.

Zaman kini telah berganti, gamis dan sarung, saluak, kopiah serta imamah telah berganti dengan kemeja, celana pentalon serta setelan jas ala Eropa. Ilmu alat seperti nahwu, shorof, balaghoh, ma'ani, bayan, mantiq dan ushul telah tergantikan dengan pelajaran agama bermetode barat yg serba modern dan menggunakan huruf latin. Tradisi "lalok di surau" (*menginap di mesjid/mushola) selepas mengaji dan sholat Isya telah lenyap sudah menjadi cerita masa lalu bagi generasi muda nan lugu dan tak tahu asa barasa carito cadiak pandai urang awak.
Dan akibatnya semakin sedikit yg bisa membaca kitab kitab tulisan hasil buah fikiran dan manisnya lautan madu ilmu ulama ulama angku nan tuo. Kitab itu kini semakin habis dimakan usia, seiring habis dan terangkatnya kejayaan dan keemasan serta harum mewanginya ranah minang sebagai salah satu gudangnya ulama, sastrawan serta kaum cerdik pandai di nusantara. Inikah yg dinamakan pembaharuan yg gegap gempita bergaung suaranya dari Mesir hingga ke pojok pojok kampung yg orang orangnya bahkan tak tahu ada negeri lain di dunia ini selain nagari nan diapik gunung  singgalang dan danau maninjau....?? Tajdid...., oooooh.... Tajdid...

DR. Abdul karim amarullah dan seluruh ulama pembaharu di ranah Minang hingga akhir hayatnya tetaplah berpegang teguh kepada madzhab akidah asy'ariyah-maturidiyah, madzhab fiqih Syafi'iyah dan berthariqat dengan thariqat thariqat yg mu'tabarah.

Tak sejengkalpun mereka melepaskan diri dari taqlid kepada madzhab Imam Syafi'i sebagaimana yg diserukan Abduh dan Ridha. Beliau tetaplah mengikuti jejak ayahandanya Tuanku Kisai, gurunya Syeikh Ahmad khatib al minangkabawi dan ulama ulama terdahulu dalam hal kaidah tradisi bermadzhab kepada salah satu madzhab yg empat, dalam hal ini madzhab Syafi'iyah.

Tiadalah beliau mengenal apalagi menganut tauhid yg dibagi tiga laksana membelah martabak yg dibeli di pinggir jalan itu, tak ada itu Uluhiyah, Rubbubiyah dan Asma wa shifat dalam kamus dalil Inyiak Rasul.

Maka dengan itu klaim murahan kaum Wahabi bahwa para pembaharu di Minang adalah kaum wahabiyah adalah kebohongan belaka. Sebuah usaha pendistorsian sejarah yg sangat licik dan menjijikkan serta dengan mudah dapat ditelanjangi di siang hari bolong di tengah ramainya orang di balai.

Coba fikir..., seorang wahabi macam apa yg berbaiat kepada 2 thariqat sekaligus seperti beliau? Wahabi macam apa pula yg tetap berpegang teguh dan taqlid kepada Imam Syafi'i...? Bahkan putera beliau yaitu Buya Hamka yg tak luput jua dari distorsi sejarah dan klaim para wahabi bahwa beliau berfaham tauhid ala Najd itupun sejatinya juga adalah seorang Asy'ariyah-Syafi'iyah.

Walaupun dalam beberapa masalah beliau cukup moderat toh menjelang akhir hayatnya Buya Hamka akhirnya berbaiat kepada KH. A Shohibulwafa Tajul Arifin atau lebih dikenal dengan Abah Anom dari pesantren Suryalaya dibawah thariqat Qodiriyah Naqsabandiyah.

Terlebih lagi beliau juga menulis sebuah buku tentang tassawuf berjudul "Tassawuf modern", patahlah sudah klaim kaum wahabi terhadap beliau laksana kayu lapuk yg telah usang dimakan rayap.

Dan jika klaim serta distorsi yg mereka lakukan terhadap kaum pembaharu di era modern masih kurang maka mereka kemudian melakukan hal yg sama liciknya kepada figur ulama ranah Minang yg jauh lebih tua lagi. Tuanku Imam bonjol, Tuanku nan renceh dan kaum Paderi di Minang diklaim juga oleh mereka sebagai ulama yg berfaham Wahabiyah.

Hal ini tentunya jauh lebih menggelikan bagi kami karena klaim ini teramat sangatlah lebih mentah dari klaim mereka terhadap kaum muda pembaharu di era modern. Hal tersebut karena Tuanku Imam bonjol, Tuanku nan renceh dan seluruh ulama paderi yg mahsyur dengan sebutan "Harimau nan salapan" itu adalah murid dan salik dari Tuanku nan tuo di koto tuo, seorang ulama tua dan mursyid thariqat Syattariyah.

Dengan demikian terlepas dari keradikalan mereka dalam menegakkan syari'at Islam di ranah minang dan menghadapi kaum adat pada masanya, Tuanku Imam bonjol dan kaum paderi lainnya tak lain tak bukan adalah kaum sufi jualah kiranya.

Mau tak mau lagi lagi kami harus bertanya: Wahabi macam apa pulakah yg berthariqat Syattariah? Wahabi manakah yg dikepalanya melingkar lilitan imamah seperti kaum paderi?

Kami rasa tak satupun wahabi yg bisa menjawabnya. Sungguh cahaya kebenaran itu memang lebih terang dari sinar mentari bagi orang orang yg mengetahuinya, bagi yg tak pernah berhenti manggalinya dan bagi yg diberi petunjuk oleh Allah SWT.

***Bersambuung:
PELURUSAN DISTORSI SEJARAH YANG DILAKUKAN WAHABI TERHADAP KH. AHMAD DAHLAN DAN MUHAMMADIYYAH-NYA DI TANAH JAWA. 

==Milisi Oposisi Naga, 02-03-2013==
























pemikiran aswaja


Ahlussunnah wal Jama’ah
1. Pembentukan faham ASWAJA
 Memahami Aswaja Sebagai manhaj al-fikr (Cara Pandang/Ediologi)
Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) adalah serangkaian tuntunan hidup yang diajarkan oleh para kiai, ustadz, atau guru di pesantren-pesantren, madrasah atau sekolah dan sudah kita amalkan saat ini. Banyak kalangan, khususnya kader NU sendiri, yang salah faham menganggap Aswaja terpisah dari amal keseharian sehingga membutuhkan disiplin ilmu atau kajian khusus, dan ternyata yang kemudian dibahas hanyalah sekelumit sejarah Aswaja, bukan Aswaja itu sendiri.
Secara umum aswaja adalah ajaran yang mengikuti Rasulullah SAW, melalui praktik-praktik yang dilakukan oleh para sahabat, tabi’in, mujdtahiddin, dan imam mazhab. Hal tersebut sesungguhnya sudah kita lakukan dalam kehidupn sehari-hari, pada dasarnya aswaja berisi tentang ajaran tauhid, fiqh, tasawwuf dll yang sering kita lakukan namun secara terminologi kita belum memahaminya secara mendalam.
Melacak akar-akar sejarah munculnya istilah ahlul sunnah waljamaah, secara etimologis bahwa aswaja sudah terkenal sejak Rosulullah SAW. Sebagai konfigurasi sejarah, maka secara umum aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahap. Pertama, masa imbreonal pemikiran suni dalam bidang teologi yang mana memilih salah satu pendapat yang paling benar. Pada tahap ini boleh dibilang masih pada tahab konsulidasi dan tokoh penggeraknya adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M). Kemudian yang kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam al-Syafi’I (w.205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahab ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama.
Beberapa frinsip dasar yang harus dipegang teguh apabila aswaja sebagai manhaj al-fikr yaitu prinsip tawassut (moderat), tawazun (netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasammuh (toleran). Moderat tercermin dalam bidang hukum, sikap netral (tawazun) berkaitan dengan sikap politik, keseimbangan (ta’adul) dan toleran (tasammuh) terefleksikan dalam kehidupan social, cara bergaul dalam kondisi social budaya masyarakat.
• Internalisasi aswaja melalui sekolah aswaja
Kalau kita pahami aswaja sebagai manhaj al-fikr (Cara Pandang/Ediologi) tentang islam. Maka sangat perlu untuk memberikan pemahaman mendasar tentang aswaja bukan pada sejarah maupun teori. Namun yang mendasar untuk difahami adalah substansi/isi aswaja itu sendiri seperti apa.



2. Metode Pemikiran Aswaja
 Memahami Aswaja (Ahlussunah Waljamaah) sebagai sebuah metode pemikiran dan pergerakan Islam masih sangat penting, khususnya dewasa ini di mana Islam tengah berada di persimpangan jalan antara kutub kanan dan kiri. Tarik menarik yang terjadi antara dua kutub ini tidak terlepas dari pergulatan Islam itu sendiri dengan realitas yang selalu hidup. Wacana penyegaran pemahamanan keagamaan kemudian menjadi sebuah kebutuhan jaman yang tidak dapat terelakkan. Boleh dibilang bahwa unsur dinamik yang terdapat dalam agama Islam sejatinya terletak pada multi-interprestasi yang selalu berkembang dalam merespon perubahan realitas yang terjadi melalui satu titik mainstream Islam berupa pedoman kitab dan sunnah yang diyakini oleh umatnya.
Hal ini yang membedakan dengan agama-agama lainnya, penyeregamanan (konvergensi) satu model interprestasi sumber otentik agama yang dimilikinya menjadikan nilai sebuah agama itu justru kehilangan kesegarannya. Betapapun secara historis upaya memunculkan bentuk tafsir yang berbeda tersebut telah ada, namun muaranya lebih kepada pengelupasan agama yang mereka anut dari panggung kehidupan materialistik.[2]    
Sebagai bukti dari dinamika progresif yang terdapat dalam Islam ini, adalah dari larisnya wacana-wacana keislaman yang diangkat baik dalam skup nasional ataupun internasional, yang dijelmakan ke dalam ruang aktualisasi gagasan dan karya, baik buku, jurnal, institusi, seminar, pelatihan dan lain-lain. Wacana yang diangkat pun sangat beragam dari mulai yang paling kanan sampai yang paling kiri, dari yang paling fundamentalis sampai  yang liberal. Seluruhnya membentuk siklus pencerahan yang berangkat dari misi mengembalikan Islam sebagai sebuah agama yang mampu menjadi solusi masa kini dan juga masa depan, dan nampaknnya tidak ada yang meyempalkan wacananya dari sumber otentik al-kitab dan sunnah.
Dari sini sesungguhnya yang diperlukan dari kita adalah kearifan untuk menyikapi problematika multi-tafsir pemahaman keagamaan ini secara apresiatif dan tidak dianggap sebagai sebuah pencemaran agama. Yang harus dipersiapkan adalah sejauhmana kesanggupan kita melakukan dialektika yang komprehensif dalam menyaring gagasan mana yang lebih berdaya manfaat dan memberikan kemaslahatan bagi umat Islam masa kini. Di samping kebesaran hati kita untuk membuka pikiran dalam menerima berbagai varian gagasan yang dimunculkan tersebut. Tak terkecuali bagi Aswaja yang telah lama diyakini sebagai teologi yang banyak diyakini atau dianut oleh umat Islam di dunia, ia juga tak ubahnya mangalami dialektika multi-tafsir yang sama. Maka menggiring Aswaja pada satu bentuk konsep yang tunggal hanya akan menjadikan ajaran Aswaja kehilangan kesegarannya. Lebih-lebih aswaja hanya berfungsi sebagai salah satu bentuk metode berpikir dalam memahami lautan Islam dan keislaman yang maha luas.    

Aswaja dan Klaim Keselamatan

Munculnya Aswaja sebagai sebuah sistem atau paham tidak lepas dari kondisi sosio-politik pada masa awal Islam yang berkisar pada paruh awal abad ketiga hijriyah, di mana kekuasaan politik Islam baru mengalami masa transisi dari kekuasaan Dinasti Umayyah kepada Dinasti Abbasiyah. Pada masa itu sangat marak tradisi intelektual baik dalam bentuk perwujudan karya lokal ataupun pemindahan karya luar untuk proses transformasi internal. Di mana perhatian dinasti Abbasiah terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sungguh begitu tampak, dan seakan menjadi prioritas proyek pembangunan rezim kekuasaannya. Di samping pula mulai lahirnya beragam pemikiran umat Islam dalam merespon berbagai persoalan yang baru muncul ketika itu. Tepatnya dibawah kepiawaian intelektual Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H.) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H.) aswaja sebagai sebuah paham dan teologi independen mulai diperkenalkan.
Sebelumnya di era kenabian, umat Islam masih bersatu, dalam artian tidak ada golongan A dan tidak ada golongan B, tidak ada pengikut akidah A dan tidak ada pengikut B, semua berada dibawah pimpinan dan komando Rasulullah Saw. Bila terjadi masalah atau perbedaan pendapat antara para sahabat, mereka langsung datang kepada Rasulullah Saw. itulah  yang menjadikan para sahabat saat itu tidak sampai terpecah belah, baik dalam masalah akidah, maupun dalam urusan duniawi.
Kemudian setelah  Rasulullah Saw. wafat benih-benih perpecahan mulai tampak dan puncaknya terjadi saat Imam Ali RA. menjadi khalifah. Namun perpecahan tersebut hanya bersifat politik, sedang akidah mereka tetap satu, meskipun saat itu benih-benih penyimpangan dalam akidah sudah mulai ditebarkan oleh Ibnu Saba’, seorang yang dalam sejarah Islam dikenal sebagai pencetus faham Syi’ah (Rawafid). Tapi setelah para sahabat wafat, benih-benih perpecahan dalam akidah tersebut mulai membesar, sehingga timbullah paham-paham yang bermacam-macam yang dapat dibilang ‘menyempal’ dari ajaran Rasulullah Saw.
Saat itu umat Islam terpecah dalam dua bagian, satu bagian dikenal sebagai golongan-golongan ahli bid’ah, atau kelompok-kelompok sempalan dalam Islam, seperti Mu’tazilah, Syi’ah (Rawafid), Khawarij dan lain-lain. Sedang bagian yang satu lagi adalah golongan terbesar, yaitu golongan orang-orang yang tetap berpegang teguh kepada apa-apa yang dikerjakan dan diyakini oleh Rasulullah Saw. bersama sahabat-sahabatnya.[3]
Golongan yang terakhir inilah yang kemudian menamakan golongan dan akidahnya Ahlus Sunnah Waljamaah. Jadi golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah golongan yang mengikuti sunnah-sunnah nabi dan jamaatus shohabah. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW : “bahwa golongan yang selamat dan akan masuk surga (al-Firqah an Najiyah) adalah golongan yang mengikuti apa-apa yang aku (Rasulullah Saw) kerjakan bersama sahabat-sahabatku”.[4]
Dengan demikian akidah Ahlus Sunnah Waljamaah adalah akidah Islam yang dibawa oleh Rasulullah dan golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah umat Islam.  Sedang golongan-golongan ahli bid’ah, seperti Mu’tazilah, Syi’ah (Rawafid) dan lain-lain, adalah golongan yang menyimpang dari ajaran Rasulullah Saw yang berarti menyimpang dari ajaran Islam. Dengan demikian hakekatnya embrio akidah Ahlus Sunnah Waljamaah itu sudah ada sebelum lahirnya Abu Hasan al-Asyari dan al-Maturidi. Begitu pula sebelum timbulnya ahli bid’ah atau sebelum timbulnya kelompok-kelompok sempalan.
Sekalipun pemahaman tentang klaim keselamatan yang hanya dimiliki oleh kelompok Aswaja telah banyak dikritik oleh banyak pemikir dan ulama Islam, khususnya  dari aspek penjabaran klasifikasi perpecahan yang terjadi di tubuh umat Islam ke dalam angka pas 73 kelompok, diragukan oleh sebagian ulama. Contohnya beberapa ulama seperti Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H), atau as-Sahrasthani (w. 548 H), dan Ibnu al-Jauzi (w. 597 H)  lebih memahami redaksional hadits perpecahan umat Islam (Hadits Furqah) secara harafiah. Sehingga berkonsekuensi pada upaya mereka untuk mencocok-cocokkan kelompok Islam yang dianggap “sempalan” sampai pas mencapai 72 kelompok dan hanya satu kelompok saja yang selamat. Padahal secara kebahasaan, dan tafsir al-Qur’an dalam hal yang berkaitan dengan redaksi penyebutan angka, tidak mesti menunjukkan angka yang pas seperti yang termaktub, melainkan indikasi tentang banyaknya atau menjamurnya suatu hal yang menjadi obyek pembahasan.
Contohnya, dalam ayat al-Qur’an surat at-Taubah: ayat 80, tentang istighfarnya nabi Muhammad sebanyak 70 kali atau lebih atas orang-orang yang munafiq, tidak berarti harus pas dengan 70 kali sebagaimana redaksi yang ada. Atau seperti dalam surat Luqman: ayat 27, yang menerangkan tentang 7 laut yang digunakan sebagai tinta untuk menghitung nikmat Allah Swt, tidak bermakna 7 pas, sebab sekalipun ia lebih, semisal 70 atau 700 pun akan sama hasilnya; tidak akan dapat mampu menghitung nikmat Allah dimaksud. Intinya angka yang tertera dalam redaksi hadits perpecahan umat Islam tidak bermakna harafiah (terbatas angka tertera).[5]
Terlepas dari shahih dan tidaknya hadits di atas, kenyataannya sampai saat ini masih berlaku klaim-klaim keselamatan sebagai impak dari testimoni hadist tersebut. Jika yang dimaksud Ahlussunah Waljamaah ialah satu-satunya kelompok yang selamat dan masuk syurga, seluruh sekte dalam Islam akhirnya mengklaim sebagai Ahlussunah. Muhammad Abduh mengutip perkataan Jalauddin al-dawâni bahwa: Nashiruddin at-Thushy menganggap kelompok yang selamat tersebut adalah sekte Syi’ah Imamiyyah. [6] Sementara sebagian ulama lainnya menganggap kelompok As-Sya’irah lah kelompok yang selamat tersebut. Sedang Ibnu Taimiyyah berpandangan, kelompok ahlu hadits yang seluruh prilaku dan perkataannya senantiasa disesuaikan dengan pola hidup Rasulullah Saw lah yang paling berhak dianggap sebagai kelompok yang selamat. Dewasa ini malah baik kelompok salafi dan ahlu hadits masing-masing mengklaim sebagai pengikut ahlussunah yang paling berhak dianggap sebagai kelompok yang selamat. Bahkan sebagian pemikir kontemporer beranggapan bahwa Mu’tazilah lah yang lebih dahulu lahir dan paling berhak untuk menyandang label Ahlussunah Waljamaah ketimbang yang lainnya. [7]  
Bagi saya, terminologi keselamatan tidak harus selalu berada pada salah satu kelompok yang disebut di atas, dapat saja kebenaran diperoleh atau didapat pada seluruh kelompok Islam yang ada, baik kelompok as-Sya’irah, Syi’ah, Ahlu Hadits, ataupun Mu’tazilah. Sebagaimana sisi kekeliruan atau kesalahan dalam ijtihad yang mereka lakukan juga relatif mungkin terjadi. Mengingat perbedaan pendapat yang kerap terjadi bukan selalu pada ranah akidah atau ushuluddin, melainkan pada ranah furu’iyyah yang tidak ada kaitannya dengan persoalan justifikasi iman atau kafir.
Dengannya kita patut meragukan kebenaran testimoni Imam as-Shahrastani: ”Jika kebenaranan dalam persoalan aqliyat (rasional) berwajah satu, maka sangat logis jika kebenaran itu pun seharusnya berada pada satu wajah kelompok Islam”, mengingat pendapat atau pandangan suatu kelompok tidak harus secara mutlak kita terima atau pun kita tolak. Pada ranah ini selalu berlaku relatifitas ijtihad yang merupakan karateristik kelenturan syariat yang dimiliki oleh Islam.

Aswaja-NU: Sebuah Pengenalan Singkat

Adapun Aswaja-NU adalah hasil rumusan Ahlussunnah waljamaah oleh kalangan tradisionalis Islam di Indonesia. Eksistensi Komunitas ini dikenal sejak penyebaran Islam era pertama di Indonesia yang ditandai dengan berdirinya pusat-pusat pengajaran Islam berupa pesantren di seluruh nusantara. Tradisi keagamaan yang sudah lama berkembang itulah yang kemudian diformalkan dengan pembentukan sebuah organisasi bernama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926 M.
Berdirinya organisasi ini, selain karena tuntutan dinamika lokal juga karena momentum internasional yang terjadi pada waktu itu. Pada tingkat lokal, ulama-ulama dari sayap pesantren merasa perlu mengkonsolidasikan diri untuk memagari tradisi-tradisi keagamaan yang sudah ada dari ”serangan” dakwah kalangan modernis. Mereka ini merupakan kelanjutan dari misi penyebaran ajaran Wahhabi dengan isu utamanya yang dikenal dengan ”anti TBC” (Tachayul, Bid’ah dan Churafat). Dalam konteks internasional, para ulama berkepentingan untuk bersatu guna menyampaikan aspirasi umat Islam Indonesia tentang kebebasan bermadzhab dan menentang gagasan pemusnahan situs-situs bersejarah di Haramain. Hal itu terjadi karena Penguasa Hijaz yang baru, Ibn Sa’ud, hendak menerapkan paham Wahhabi di wilayah kekuasaannya itu.
Dalam ”Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyat Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah” (Preambule AD-ART NU) yang ditulis Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari secara tegas terdapat ajakan kepada para ulama Ahl al-Sunnah wal Jama’ah untuk bersatu memagari umat dari propaganda pada ”ahli bid’ah”. Yang dimaksud tentu saja adalah orang-orang pendukung ajaran Wahhabi yang dalam da’wahnya selalu mencela tradisi-tradisi seperti tahlilan, ziarah kubur, qunut, tawassul dan lain-lain sebagai perbuatan Bid’ah. Selain itu, mereka menganggap kebiasaan-kebiasaan para santri yang lain sebagai sesuatu yang mengandung unsur Tahayyul dan Khurafat. Mereka juga menyatakan bahwa kepengikutan terhadap ajaran madzhab merupakan sumber bid’ah, dan oleh karenanya umat Islam harus berijtihad (ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah)
Dengan demikian, yang dimaksud dengan ”Aswaja” oleh NU adalah pola keberagamaan bermadzhab. Pola ini diyakini menjamin diperolehnya pemahaman agama yang benar dan otentik, karena secara metodologis dapat dipertanggungjawabkan transmisinya dari Rasulullah sebagai penerima wahyu sampai kepada umat di masa kini. Metode ini mempersyaratkan adanya Tasalsul (mata rantai periwayatan).
Selain itu, pola ini mengandung penghargaan terhadap tradisi lama yang sudah baik dan sikap responsif terhadap inovasi baru yang lebih bagus (al-muhafadhoh ’ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah). Dengan demikian, dalam konteks budaya, Aswaja mengajarkan kita untuk lebih selektif terhadap pranata budaya kontemporer, tidak serta merta mengadopsinya sebelum dipastikan benar-benar mengandung maslahat.[8] Demikian juga terhadap tradisi lama yang sudah berjalan, tidak boleh meremahkan dan mengabaikannya sebelum benar-benar dipastikan tidak lagi relevan dan mengandung maslahat. Sebaiknya tradisi-tradisi tersebut perlu direaktualisasi sesuai dengan perkembangan aktual apabila masih mengandung relevansi dan kemaslahatan.
Pada perkembangannya, definisi Aswaja berkembang menjadi sebagai berikut : ”Paham keagamaan yang dalam bidang Fiqh mengikuti salah satu dari madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) ; dalam bidang Aqidah mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi, dan ; dalam bidang Tasawuf mengikuti Imam Ghazali dan Imam Junayd al-Baghdady”. Definisi tersebut sebenarnya merupakan penyederhanaan dari konsep keberagamaan bermadzhab.
Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan paham Ahlussunnah Waljamaah. Hal ini bukan berarti NU menyalahkan mazhab-mazhab mu’tabar lainnya, melainkan NU berpendirian bahwa dengan mengikuti mazhab yang jelas metode dan produknya, warga NU akan lebih terjamin berada di jalan yang lurus. Menurut NU, sistem bermazhab adalah sistem yang terbaik untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap tergolong Ahlussunnah Waljamaah. [9]
Di luar pengertian di atas, KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah Waljamaah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya Ahlussunnah Waljamaah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah Waljamaah bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah manhaj al-fikr (cara berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi'in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti bahwa Ahlussunnah Waljamaah sebagai manhaj al-fikr adalah produk yang bebas dari realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya.[10] 
Pada Munas Alim Ulama di Lombok, dicetuskan bahwa keterikatan terhadap madzhab tidak hanya secara Qawlan (produk yang dihasilkan) saja, tetapi juga Manhajiyyan (metode berpikirnya). Keputusan Ini juga menjadi jawaban atas kritikan bahwa pola bermadzhab dalam tradisi keagamaan NU itu ternyata membuat umat jumud, tidak berkembang.
NU juga telah merumuskan pedoman sikap bermasyarakat yang dilandasi paham Aswaja, yakni Tawasuth (moderat), Tasamuh (toleran), Tawazun (serasi dan seimbang), I’tidal (adil dan tegas), dan Amar Ma’ruf Nahy Munkar (menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemunkaran).[11]
Aswaja juga mengandung ajaran tentang sikap menghargai mayoritas dan perbedaan. Oleh karenanya, NU sebagai penganut Aswaja lebih apresiatif terhadap paradigma demokrasi. Bagi NU, perbedaan di tengah umat merupakan keniscayaan. Karena itu harus disikapi secara arif dengan mengedepankan musyawarah. Tidak boleh disikapi secara radikal dan ekstrem hanya karena keyakinan atas kebenaran sepihak. Dalam Aswaja dikenal dengan prinsip al-Sawad al-A’dham, berdasarkan hadits Nabi: fa idza raiytum ikhtilafan fa’alaykum bi sawad al-a’dzam..(jika kalian menjumpai perbedaan, ikutilah golongan yang terbanyak). Prinsip al-Sawad al-A’dhom ini didasarkan atas asumsi populer sebagaimana dalam hadits: ”La tajtami’u ummati ’ala al-dlalalah” (umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan).
Sikap kemasyarakatan seperti diataslah yang membuat NU dapat diterima dan bekerjasama dengan semua kalangan, baik dalam internal umat Islam, lintas agama dan bahkan dalam hubungan-hubungan internasional. Hal ini dikarena NU mampu menyajikan Islam yang rahmatan lil-’Alamin, ramah, toleran, dan tidak ekstrem.

ASWAJA dan Problematika Kemanusiaan Masa Depan

Ideologi apapun akan tampak kering jika pada tataran praksisnya sulit bersentuhan dengan realitas kemanusiaan yang mengitarinya. Selayaknya saat ini perdebatan konsep ataupun teologi Aswaja tidak lagi harus berkutat pada tataran teroritis-normatif, akan tetapi sudah harus melampaui batas-batas teologi itu sendiri sehingga Aswaja tidak lagi disikapi sebatas sebuah landasan berpijak atau metode berfikir an sich. Seiring dengan proses tentu metode ini akan terus melakukan evolusinya ke arah yang lebih akseptabel, begitu pula dengan pemahaman umat dalam melakukan penyelarasan faktualnya.
Katakanlah saat ini Aswaja baik sebatas metode berfikir ataupun kerangka bermazhab yang ideal telah mulai terbangun –khususnya di kalangan Nahdhiyin-, langkah selanjutnya adalah bagaimana kesadaran yang telah terbangun itu menggugah para pengikut Aswaja ini untuk merealisasikan nilai-nilai yang ada dalam beberapa mazhab yang mu’tabar di atas ke dalam ruang aplikasi hidup yang lebih nyata. Bahwa benarkah nilai-nilai Aswaja yang berupa sikap moderasi dan toleran atau adil menjadi kesadaran komunal dalam berbuat (amaliy) para pengikut Aswaja tersebut. Seberapa besar pola pikir (mind-sett) mazdahib baik fikih, akidah, dan tasawuf memberikan inspirasi bagi sebuah pergulatan pemikiran yang selalu berproses dan bukan sebatas produk pemikiran yang telah siap jadi (stagnan). Baru setelah itu, mampukah para pengikut Aswaja itu melakukan pemekaran atas substansi Aswaja dari yang telah ada kepada hal yang baru dengan bersandarkan kepada kebutuhan manusia yang semakin kompleks.
Mengingat tantangan kemanusiaan yang teramat mendesak, yang menjadi agenda prioritas (pergerakan) Aswaja di masa depan adalah, pencarian kembali makna dan tujuan hidup (sense of meaning and purpose), sehingga Aswaja dapat difungsikan kembali sebagai guidance menuju realitas kesejarahan manusia yang hakiki.
Dari peta sosiologi modernisasi jelas, bahwa akar pesoalan manusia modern adalah penemuan kembali sistem makna yang dapat membebaskan dirinya dari segala macam bentuk determinisme yang terdapat dalam pranata-pranata modern. Di sinilah pentingnya menghadirkan kembali teologi dalam makna historisnya sebagai sarana pembebasan.
Teologi yang membebaskan adalah yang berpusat pada manusia dan kekuatannya, atau humanistic Theology. Manusia harus dapat mengembangkan kemampuan akalnya agar dapat memahami dirinya, hubungannya dengan sesamanya dan kedudukannya di alam ini. Dia harus mengenal kebenaran, dengan melihat pada keterbatasan maupun potensinya. Dia juga harus mengembangkan rasa cinta pada orang lain maupun pada dirinya serta merasakan solidaritas pada semua kehidupan. Dia juga harus mempunyai prinsip dan norma untuk mengarahkan tujuannya sendiri.
Upaya menghadirkan teologi yang humanistik, dan sebaliknya  menghindari dari teologi yang otoritarian, sesungguhnya lebih mencerminkan sebagai persoalan epistemologi. Artinya, lebih banyak disebabkan oleh faktor interpretasi dari masing-masing penganut teologi. Letak permasalahannya kemudian adalah “bukan pada teologi apa, tetapi berteologi yang bagaimana.”
Dalam persfektif Islam misalnya, makna pembebasan teologi terletak pada ajaran tauhid. Implikasi pembebasan atau efek pembebasan tidak hanya dalam konteks tauhidullah dalam pengertian pembebabasan dari semua ikatan ketuhanan yang absurd dan otoritarianistik. Tapi, pembebasan dari semua struktur sosial, ekonomi, politik, budaya yang cenderung menjadi determinan bagi kemerdekaan manusia.
Dalam diskursus teologi Islam ini, efek pembebasan tauhid mengalami reduksianisasi seperti dalam teologi Jabariah, Murjiah, serta teologi sejenis yang sudah berkolaborasi dengan kemapanan struktur politik. Artinya, Tuhan digambarkan sebagai sosok yang serba mengatur hidup manusia.
Agaknya persoalan di atas merupakan agenda intelektual bagi kalangan Aswaja ke depan. Ini dapat dilakukan dengan mula-mula menghadirkan rancang bangun teologi Aswaja sebagai rekonstruksi terhadap pemikiran lama yang dianggap kurang memberikan sistem makna yang jelas, tidak membebaskan dan terjebak pada status quo. Karena itu perlu dikembangkan suatu pemikiran yang terbuka dan siap berhadapan dengan persoalan baru dan penafsiran baru pula. Aswaja tidak boleh berhenti sebatas metode berpikir (manhaj al-fikr) lagi, tetapi sudah harus menginspirasikan sebuah kebangkitan melalui metode berkarya (manhaj al-‘amal). Dengan metode berkarya inilah Aswaja akan dirasakan manfaatnya, karena keberadaannya tidak lagi mengawang di langit, namun telah bersenyawa dengan kebutuhan manusia dan hidup di tengah realitas yang dinamik.

Penutup

Demikian pengantar tentang Aswaja dan pergulatannya dengan kondisi kemunculannya dahulu dan perannya di masa kini. Semoga dapat menambah wawasan rekan-rekan para peserta pelatihan. Yang penulis paparkan hanyalah sebatas garis besarnya saja, dan hampir tidak menyebutkan secara rinci pokok-pokok pikiran dan gagasan Aswaja baik dalam ruang lingkup teologi klasik maupun dalam institusi NU. Karena hal tersebut dapat sangat mudah kita temukan dalam banyak literatur yang ada. Ibarat peta, yang penulis ketengahkan hanya sebatas jalan-jalan besarnya saja, adapun gang, jalan tikus, dan sungai serta selokannya tidak menjadi sorotan penulis. Semoga diskusi tentang Aswaja secara lebih lengkap dan kontekstual dapat terus berlanjut.











ASWAJA

AHLU SUNNAH WA AL- JAMAAH
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA
Sejarah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah
Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah hanya merupakan kelangsungan desain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur-rasyidin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad ke II H.
Seorang Ulama’ besar bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah majlis ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat tahun 110 H. Di antara murid beliau, bernama Washil bin Atha’. Ia adalah salah seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa Arab.
Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dan murid, tentang seorang mu’min yang melakukan dosa besar. Pertanyaan yang diajukannya, apakah dia masih tetap mu’min atau tidak? Jawaban Al-Imam Hasan Al-Bashry, “Dia tetap mu’min selama ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi dia fasik dengan perbuatan maksiatnya.” Keterangan ini berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits karena Al-Imam Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur’an dan Hadits.
Dalil yang dimaksud, sebagai berikut; pertama, dalam surat An-Nisa’: 48;

اِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُاَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُمَادُوْنَ ذلِكَ ِلمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِافْتَرَى اِثْمًاعَظِيْمًا النساء : 48

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa seseorang yang berbuat syirik, tetapi Allah mengampuni dosa selian itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang mempersekutukan Tuhan ia telah membuat dosa yang sangat besar.”
Kedua, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

عَنْ اَبِى ذَرٍ رَضِىَاللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتِانِى اتٍ مِنْ رَبىِ فَأَخْبَرَنِى اَنَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ اُمَّتِى لاَيُشْرِكُ بِاللهِ دَخَلَ اْلجَنَّةَ. قُلْتُ: وَاِنْ زَنىَ وَاِنْ شَرَقَ. قَالَ وَاِنْ زَنىَ وَاِنْ سَرَقَ رواه البخارى ومسل

“Dari shahabat Abu Dzarrin berkata; Rasulullah SAW bersabda: Datang kepadaku pesuruh Allah menyampaikan kepadamu. Barang siapa yang mati dari umatku sedang ia tidak mempersekutukan Allah maka ia akan masuk surga, lalu saya (Abu Dzarrin) berkata; walaupun ia pernah berzina dan mencuri ? berkata (Rasul) : meskipun ia telah berzina dan mencuri.” (Diriwayatkan Bukhari dan Muslim).

فَيَقُوْلُ وَعِزَّتِى وَجَللاَ لِى وَكِبْرِيَانِى وَعَظَمَتِى لأَُخْرِجَنَّ مِنْهَا مَنْ قَالَ لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ. رواه البخارى

“Allah berfirman: Demi kegagahanku dan kebesaranku dan demi ketinggian serta keagunganku, benar akan aku keluarkan dari neraka orang yang mengucapkan; Tiada Tuhan selain Allah.”
Tetapi, jawaban gurunya tersebut, ditanggapi berbeda oleh muridnya, Washil bin Atha’. Menurut Washil, orang mu’min yang melakukan dosa besar itu sudah bukan mu’min lagi. Sebab menurut pandangannya, “bagaimana mungkin, seorang mu’min melakukan dosa besar? Jika melakukan dosa besar, berarti iman yang ada padanya itu iman dusta.”
Kemudian, dalam perkembangan berikutnya, sang murid tersebut dikucilkan oleh gurunya. Hingga ke pojok masjid dan dipisah dari jama’ahnya. Karena peristiwa demikian itu Washil disebut mu’tazilah, yakni orang yang diasingkan. Adapun beberapa teman yang bergabung bersama Washil bin Atha’, antara lain bernama Amr bin Ubaid.
Selanjutnya, mereka memproklamirkan kelompoknya dengan sebutan Mu’tazilah. Kelompok ini, ternyata dalam cara berfikirnya, juga dipengaruhi oleh ilmu dan falsafat Yunani. Sehingga, terkadang mereka terlalu berani menafsirkan Al-Qur’an sejalan dengan akalnya. Kelompok semacam ini, dalam sejarahnya terpecah menjadi golongan-golongan yang tidak terhitung karena tiap-tiap mereka mempunyai pandangan sendiri-sendiri. Bahkan, diantara mereka ada yang terlalu ekstrim, berani menolak Al-Qur’an dan Assunnah, bila bertentangan dengan pertimabangan akalnya.
Semenjak itulah maka para ulama’ yang mengutamakan dalil al-Qur’an dan Hadits namun tetap menghargai akal pikiran mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami agama. Kelompok ini kemudian disebut kelompok Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah. Sebenarnya pola pemikiran model terakhir ini hanya merupakan kelangsungan dari sistem pemahaman agama yang telah berlaku semenjak Rasulullah SAW dan para shahabatnya.
Ahlu Sunnah wa al-Jamaah Sebagai Manhaj al-Fikr atau Mazhab?
Berfikir jernih, luwes dan kreatif tanpa tedeng aling-aling adalah sebuah cita-cita luhur intelektual muda NU yang menyerap banyak literatur baru dalam hidupnya. Sebuah usaha yang mendapat kecaman hebat dari para kyai berkaitan dengan tradisi lama yang dibangun.
Konsep Ahlussunnah wal Jama’ah adalah satu dari banyak objek pemikiran yang ingin dilacak kebenarannya oleh intelektual muda tersebut. Benarkah pemahaman Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah kita saat ini? Adakah ia sebuah tradisi yang tak bisa diberantas (Aqidah) atau hanyalah sebuah pemikiran yang debatable?
Apapun ia, tentunya menjadi sebuah hal yang unik dan menarik untuk dibicarakan. Betapa tidak? Ketika para intelektual muda NU bergeliat mencari makna kebenaran Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah yang dikultuskan dan menjadi unthoughtable para kiai justru akhirnya merasa terancam eksistensinya. Ada apa dibalik semua ini? Said Aqil Siradj, seorang pemikir muda NU yang banyak menyoroti tentang hal ini dan akhirnya mendapatkan nasib yang sama dengan sesama intelektualis mendasarkan bahwa hapuslah asumsi awal yang menyatakan ini sebagai madzhab pokok.
Dalam beberapa runutan pemikiran berikutnya, ia banyak menjelaskan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah lahir dengan sebab bahwa ini adalah pondasi ideologi yang tak bisa ditawar-tawar. Pemahaman ini kemudian dikembalikan dengan watak asli Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah yang memberikan otoritas penuh kepada ulama untuk mempertahankan ilmu dan hak atas menafsirkan agama dari kesembronoan anak muda. Sebuah bangunan pengetahuan yang dibenturkan dengan prinsip berfikir yang tawassuth (Moderat), tawazun (keseimbangan), dan ta’adul (keadilan) yang menjadi pembuka wacana inteletualitas ditubuh NU.
Satu kesimpulan awal yang diambil dari pemaparan diatas adalah para ulama merasa jijik dengan pembaharuan yang berefek pada pengutak-atikan ideologi yang diajarkan sebagai pondasi awal di pesantren berbasis NU. Jika dilakukan hal demikian, hancurlah pondasi yang selama ini dibangun, selain pengkultusan yang juga akan hilang begitu saja, sebuah penghormatan tinggi kepada kiai.
Berkembangnya dugaan bahwa ini terjadi karena tradisi Islam yang ada juga masih menimbulkan pertanyaan, karena Islam bukan lahir di Indonesia tetapi tersebar sampai ke negara ini. Maka, kemudian yang terjadi adalah bahwa Islam mengelaborasikan diri terhadap tradisi bangsa ini dengan meng-Islam-kan beberapa diantaranya. Persinggungan inipun menjadi sebuah masalah, bukan hanya karena belum berhasilnya menghilangkan rasa ketradisian yang asli, tetapi juga pada sebuah pertanyaan apakah sebuah tradisi Islam yang ada adalah tradisi asli dari bangsa Arab? atau jangan-jangan sudah terakulturasi dengan budaya Gujarat?. Hal ini menjadi sebuah pemikiran serius tersendiri dalam mencapai sebuah kebenaran.
Lebih lanjut, konstruksi pemikiran yang ada sejatinya haruslah dihapuskan jika memang mau membahas konsep Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dengan lebih komprehensip. Kalau tidak, yang ada adalah stempelisasi. Pemurtadan terhadap ideologi yang ada, karena mengutak-atik yang dianggap tak akan bersalah dan tak dapat disalahkan. Pemahaman yang sejati tentang makna Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dan perdebatannya memang diakui haruslah dimulai dari sebuah asumsi bahwa ia adalah sebuah Manhaj al-Fikr (metode berpikir), bukan madzab yang berkarakteristik sebagaimana di atas.
BAGIAN I
Ahlussunnah wal Jama’ah
Sebagai Manhaj al-Fikr
Perspektif Sosial Ekonomi
Menyangkut bagaimana Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dikerangkakan sebagai alat baca, perlu kiranya kita mulai pembacaan dan identifikasi persoalan yang dilanjutkan dengan perumusan kerangka teoritis dengan dilengkapi kerangka tawaran langkah-langkah yang akan kita ambil baik strategis maupun taktis.
Pertama, perlunya pembacaan yang cukup cermat atas realitas sosial ekonomi Indonesia. Ini diperlukan terutama untuk mengurai lapis-lapis persoalan yang ada dan melingkupi kehidupan sosial-ekonomi kita. Di antara beberapa persoalan yang harus kita dekati dalam konteks ini adalah; Pertama, fenomena kapitalisme global yang termanifestasikan melalui keberadaan WTO, world bank dan juga IMF, serta institusi-institusi pendukungnya. Kedua, semakin menguatnya institusi-institusi ekonmi kepanjangan tangan kekuatan global tersebut di dalam negeri. Kekuatan-kekuatan tersebut memanifest melalui kekuatan bisnis modal dalam negeri yang berkolaborasi dengan kekutaan ekonomi global, ataupun melalui TNC atau MNC. Ketiga, liberalisasi barang dan jasa yang sangat berdampak pada regulasi barang dan jasa ekspor -impor.
Fenomena pertama berjalan dengan kebutuhan pasar dalam negeri yang sedang mengalami kelesuan investasi dan kemudian mendorong pemerintah untuk mengajukan proposal kredit kepada IMF dan WB. Pengajuan kredit tersebut membawa konsekuensi yang cukup signifikan karena Indonesia semakin terintegrasi dengan ekonomi global. Hal ini secara praktis menjadikan Indonesia harus tunduk pada berbagai klausul dan aturan yang digariskan baik oleh WB maupun IMF sebagai persyaratan pencairan kredit. Dan aturan-aturan itulah yang kemudian kita kenal dengan structural adjustment program (SAP), yang antara lain berwujud pada; Pertama, pengurangan belanja untuk pembiayaan dalam negeri yang akan berakibat pada pemotongan subsidi masyarakat. Kedua, dinaikkannya pajak untuk menutupi kekurangan pembiayaan akibat diketatkan APBN. Ketiga, peningkatan suku bunga perbankan untuk menekan laju inflasi. Keempat, liberalisasi pasar yang berakibat pada terjadinya konsentrasi penguasaan modal pada segelontir orang dan liberalisasi perdagangan yang mengakibatakan munculnya penguasaan sektor industri oleh kelompok yang terbatas. Kelima, privatisasi BUMN yang berakibat pada penguasaan asst-aset BUMN oleh para pemilik asing. Keenam, restrukturisasi kelayakan usaha yang mengakibatkan munculnya standar usaha yang akan mempersulit para pelaku usaha menengah dan kecil.
Karakter umum liberalisasi yang lebih memberikan kemudahan bagi arus masuk barang dan jasa (termasuk invesasi asing) dari luar negeri pada gilirannya akan mengakibatkan lemahnya produksi domestic karena harus bersaing dengan produk barang dan jasa luar negeri. Sementara di level kebijakan pemerintah semakin tidak diberi kewenangan untuk mempengaruhi regulasi ekonomi yang telah diambil alih sepenuhnya oleh pasar. Sebuah ciri dasar dari formasi sosial neo-liberal yang menempatkan pasar sebagai aktor utama. Sehingga pengelolaan ekonomi selanjutnya tunduk pada mekanisme pasar yang float dan fluktuatif.
Implikasi yang muncul dari pelaksanaan SAP ini pada sektor ekonomi basis (petani, peternak, buruh, dan lain sebagainya) adalah terjadinya pemiskinan sebagai akibat kesulitan-kesulitan stuktural yang mereka hadapi akibatnya menguntungkan investor asing. Terlebih ketika sektor ekonomi memperkenalkan istilah foreign direct investment (FDI) yang membawa arus deras investor asing masuk ke Indonesia secara langsung. Derasnya arus investasi yang difasilitasi oleh berbagai kebijakan tersebut pada gilirannya akan melemahkan para pelaku usaha kecil dan menengah.
Dari akumulasi berbagai persoalan tersebut, ada beberapa garis besar catatan kita atas realitas sosial-ekonomi; Pertama, tidak adanya keberpihakan Negara kepada rakyat. Ini bisa kita tengarai dengan keberpihakan yang begitu besar terhadap kekeutan-kekuatan modal internasional yang pada satu segi berimbas pada marjinalisasi besar-besaran terhadap kepentingan umat. Terhadap persoalan tersebut kita perlu mengerangkan sebuah model pengukuran pemihakan kebijakan. Dalam khazanah klasik kita mengenal satu kaidah yang menyatakan bahwa kebijakan seorang imam harus senantiasa mengarah kepada tercapainya kemaslahatan umat (Tasarruf al-Imam ‘ala al-Raiyati manuntun bi al-Maslahah).
Kedua, tidak terwujudnya keadilan ekonomi secara luas. Arus investasi yang mendorong laju industrialisasi pada satu segi memang positif dalam hal mampu menyerap tenaga kerja dalam negeri. Namun pada segi yang lain menempatkan pekrja pada sebagi pihak yang sangat dirugikan. Dalam point ini kita menemukan tidak adanya keseimbngan distribusi hasil antara pihak investor dengan tenaga kerja. investor selalu berada dalam posisi yang diuntungkan, sementara pekerja selalu dalam posisi yang dirugiakn. Sebuah kondisi yang akan mendorong terjadinya konglomerasi secara besar-besaran. Sehingga diperlukan pemikiran untuk menawarkan jalan penyelesaian melalui apa yang kita kenal dengan profit sharing. Yang dalam khazanah klasik kita kenal dengan mudharabah ataupun mukhabarah. Sehingga secara opertif pemodal dan pekerja terikat satu hubungan yang saling menguntungkan dan selanjutnya berakibat pada produktifitaas kerja.
Ketiga, pemberian reward kepada pekerja tidak bisa menjawab kebutuhan yang ditanggung oleh pekerja. Standarisasi UMR sangat mungkin dimanipulasi oleh perusahaan dan segi tertentu mengkebiri hak-hak pekerja. Ini terjadi karena hanya didasarkan pada nilai nominal dan bukan kontribusi dalam proses produksi. Dalam persoalan ini kita ingin menawarkan modal manajemen upah yang didasarkan pada prosentasi kontribusi yang diberikan oleh pekerja kepada perusahaan ataupun proses produksi secara umum. Standarisasi yang kita sebut dengan UPH (upah prosentasi hasil) pada seluruh sektor ekonomi. Salah satu pertimbangan usulan ini adalah kaidah atau sebuah ayat bahwa harus ada distribusi kekayaan dalam tubuh umat itu secara adil dan merata untuk mencegah adanya konglomerasi ekonomi.
Keempat, tidak adanya perlindungan hukum terhadap pekerja. Hal ini bisa kita lihat dari maraknya kasus PHK sepihak yang dilakukan oleh perusahaan. Ataupun contoh lain yang mengindikasikan satu kecenderungan bahwa kebijakan-kebijakan Negara lebih banyak diorientasikan semata untuk menarik investasi sebesar-besarnya tanpa pernah memikirkan implikasi yang akan muncul dilapangan. Termasuk potensi dirugikannya masyarakat baik secara ekologis (lingkungan dalam kaitannya dengan limbah industri), ekonomis (tidak berimbangnya penghasilan dengan daya beli), ataupun secara geografis (dalam hal semakin berkurangnya lahan pertanian ataupun perkebunan). Hampir tidak ada klausul level ini kita menuntut pemberlakuan undang-undang pasal 28b UUd 1945 serta perlakuan perlindungan hak pekerja yang dicetuskan kepada konferensi ILO.
Kelima, perlunya masyaraakat dilibatkan dalam pembicaraan mengenai hal-hal penting berkaitan dengan pembuatan rencana kebijakn investasi dan kebijakan-kebijakan lain yang berhubungan secara langsung dengan hajat hidup orang banyak. Ini diperlukan untuk mengantisipasi potensi resistan yang ada dalam masyarakat termasuk scenario plan dari setiap kebijakan. Berkaitan dengan ini smapai di level kabupaten/kotamadya bahkan tingkat desa masih terdapat ketidakadilan informasi kepada masyarakat. Sehingga masyarakat hampir-hampir tidak mengetahui apa yang telah, sedang dan akan dilakukan pemerintah di wilayah mereka. Kondisi demikian pada banyak level akan merugikan masyarakat yang seharusnya mengetahui informasi-informasi tersebut secara merata.
Hal lain yang juga menyangkut persoalan ekonomi adalah perlunya elaborasi atas rujukan-rujukan fiqhiyah (termasuk ushul fiqh) bagi kerangka-kerangka operasional Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah sebagai manhaj al-fikr. Kebutuhan akan elaborasi ini dirasa sangat mendadak, terutama mengingat adanya kebingungan di beberapa tempat menyangkut ideologi dasar PMII dan kerangka paradigmanya terlebih jika dikaitkan dengan kemapuan Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah untuk menyediakan kerangka operatif yang akan memandu kader-kader PMII dilapangan masing-masing.
Pembicaraan mengenai berbagai persoalan tersebut mengantar kita untuk menawarkan langkah praktis berupa kerangka pengembangan ekonomi yang kemudian kita sebut sebagai konsep ekonomi bedikari. Konsep ini secara umum bisa kita definisikan sebagai konepsi pengelolaan ekonomi yang dibangun di atas kemampuan kita sebagai sebuah Negara.untuk mendukung tawaran tersebut, lima langkah stategis kita usulkan; Pertama, adanya penyadaran terhadap masyarakat tentang struktur penindasan yang terjadi. Kedua, penghentian hutang luar negeri. Ketiga, adanya internalisasi ekonomi Negara. Keempat, pemberlakuan ekonomi political dumping. Kelima, maksimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dengan pemanfaatan tekhnologi berbasis masyarakat lokal (society-based technology).
Secara taktis langkah yang kita tawarkan yaitu: Pertama, perlunya sosialisasi atau kampanye tentang struktur penindasan yang terjadi pada masyarakat. Kedua, advokasi kepada masyarakat. Ketiga, perlunya penegasan pembenahan pertanggungjawaban pengelolaan hutang luar negeri langsung kepada presiden ketika meletakkan jabatan. Keempat, penggunaan dan maksimalisasi seluruh resources dalam negeri (sumber daya alam, pemanfaatan SDM, kultur dan juga pengetahuan). Kelima, nasionalisasi tekhnologi internasional.
BAGIAN II
Ahlu Sunnah wa al- Jama’ah
Sebagai Manhaj al-Fikr
Prespektif Sosial Politik, Hukum dan HAM
Akar permasalahan sosial, politik, hukum dan HAM terletak pada masalah kebijakan (policy). Satu kebijakan seyogyanya berdiri seimbang di tengah relasi “saling sadar” antara pemerintah, masyarakat dan pasar. Tidak mungkin membayangkan satu kebijakan hanya menekan aspek kepentingan pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Dalam satu kebijakan harus senantiasa melihat dinamika yang bergerak di orbit pasar. Dalam kasus yang lain tidak bias jika kemudian pemerintah hanya mempertimbangkan selera pasar tanpa melibatkan masyarakat didalamnya.
Persoalan muncul ketika: Pertama, kebijakan dalam tahap perencanaan, penetapan, dan pelaksanaannya seringkali monopoli oleh pemerintah. Dan selama ini kita melihat sedikit sekali preseden yang menunjukan keseriusan pemerintah untuk melibatkan masyarakat. Kedua, kecendrungan pemerintah untuk selalu tunduk kepada kepentingan pasar, sehingga pada beebrapa segi seringkali mengabaikan kepentingan masyarakat. Kedua kondisi tersebut jika dibiarkan akan menggiring masyarakat pada posisi yang selalu dikorbankan atas nama kepentingan pemerintah dan selera pasar. Dan akan menciptakan kondisi yang memfasilitasi tumbuhnya dominasi dan bahkan otoritarianisme baru.
Kecendrungan demikian pada beberapa segi mewakili kepentingan untuk melakukan sentralisasi kekuasaan yang akan mengakibatkan munculnya kembali kedzaliman, ketidakadilan, dan ketidaksejahteraan. Dalam realitas demikian harus dilakukan desentralisasi sebagai memecah konsentrasi kekuasaan oleh satu pihak secara dominan. Yakni upaya balancing of power, yang diorientasikan untuk mendorong terjadinya perimbangan kekuatan, baik kekuatan masyarakat sipil, kekuatan pasar maupun kekuatan pemerintah. Bagaimana kemudian PMII merumuskan strategi gerakannya dalam menyikapi kondisi demikian, adalah pekerjaan rumah yang harus segera kita selesaikan. Ini diperlukan terutama untuk memberikan panduan bagi kolektivitas gerakan kader PMII. Selama ini, PMII sebagai organisasi pergerakan masih bergerak di tempat, oleh karena itu ke depan perlu adanya strategi gerakan PMII untuk menyikapi itu.
Strategi gerakan PMII seharusnya mencakup dua aspek, yaitu internal dan eksternal. Strategi pertama, yaitu melakukan penguatan internal PMII yang meliputi strategi perjuangan, membangun pandangan hidup, dan pegangan hidup. Sehingga, PMII diharapakan memiliki daya dobrak terhadap kekuatan-kekuatan dominan dan otoriter. Yang kedua, aspek eksternal. PMII harus melakuakan penyegaran terhadap masyarakat bawah atau sipil atas ketertindasannya dari kekuatan dominan. Dan selanjutnya adalah PMII harus bisa mengupayakan atau menembus infra struktural terutama dalam persoalan media, karena selama ini masih kalah dengan “Inul”. PMII harus bisa melakukan bargaining power dengan pemerintah melalui jalan struktural, termasuk melakuakan gerakan empowering civil society.
Kemudian kaitannya dengan Ahlussunnah wal Jama’ah yang juga menjadi nilai dasar (NDP) PMII, dimana substansinya adalah jalan tengah, maka sudah sepatutnya bahwa PMII memposisikan diri di tengah untuk mencari titik temu sebagai solusi. Dengan sikap seperti itu, PMII mengikuti nilai Ahlussunnah wal Jama’ah. Nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tawazun, akan dapat melahirkan nilai Ahlussunnah wal Jama’ah yang ta’adul. Dalam hal ini, yang menjadi titik tekan adalah dengan strategi dapat meruntuhkan kekuasaan dominan dan otoriter yang pada akhirnya bermuara menjadi gerakan revolusiner.
Jika demikian, PMII harus menjawab pertanyaan tersebut. Kalaupun harus, maka cara revolusioner itu ditempuh sebagai langkah terakhir. Maka yang harus dilakukan PMII adalah gerakan revolusi dengan maksud merubah tatanan, tapi bukan sengaja membuat kekerasan untuk menuju tatanan yang lebih baik dengan alasan kemaslahatan. Ketika pemerintah itu otoriter, jelas tidak selaras dengan nilai-nilai dalam PMII, tasharrufal-al-imam manutun ‘ala raiyyati kaitannya dengan kulluklum ra’in wa kullukum mas’ulunan raiyytih. Meski disadari, memperbaiki tatanan merupakan pekerjaan yang tidak mudah, apalagi tatanan tersebut bersifat otoriter. Sudah sepatutnya PMII bergerak merubahnya. Upaya serius menstransformasikan nilai-nilai Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah sebagai salah satu sistem nilai yang terpatri menjadi ideologi pergerakan PMII adalah mendesak, termasuk dalam menata ulang kondisi sosial politik yang amburadul.
Sekali lagi, cara revolusioner merupakan langkah akhir . ketika ada alternatif lain win win solution atau ishlah bisa ditawarkan, maka cara revolusioner meski dihindarkan. Saat ini kondisi sosial politik Indonesia mengalami degradasi luar biasa. Ada empat variabel yang dapat membantu mencari akar persoalan.
Pertama, Negara dan pemerintahan. Dalam hal ini belum mampu menjawab tuntutan masyarakat kelas bawah. Dengan adanya kebijakan-kebijakan yang sebtulnya tidak berpihak pada rakyat, seperti adanya kenaikan harga-harga, merupakan salah satu pemicu munculnya ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai penyelenggara Negara.
Kedua, militer. Pada dasarnya adanya militer adalah karena untuk mengamankan Negara dari ancaman, bukan malah mengancam. Selama 32 tahun masyarakat Indonesia mempunyai pengalaman pahit dengan perlakuan-perlakuan militer. Meski, dalam hal tersebut harus ada pemilihan, secara institusional, institusi dan secara personal. Keinginan menjadikan militer professional merupakan cerminan adanya keinginan militer untuk berubah lebih baik. Namun, penegasan dan upaya ke arah professionalitas militer masih belum cukup signifikan dan menampakkan hasil. Peran militer terutama pada wilayah sosial politik menjadi cataan tersendiri yang harus dikontrol. Bukan berarti mengeliminir hak-hak militer sebagai salah satu komponen Negara yang juga berhak mengapresiasikan kehendaknya. Tetapi karena menyadari betul, militer sangat dibutuhkan pada wilayah dan pertahanan Negara, maka tidak seharusnya menarik-narik militer ke medan politik yang jelas-jelas bukanlah arena militer.
Ketiga, kalangan sipil. Ironisnya, ketika ada keinginan membangun tatanan civil society, yang arahnya ingin membangun supermasi sipil, namun kenyataannya kalangan sipil terutama politisi sipil acapkali mengusung urusan Negara (pemerintahan) serta militer ke wilayah politik yang lebih luas. Sehingga yang terjadi adalah ketidakjelasan peran dan fungsi masing-masing.
Fungsi dan peran (pemerintahan) adalah sebagai penyelenggara bukanlah sebagai penguasa tunggal. Oleh karena itu Negara selalu dikontrol. Namun contoh yang semestinya berasal dari masyarakat ataupun kalangan poitisi yang mewakili di parleman kecendrungannya seperti dijelaskan sebelumnya, menyeret-nyeret dan seringkali mencampuradukkan urusan pemerintah dan militer ke dalam wilayaah politik. Oleh karena itu dari ketiga variabel tersebut pada kondisi kekinian yang ada, perlu penegasan dan penjelasan terhadap peran dan fungsi serta posisinya masing-masing. Terutama bagi kalangan sipil yang tereduksi menjadi kalangan politisi untuk tidak membawa kepentingan-kepentingan politiknya memasuki arena lain. Jika itu tetap berlangsung (ketidakjelasan peran dan fungsi Negara, militer dan parlemen atau parpol bahkan lembaga peradilan) maka niscaya ketidakpercayaan rakyat semakin mengkristal terhadap semua institusi tersebut.
Pada fase itu, rakyat dapat dikatakan tidak lagi membutuhkan perangkat-pernagkat seperti Negara, militer, parlemen atau parpol, dan lembaga peradilan. Realitas seperti itu dapat kita saksikan sampai hari ini. Meski telah bebrapa kali berganti kepemimpinan nasional, ternyata masalah yang timbul lebih banyak, sementara persoalan-persoalan yang lama juga belum teratasi. Oleh karena itu, menata ulang tatanan Indonesia hari ini merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dan perlu kerjasama tanpa ada campur aduk antar fungsi masing-masing.
BAGIAN III
Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah
Sebagai Manhaj al-Fikr
Presfektif Sosial Budaya
Persoalan social-budaya di Indonesia dapat dilihat dengan menggunakan; Pertama, analisa terhadap kondisi social budaya masyarakat, baik pada tingkatan lokal atau pada tingkat global. Kedua, analisa nilai-nilai budaya yang kemudian didalamnya terdapat nilai-nilai ke-Ahlussunnah wal Jama’ah-an sebagai nilai yang terpatri untuk melakukan perubahan ketika kondisi sosial budaya menjadi dasar pijakan. Dari itu semua, pembentukan karakter budaya menjadi tujuan akhirnya.
Ahlussunnah wal Jama’ah dalam konteks sosial budaya dijadikan nilai-nilai yang kemudian menjadi alat untuk melakukan perubahan sosial budaya. Ekplorasi terhadap permasalahan lokal maupun global merupakan cara untuk mengetahui akar persoalan sosial budaya yang terjadi. Bahwa pada kenyataannya globalisasi ternyata mengikis budaya lokal didalam seluruh aspek kehidupan. Globalisasi tanpa kita sadari telah merusak begitu dalam sehingga mengaburkan tata sosial budaya Indonesia. Ironsnya, masyarkat menikmati produk-produk globalisasi sementara produk lokal menjadi teralienasi.
Permasalahan lain adalah adanya dominasi dari satu masyarakat, dalam hal ini adalah budaya dominan atas masyarakat yang memilki budaya minor. Hal ini merupakan satu pergeseran nilai akibat pengaruh sosial budaya masyarkat global yang global yang cenderung matrealistis dan hedonis, sehingga yang terjadi berikutnya adalah demoralisasi bukan hanya dimasyarakat, tetapi juga sudah merambah ditingkat penyelenggara Negara, poloitisi, militer, bahkan peradilan. Maka sebetulnya dalam konteks ini, kapitalisme atau globalisasi telah melakukan hegemoni terhadap kita. Perubahan global yang datang bertubi-tubi lewat media informasi menyebabkan relatifisme pemahaman terutama pemahaman keagamaan. Mental inferor dari Negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia akan suit hilang karena sejalan dengan keinginan menjadi superior dari Negara-negara maju.
Berangkat dari kondisi tersebut, perlu adanya strategi budaya untuk melakukan perlawanaan ketika hegemoni kapitalisme global semakn “menggila”. Salah satu straegi itu mnejadikan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai dasar strategi gerakan. Strategi yang dimaksud bisa dalam bentuk penguatan budaya-budaya lokal.
Dalam konteks sosial budaya, posisi Negara dengan masyarakat bukanlah vis a vis tetapi sebagaimana Negara, pasar dan globalisasi secara umum dapat sejajar. Terkait denga itu, PMII harus dapat menjembatani keinginan-keinginan masyarakat terhadap Negara agar kebijakan-kebijakan Negara tidak lagi merugikan masyarakat dan tidak lagi menguntungkan kapitalis global.
PMII harus secara tegas mengambil posisi ini untuk membantu mengantisipasi dampak ekonomi pasar dan globalisasi terhadap masyarakat.
Terutama untuk penerjemahan kebijakan Negara, kebijakan ekonomi pasar kemudian globalisasi secara umum yang berdampak pada pihak local yang sebetulnya menjadi sasaran distribusi barang. Juga mempengaruhi budaya. Disisnilah peran PMII dengan seperangkat nilai-nilai idealnya seperti tawazun,tasamuh dan ta’adul menjadi dasar guna menjembatani kesenjangan antara wilayah internal masyarakat Indonesia.
Berdasarkan hal itu maka pilihan agregasi PMII harus senantiasa diorientasikan untuk mengerangkakan formulasi rekayasa sosial yang diabdiakn sebesar-besarnya bagi pemberdayaan masyarakat dihadapan Negara maupun pasar. Sehingga dapat tercipta perimbangan kekuatan yang akan memungkinkan terbentuknya satu tatanan masyarakat yang relasional-partisipatif antara Negara, pasar, PMII dan masyarakat, dimana PMII dengan masyarakat merupakan kesatuan antara system dengan subsisitem yang mencoba menjembatani masyarakat, Negara dan pasar. PMII dengan demikian berdiri dalam gerak transformasi harapan dan kebuthan masyarakat dihadapan Negara dan pasar









Pengikut Sunnah Nabi dan Para Sahabat dalam Cara Berpikir dan Pola Perubahan Sosial
Yang Diusung

Pemahaman Dasar 
Semenjak sabda Nabi yang mengatakan bahwa agama Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, dan hanya satu yang benar diantara kesemua golongan tersebut, berbagai aliran dalam agama islam dari zaman dulu sampai sekarang akhirnya mengklaim bahwa diri mereka masing-masing merupakan satu-satunya golongan yang benar dan sesuai dengan ajaran Nabi yang dikenal dengan ASWAJA.
Secara umum yang paling banyak dikenal orang pemaknaan akan Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) adalah madzhab keislaman yang menjadi dasar jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ (NU) sebagaimana dirumuskan oleh Hadlratus Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari 
dalam Qanun Asasi . Yaitu : Dalam ilmu aqidah/teologi mengikuti salah satu dari Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Dalam syari’ah/fiqh mengikuti salah satu Imam empat: Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam tashawuf/akhlaq mengikuti salah satu dua Imam: Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali. Terbuka juga jika terdapat pemaknaan lain dari ASWAJA selain dari yang diatas, (barangkali ada yang berbeda).
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEje5IT_S1ksDIFzXJlCv6sSPTpfZQNrXoxsSAdFL6YRSHXnc-MDy6NeB2DwWvoWGTsLwvhv3MBlZMf3EZrsksQ8V8p1tsQhl-kF4FD58QBvjH_Rsdq7CM5hI9jCv6I0IUJfvdhHVGFx7sDa/s200/LOGO+PMII.jpg
PMII LOGO
Akan tetapi apapun pemaknaan terhadap ASWAJA selama ini, lebih-lebih seperti diatas, semua itu kurang memadai untuk dijadikan tempat berpijak dalam sebuah pergerakan. Sebab, pemahaman yang demikian lebih mengarah pada pemahaman yang kaku dan kurang bisa menyesuaikan terhadap kondisi sosial yang berkembang. Dimana pemahamannya tersendat pada sebuah pemikiran tokoh (sekalipun terpandang dan terhormat), lingkungan, tempat, faktor politik, dan berbagai kondisi sosial saat itu yang jauh berbeda dengan masa sekarang bahkan dimasa yang akan datang. Padahal sebuah pergerakan membutuhkan pijakan yang syarat akan pemaknaan Aswaja yang fleksibel, tidak kaku, dan selalu ada ruang untuk ditafsiri ulang untuk disesuaikan lagi dengan kondisi sosial yang sedang berkembang.
Oleh karena itu, PMII memaknai Aswaja sebagai;
1. Manhajul fikr yaitu sebagai sebuah metode berpikir yang digariskan oleh para sahabat Nabi dan tabi’in yang begitu erat kaitannya dengan situasi politik dan kondisi sosial yang meliputi masyarakat muslim waktu itu. Baik cara mereka menyikapi berbagai kemelut perbedaan antar keyakinan atau dalam memahami keruhnya konstelasi politik, yang kesemua itu berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan yang terselubung dalam makna ASWAJA. Dari manhajul fikr ini kemudian lahir pemikiran-pemikiran keislaman baik di bidang aqidah, syari’ah, maupun akhlaq/tasawuf, yang binneka tunggal ika dalam ruh yang sama.
2. Manhaj taghayyur al-ijtima’i yaitu sebuah pola perubahan sosial-kemasyarakatan yang sesuai dengan ruh perjuangan rasulullah dan para sahabatnya. Untuk memahami pola perubahan ini dibutuhkan pemahaman akan perjalanan sejarah kebudayaan islam yang nantinya terurai dalam materi pendalaman tentang ASWAJA
Dari pemahaman diatas, pada pokoknya pemahaman Aswaja baik sebagai metode berpikir (manhajul fikr) maupun pola perubahan sosial (manhaj taghayyur al-ijtima’i) adalah sesuai dengan sabda Rasulullah yang mengatakan bahwa: ma ana ‘alaihi wa ashabi (segala sesuatu yang datang dari rasul dan para sahabatnya) yaitu metode berpikir dan pola perubahan sosial yang diusung, yang sebenarnya berlandaskan pada beberapa nilai berikut : moderat (tawassuth), toleran (tasamuh), keseimbangan (tawazun), dan keadilan (ta’adul )

Nilai-Nilai Aswaja

  1. Nilai-nilai Kemoderatan (Tawassuth)
Khairul umur awsathuha (moderat adalah sebaik-baik perbuatan). Tawassuth bisa dimaknai sebagai berdiri di tengah, moderat, tidak ekstrim, tetapi memiliki sikap dan pendirian yang teguh dalam menghadapi posisi dilematis antara yang liberal dan konserfatif, kanan dan kiri, Jabariyah dan Qadariah, dengan mempertimbangkan kemaslahatan umat dalam garis-garis tuntunan Al-quran dan As-sunnah . Maka kurang benar jika PMII dikenal terlalu liberal dalam pemikiran, karena bertentangan dengan nilai-nilai tawassuth yang menjadi jantung pijakan dari PMII itu sendiri. Tetapi PMII lebih dialektis, lebih terbuka dalam pola berpikir, tidak terjebak dalam pemahaman fanatik yang berbuah pada sebuah kebenaran yang arbitrer (benar menurut diri sendiri).
Bersikap tawassuth dalam bidang aqidah adalah di satu sisi tidak terjebak dalam rasionalitas buta dan terlalu liberal (sehingga menomorduakan al-quran dan sunnah rasul), di sisi lain tetap menempatkan akal untuk berfikir dan menafsirkan al-quran dan al-sunnah yang sesuai dengan kondisi.
Fiqih atau hukum Islam yang tawassuth adalah seperangkat konsep hukum yang di dasarkan kepada Al-quran dan hadits, namun pemahamannya tidak sekadar bersandar kepada tradisi,juga tidak kepada rasionalitas akal belaka.
Tasawuf yang tawassuth adalah spiritualitas ketuhanan yang menolak konsep pencapaian haqiqah (hakikat Tuhan) dengan meninggalkan syari’ah ataupun sebaliknya. Tasawuf yang tawassuth menjadikan taqwa (syari’ah) sebagai jalan utama menuju haqiqah.
  1. Nilai-nilai Toleransi (Tasamuh)
Tasamuh adalah toleran, Sebuah pola sikap yang menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur bagaimana kita harus bersikap dalam hidup sehari-hari, khususnya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Biarkan semuanya partikular, tidak harus seragam dengan kita. Arah dari nilai toleransi ini adalah kesadaran akan pluralisme atau keragaman, baik itu dalam beragama, budaya, keyakinan, dan setiap dimensi kehidupan yang harusnya saling berkomplementer (saling melengkapi). Sebagaimana konsep binneka tunggal ika (berbeda-beda tapi tetap satu) dan ayat Al-Quran yang berbunyi “lakum dinukum wal-yadin” (bagimu agamamu, bagiku agamaku) yang dengan perbedaan ini kita mendapat rahmat, hidup kita lebih variatif.
Dalam arus filsafat yang saat ini berkembang, saatnya menyapu (sweeping) dan meruntuhkan metafisika kehadiran (konsep tunggal yang kebenarannya adalah satu). Sebuah konsep yang memaksakan kebenarannya terhadap yang lain, tanpa menerima perbedaan dan menolak akan kebenaran yang lain.
  1. Nilai-nilai Keseimbangan (Tawazun)
Tawazun berarti keseimbangan dalam pola hubungan atau relasi, baik yang bersifat antar individu, antar struktur sosial, antara Negara dan rakyatnya, maupun antara manusia dan alam. Keseimbangan di sini adalah bentuk hubungan yang tidak berat sebelah (menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak yang lain). Tetapi, masing-masing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai dengan fungsinya tanpa mengganggu fungsi dari pihak yang lain. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya kedinamisan hidup.
Dalam ranah sosial yang ditekankan adalah egalitarianisme (persamaan derajat) seluruh umat manusia. Tidak ada yang merasa lebih dari yang lain, yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya. Tidak ada dominasi dan eksploitasi seseorang kepada orang lain, termasuk laki-laki terhadap perempuan.
Dalam wilayah politik, tawazun meniscayakan keseimbangan antara posisi Negara (penguasa) dan rakyat. Penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang, menutup kran demokrasi, dan menindas rakyatnya. Sedangkan rakyat harus selalu mematuhi segala peraturan yang ditujukan untuk kepentingan bersama, tetapi juga senantiasa mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Dalam wilayah ekonomi, tawazun meniscayakan pembangunan sistem ekonomi yang seimbang antara posisi Negara, pasar dan masyarakat. Fungsi Negara adalah sebagai pengatur sirkulasi keuangan, perputaran modal, pembuat rambu-rambu atau aturan main bersama dan mengontrol pelaksanaannya. Tugas pasar adalah tempat pendistribusian produk yang memposisikan konsumen dan produsen secara seimbang, tanpa ada satu pihak pun yang ditindas. Fungsi masyarakat (khususnya konsumen) di satu sisi adalah menciptakan lingkungan ekonomi yang kondusif, yang di dalamnya tidak ada monopoli; dan di sisi lain mengontrol kerja negara dan pasar.
  1. Nilai-nilai Keadilan (Ta’adul )
Yang dimaksud dengan ta’adul adalah keadilan, yang merupakan pola integral dari tawassuth, tasamuh, dan tawazun. Dengan adanya keseimbangan, toleran, dan moderat maka akan mengarah pada sebuah nilai keadilan yang merupakan ajaran universal Aswaja. Setiap pemikiran, sikap dan relasi, harus selalu diselaraskan dengan nilai ini. Pemaknaan keadilan yang dimaksud di sini adalah keadilan sosial. Yaitu nilai kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sejarah membuktikan bagaimana Nabi Muhammad mampu mewujudkannya dalam masyarakat Madinah. Bagitu juga Umar bin Khattab yang telah meletakkan fundamen bagi peradaban Islam yang agung.Sebenarnya keempat nilai inilah yang menjadi metode berpikir dan pola perubahan sosial dari Nabi dan para sahabatnya.







Manhajul Fikr ASWAJA

Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur’an, apakah ia makhluk atau bukan, kemudian debat antara sifat-sifat Allah antara ulama Salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah, dan seterusnya.
Di wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman Khulafa’ur Rasyidin, yakni dimulai sejak terjadi perang Shiffin yang melibatkan khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu dengan Muawiyah. Bersama kekalahan khalifah keempat tersebut, setelah dikelabui melalui arbitrase (tahkim) oleh kubu Muawiyah, umat Islam semakin terpecah ke dalam berbagai golongan. Di antara mereka terdapat Syi’ah yang secara umum dinisbatkan kepada pengikut khalifah Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung Ali yang membelot karena tidak setuju dengan tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyah yang melegitimasi kepemimpinan Mu’awiyah.
Selain tiga golongan tersebut, masih ada Murji’ah dan Qodariyah, faham bahwa segala sesuatu terjadi karena perbuatan manusia dan Allah tidak turut campur (Af’al Al-ibad min Al-ibad), berlawanan dengan faham Jabariyah.
Di antara kelompok-kelompok itu, adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu Sa’id Hasan ibn Hasan Yasar Al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih dikenal dengan nama Imam Hasan Al Bashri, yang cenderung mengembangkan aktifitas keagamaan yang bersifat kultural (tsaqofiyah), ilmiah, dan berusaha mencari jalan kebenaran secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian politik antara berbagai fraksi politik (firqoh) yang berkembang ketika itu. Sebaliknya, mereka mengembangkan sikap keberagaman dan pemikiran yang sejuk, moderat, dan tidak ekstrim. Dengan sistem keberagaman semacam itu, mereka tidak mudah untuk mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik ketika itu.
Seirama waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi ulama setelah beliau, di antaranya Imam Abu Hanifah Al-Nu’man (150 H), Imam Malik Ibn Anas (179 H), Imam Syafi’i (204 H), Ibn Kullab (204 H), Ahmad Ibn Hanbal (241 H), hingga tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asy’ari (324 H) dan Abu Mansur Al-Maturidi (333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan, meskipun bila ditelusuri secara teliti, benih-benih faham Aswaja ini sebenarnya telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya.
Indonesia merupakan salah satu penduduk dengan jumlah penganut faham Ahlussunnah Wal Jama’ah terbesar di dunia. Mayoritas pemeluk Islam di kepulauan ini adalah penganut madzhab Syafi’i, dan sebagian terbesarnya bergabung -baik tergabung secara sadar maupun tidak- dalam jam’iyah Nahdlatul Ulama, yang sejak awal berdiri menegaskan sebagai pengamal Islam ala Ahlussunnah Wal Jama’ah.
A. Pengertian
Secara semantik, arti Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah sebagai berikut: Ahl berarti pemeluk, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab maka artinya adalah penganut aliran atau penganut madzhab (Ashab Al-madzhab).
Al-Sunnah mempunyai arti jalan, di samping memiliki arti Al-hadist. Disambungkan dengan Ahl keduannya bermakna pengikut jalan Nabi, para sahabat, dan tabi’in. Al-jama’ah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan, Ahlussunnah Wal Jama’ah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, para sahabat, dan tabi’in.
Nahdlatul Ulama merupakan ormas Islam pertama di Indonesia yang menegaskan diri berfaham Aswaja. Dalam Qonun Asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan oleh Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari juga tidak menyebutkan definisi Aswaja. Namun tertulis di dalam Qanun tersebut bahwa Aswaja merupakan sebuah faham keagamaan di mana dalam bidang aqidah menganut pendapat Abu Hasan Al-Asya’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang fiqh menganut pendapat dari salah satu madzhab empat (Madzahibul Arba’ah-Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali), dan dalam bidang tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid Al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.
Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama. Baru pada sekitar pertengahan dekade 1990, muncul gugatan yang mempertanyakan, tepatkah Aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat dipergunakan dengan cara lain?
Aswaja sebagai madzhab artinya seluruh penganut Ahlussunnah Wal Jama’ah menggunakan produk hukum atau pandangan para ulama dimaksud. Pengertian ini dipandang sudah tidak lagi relevan degan perkembangan zaman, mengingat perkembangan situasi yang berjalan dengan sangat cepat dan membutuhkan inovasi baru untuk menghadapinya. Selain itu, pertanyaan epistemologis terhadap pengertian itu adalah, bagaimana mungkin terdapat madzhab dalam madzhab ?
Dua gugatan tersebut dan banyak lagi yang lain, baik dari tinjauan sejarah, doktrin, maupun metodologi, menghasilkan kesimpulan bahwa Aswaja tidak lagi dapat diikuti sebagai madzhab. Lebih dari itu, Aswaja harus diperlakukan sebagai manhaj al-fikr atau metode berfikir.
B. Aswaja Sebagai Manhajul Fikr
Kurang lebih sejak 1995/1997, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meletakkan Aswaja sebagai Manhajul Fikr. PMII memandang bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab, melainkan sebuah metode dan prinsip berfikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan; inilah makna Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr.
Sebagai manhaj al-fikr, PMII berpegang pada prinsip-prinsip Tawassuth (moderat), Tawazun (netral), Ta’adul (keseimbangan), dan Tasamuh (toleran). Moderat tercermin dalam pengambilan hukum (Istinbath) yaitu memperhatikan posisi akal di samping memperhatikan nash. Aswaja memberi titik porsi yang seimbang antara rujukan nash (Al-qur’an dan Al-Hadist) dengan penggunaan akal. Prinsip ini merujuk pada debat awal-awal Masehi antara golongan yang sangat menekankan akal (Mu’tazilah) dan golongan fatalis (Jabariyah).
Sikap netral (Tawazun) berkaitan dengan sikap dalam politik. Aswaja memandang kehidupan sosial-politik atau kepemerintahan dari kriteria dan prasyarat yang dapat dipenuhi oleh sebuah rezim. Oleh sebab itu, dalam sikap tawazun, PMII tidak membenarkan kelompok ekstrim yang hendak merongrong kewibawaan sebuah pemerintahan yang disepakati bersama, namun tidak juga berarti mendukung pemerintahan. Apa yang terkandung dalam sikap tawazun tersebut adalah memperhatikan bagaimana keterpenuhan kaidah dalam perjalanan sistem kehidupan sosial politik.
Keseimbangan (Ta’adul) dan toleran (Tasamuh) terefleksikan dalam kehidupan sosial di masyarakat, yaitu cara bergaul dalam kondisi sosial budaya mereka. Keseimbangan dan toleransi mengacu pada cara bergaul PMII sebagai muslim dengan golongan muslim atau pemeluk agama yang lain. Realitas masyarakat Indonesia yang plural dalam budaya, etnis, ideologi politik, dan agama, PMII memandang bukan semata-mata realitas sosiologis, melainkan juga realitas teologis. Artinya bahwa Allah Subhanahu Wata’ala memang dengan sengaja menciptakan manusia berbeda-beda dalam berbagai sisinya. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan sikap yang lebih tepat kecuali ta’adul dan tasamuh.
C. Prinsip Aswaja Sebagai Manhaj
Berikut ini adalah prinsip-prinsip Aswaja dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip tersebut meliputi aqidah, pengambilan hukum, tasawuf/akhlak, dan bidang sosial-politik.
1. Aqidah
Dalam bidang aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah Ahlussunah Wal Jama’ah di antaranya yang pertama adalah aqidah Uluhiyyah (ketuhanan), berkait dengan ihwal eksistensi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Pada tiga abad pertama Hijriyah, terjadi banyak perdebatan mengenai eksistensi sifat dan asma Allah Subhanahu Wa Ta’ala, di mana terjadi diskursus terkait masalah apakah asma Allah tergolong dzat atau bukan. Abu Hasan Al-Asy’ari (324 H) secara filosofis berpendapat bahwa nama (Ism) bukanlah yang dinamai (Musamma), sifat bukanlah yang disifati (Mausuf), sifat bukanlah dzat. Sifat-sifat Allah adalah nama-nama (Asma’) Nya. Tetapi nama-nama itu bukanlah Allah dan bukan pula selain-Nya.
Aswaja menekankan bahwa pilar utama keimanan manusia adalah Tauhid; sebuah keyakinan yang teguh dan murni yang ada dalam hati setiap muslim bahwa Allah-lah yang menciptakan, memelihara, dan mematikan kehidupan semesta alam. Allah Maha Esa, tidak terbilang, dan tidak memiliki sekutu.
Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rasul sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan umat manusia dalam menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan yang diridhoi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dalam doktrin Nubuwwat ini, umat manusia harus meyakini dengan sepenuhnya bahwa Nabi Muhammad Shllallahu Alaihi Wa Sallam adalah utusan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang membawa Risalah (wahyu) untuk umat manusia. Dia adalah rasul terakhir, yang harus diikuti oleh setiap manusia.
Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia akan mendapatkan imbalan sesuai amal dan perbuatannya (Yaumul Jaza’). Dan mereka semua akan dihitung (Hisab) seluruh amal perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal baik akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk akan masuk neraka.
2. Bidang Sosial Politik
Berbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan mewajibkan berdirinya negara imamah, Ahlussunnah Wal Jama’ah dan golongan Sunni umumnya memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (Fardlu Kifayah). Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda dengan golongan Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri. Bagi Ahlussunnah Wal Jama’ah, negara merupakan alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemaslahatan bersama (Mashlahah Musytarokah).
Ahlussunnah Wal Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas teokrasi, aristokrasi (kerajaan), atau negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat; apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah :
  • Prinsip Syura (musyawarah)
Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan, dan peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah sebagai berikut :
Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri (Q.S. Al-Syura, 42: 36-39)
  • Prinsip Al-‘Adl (keadilan)
Keadilan adalah salah satu perintah yang paling banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu. Di bawah ini adalah salah satu ayat yang memerintahkan keadilan:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.”(Q.S. An-Nisa, 4:58)
  • Prinsip Al-Hurriyah (kebebasan)
Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warga negaranya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip lima), yaitu :
  1. Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang di wilayahnya.
  2. Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk, meyakini, dan menjalankan agama dan kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga negara.
  3. Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
  4. Hifzhu al-Nasl; bahwa negara wajib memberi jaminan terhadap asal-usul, identitas, dan garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mengunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhun al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.
  5. Hifzhu al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan, ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap warga negara.
Al-Ushul al-Khams identik dengan konsep hak asasi manusia yang lebih dikenal dalam dunia modern. Lima pokok atau prinsip di atas menjadi ukuran bagi legitimasi sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi pemimpin kelak hari kemudian.
  • Prinsip Al-Musawah (kesetaraan derajat)
Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Antara satu manusia dengan manusia lain, bangsa satu dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk saling mengenal antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. Dalam surat Al-Hujurat disebutkan :
Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (Al-Hujurat, 49:13)
Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang dikehendaki oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah:
Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan” (Al-Maidah; 5:48).
Dalam sebuah negara, kedudukan warga Negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani, dan menjamin kemaslahatan bersama, dan tidak ada privilege (keistimewaan) khususnya di mata hukum. Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi, dan jabatan politik.
Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin negara Islam, formalisasi syari’at Islam, dan khilafah Islamiyah bagi Ahlussunah wal Jama’ah. Sebagaimana juga tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas untuk mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk menjamin agar sebuah pemerintahan -baik negara maupun kerajaan- mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.
3. Bidang Istinbath Al-Hukm (pengambilan hukum syari’ah)
Hampir seluruh golongan Sunni menggunakan empat sumber hukum yaitu :
  1. Al-Qur’an
  2. As-Sunnah
  3. Ijma’
  4. Qiyas
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum tidak dibantah oleh semua madzhab fiqh. Sebagai sumber hukum naqli, posisinya tidak diragukan. Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.
Sementara As-Sunnah meliputi Al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul Shallallahu Alaihi Wa Sallam, sebagaimana diriwayatkan oleh para sahabat dan tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses Istinbath Al-Hukm tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.
As-Sunnah sendiri mempunyai tingkat kekuatan yang bervariasi. Ada yang terus-menerus (mutawatir), terkenal (masyhur) ataupun terisolir (ahad). Penentuan tingkat As-Sunnah tersebut dilakukan oleh Ijma’ Shahabah.
Menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalah kesepakatan kelompok legislatif (Ahl Al-Halli Wa Al-Aqdi) dan umat Muhammad pada sesuatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang mukallaf dari umat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus.
Dalam Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam Q.S. An-Nisa’, 4: 115 :
“Dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” Dan, “Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.” (Q.S. Al Baqoroh, 2: 143).
Qiyas, sebagai sumber hukum Islam, merupakan salah satu hasil ijtihad para Ulama. Qiyas yaitu mempertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum. Qiyas sangat dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.
4. Tasawuf
Imam Al-Junaid bin Muhammad Al-Baghdadi menjelaskan, “Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya; Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala tanpa keterikatan apapun”.
Imam Abu Hamid Al-Thusi Al-Ghazali menjelaskan, “Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah –Aku simpulkan bahwa kaum sufi adalah para pencari di jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang paling tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu Allah”.
Berada semata-mata bersama Allah Subhanahu Wa ta’ala tanpa keterikatan apapun”, kata Imam Al-Junaid, lalu “Menyucikan hati dari apa saja selain Allah, mereka (kaum sufi) telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah,” kata Imam Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu membersihkan hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya.
Keterikatan kepada apapun selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah proses batin dan perilaku yang harus dilatih bersama keterlibatan kita di dalam urusan sehari-hari yang bersifat duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai ikhtiar batin untuk melepaskan diri dari keterikatan selain kepada-Nya tanpa meninggalkan urusan duniawi. Mengapa? Karena justru di tengah-tengah kenyataan duniawi posisi manusia sebagai hamba dan fungsinya sebagai khalifah harus diwujudkan.
Banyak contoh sufi atau ahli tasawuf yang telah zuhud namun juga sukses dalam urusan duniawi. Kita lihat saja Imam Al-Junaid adalah pengusaha botol yang sukses, Al-Hallaj sukses sebagai pengusaha tenun, Umar bin Abdul Aziz adalah seorang sufi yang sukses sebagai pengusaha konveksi, Abu Hasan al-Syadzili sukses sebagai petani, dan Fahiruddin al-Atthar sukses sebagai pengusaha parfum. Mereka adalah sufi pada maqomnya, tidak lagi terikat dengan urusan duniawi tanpa meninggalkan urusan duniawi.
Urusan duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti mencari nafkah (pekerjaan), kemudian berbuntut pada urusan lain seperti politik. Dari urusan-urusan itu kita lantas bersinggungan dengan soal-soal ekonomi, politik-kekuasaan, hukum, persoalan sosial, dan budaya. Dalam tasawuf urusan-urusan itu tidak ditinggalkan untuk mencapai zuhud, justru kita mesti menekuni kenyataan duniawi secara total sementara hati/batin kita dilatih untuk tidak terikat dengan urusan-urusan itu. Di situlah zuhud kita maknai, yakni zuhud di dalam batin sementara aktivitas sehari-hari kita tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap potensi manusia bagi terwujudnya masyarakat yang baik.

HISTORITAS ASWAJA “REFLEKSI DARI MADZAB KE MANHAJ AL-FIKR” Oleh Ali Masykur

Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjv_OCYH-nFCS_NPNLqv6KvRjN6PisnkfcI12gm-4D2QVOUQqPTacpxqnSJsTnjEg7a6MqWPDhco_jJTMhTUdSZYdX8Si9k9dZQ4XUcfqAxhFGpWig8oml5HOBEXb9_Vc7YNs7W-GMOJyjG/s320/aswaja.jpg
Aswaja (Ahlussunnah Wal Jama’ah) salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tubuh keorganisasian PMII. Mengapa? Karena Aswaja merupakan metode pemahaman dan pengamalan keyakinan tauhid, ini disebutkan dalam NDP (Nila Dasar pergerakan) yang ada dalam tubuh PMII.

Karena kenyataan inilah membahas tentang aswaja menjadi urgen, karena akan menghantarkan kita semua terutama para kader untuk mererfleksi dan menjadikannya dasar sekaligus pedoman dalam melakukan pergerakan, sehingga nantinya apa yang akan dilakukan selalu sejalan dengan apa yang menjadi semangat dari organisasi tercinta ini.

Secara etimologi Ahlussunnah Wal Jama’ah (aswaja)merupakan gabungan kata yang terdiri dari Ahlun (
اهل) yang berarti keluarga, pengikut/golongan, sunnah (سنّة) yang berarti jalan, dan juga bisa berarti hadits. Dan al-jama’ah(الجماعة) yang berarti Mayoritas ulama dan jama’ah umat Islam pengikut sunnah Rasul. Demikian secara kebahasaan Ahlussunnah/aswaja berarti orang–orang atau mayoritas para ‘Ulama atau umat Islam yang mengikuti sunnah Rasul dan para Sahabat atau para ‘Ulama.

KH. Sirajuddin Abbas mendefinisikan ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai kaum yang menganut I’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabat beliau (I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah : 2).

Drs. KH. Syamsudin Anwar, Mendefinisikan  Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah penganut ajaran, paham (doktrin) yang menganut pada sunnah Nabi dan I’tiqad para sahabat Nabi (Ahlussunnah Wal Jama’ah Konteksnya dengan sumber daya manusia dan Lingkungan Hidup : 2)

Kemudian pengertian ini mengalami perubahan ketika Ahlussunnah diartikan menurut presfektif Nahhdhatul ‘Ulama (NU). Dalam Qanun Asasi yang dirumuskan Hadhrastus Syaikh KH. Hasyim ‘Asy’ari tertulis bahwa Aswaja merupakan sebuah paham keagamaan di mana dalam bidang aqidah menganut pendapat Abu Hasan al-Asy’ari dan al-Maturidi, dalam bidang fiqih menganut salah satu dari keempat madzhab (Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Hanbali), dan dalam bidang tasawuf menganut Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali.

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN

Tercatat ada 3 hadits, dua diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan satu oleh Imam Tabrani. Dalam hadits ini diceritakan bahwa umat Yahudi akan terpecah ke dalam 71 golongan, Nasrani menjadi 72 golongan, dan Islam dalam 73 golongan. Semua golongan umat Islam itu masuk neraka kecuali satu. "Siapa mereka itu, Rasul?" tanya sahabat. "Ma ana ‘Alaihi wa Ashabi," jawab Rasul.

Bahkan dalam hadist riwayat Thabrani, secara eksplisit dinyatakan bahwa golongan itu adalah Ahlussunah wa al-jama’ah. Ungkapan Nabi itu lantas menjadi aksioma umum. Sejak saat itulah kata Aswaja atau Sunni menjadi sedemikian populer di kalangan umat Islam. Sebenarnya bukan hanya itu yang melatarbelakangi lahirnya Aswaja. Karena dicatat bahwa Aswaja lahir sebagai respon dari gejolak politik yang terjdi pada masa khulafaur Rasyidin. Yakni dimulai sejak perang shiffin yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah. Bersama kekalahan Ali dalam tahkim dikarenakan pengkelabuan yang dilakukan dari pihak Muawiyyah.

Kemudian umat islam makin terpecah kedalam berbagai golongan. Di antara mereka terdapat Syi’ah yang secara umum dinisbatkan kepada pendukung Ali, Khawarij yakni pendukung Ali yang membelot karena tidak setuju dengan keputusan tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyyah yang melegitimasi kepemimpinan Muawiyyah. Selain ketiga golongan tersebut masih ada Murji’ah dan Qadariyyah.

Di antara kelompok-kelompk tersebut ada sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu Sa’id Hasan bin Hasan Yasar al-Bashri lebih dikenal Imam Hasan al-Bashri (21-110 H/639-728 M) yang cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersifat cultural, ilmiah, dan berusaha mencari kebenaran secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian antara berbagai fraksi politik (firqah) yang berkembang pada masa itu. Sebaliknya mereka mengembangkan system keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat dan tidak ekstrim. Dengan system keberagamaan seperti ini mereka tidak mudah mengkafirkan golongan yang terlibat pertikaian politik ketika itu.

Sebagai konfigurasi sejarah, maka secara umum Aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahap secara evolutif. Pertama, tahap embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik, yakni memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahap ini masih merupakan tahap konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan al-Basri Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam al-Syafi’I (w.205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahab ini,kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma,di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama. Proses kristalisasi ini dilakukan oleh tiga tokoh dan sekaligus ditempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan, yakni; Abu Hasan al-Asy’ari (w.324 H/935 M) di Mesopotamia, Abu Mansur al-Maturidi (w.331 H/944 M) di Samarkand, Ahmad Bin Ja’far al-Thahawi (w.331 H/944 M) di Mesir. ( Nourouzzaman Shidiqi : 1996). Pada zaman kristalisasi inilah Abu Hasan al-Asy’ari meresmikan sebagai aliran pemikiran yang dikembangkan. Dan munculnya aswaja ini sebagai reaksi teologis-politis terhadap Mu’tazilah, Khawarij dan Syi’ah yang dipandang oleh Asy’ari sudah keluar dari paham yang semestinya.

Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan lahirnya Ahlussunah wa al-jama’ah merupakan rsepon dari prtselisiahn politik pada masa itu, dimana ia lahir dengan mengenalkan kedamaian, keseimbangan, dan inilah sebenarnya ciri utama dari Ahlussunah wa al-jama’ah.

REFLEKSI ASWAJA SEBAGAI  MANHAJ AL FIKRI

Sejak waktu berdirinya NU, hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja lebih didorongkan sebagai Madzab. Baru pada sekitar pertengahan dekade 1990 muncul gugatan yang mempertanyakan, tepatkah aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat digunakan dengan cara lain ?

Aswaja sebagi madzhab artinya seluruh penganut Ahlussunnah Wal Jama’ah menggunakan produk hukum atau pandangan para Ulama yang dimaksud. Pengertian ini dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman mengingat perkembangan situasi yang berjalan sangat cepat dan membutuhkan inovasi baru untuk mengadapinya. Selain itu pertanyaan epistimologis terhadap pengertian itu adalah  bagaimana mungkin terdapat madzhab di dalam madzhab? Dua gugatan tersebut dan banyak lagi yang lain, baik dari tinjauan sejarah, doktrin maupun metodologi, yang menghasilkan kesimpulan bahwa Aswaja tidak lagi dapat diikuti sebagai madzhab. Lebih  dari itu, Aswaja harus diperlakukan sebagai Manhaj Al-Fikri atau metode berpikir.

Didalam PMII Aswaja dijadikan Manhajul Al-Fikri artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran agama. Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksi isi atau konsep yang ada dalam aswaja tapi sampai sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir ada banyak relevasinya dalam kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam membuka ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok apapun.

Rumusan Aswaja sebagai manhajul fikri pertama kali diintrodusir oleh Kang Said (panggilan akrab Prf. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA) dalam sebuah forum di Jakarta padatahun 1991. Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu saja tanpa ada discourse panjang dan mendalam dari pada dipandang sebagai upaya ‘merusak’ norma atau tatanan teologis yang telah ada. Dalam perkembangannya, akhirnya rumus ini diratifikasi menjadi konsep dasar Aswaja di PMII. Prinsip dasar dari aswaja sebagai manhajul fikri meliputi ; tawasuth(moderat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang).

Aktualisasi dari prinsip yang Pertama adalah bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme (tekstual) dan rasionalisme. Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapatkita pada orang lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakakan keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan. Ini adalah menifestasi dari prinsip tasamuh dari aswaja sebagai manhajul fikri.

Dan yang terakhir adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak seharusnya. walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa memandang dan menposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi dari sikap pengecut dan oportunis.

Dengan adanya transisi Aswaja dari madzhab menjadi Manhaj Al-Fikri sebenarnya memberikan udara segar bagi kita mengapa? Karena dengan demikian nantinya kita akan dapat menghasilkan pandangan-pandangan yang tentu relevan dengan keadaan yang sedang kita alami pada masa sekarang, bukan hanya itu hal ini membuka pintu kretivitas umat. Tapi perlu kita sadari dengan adanya transisi ini, kita dituntut untuk lebih giat, termotivasi dalam usaha kita tafaquh fi al-din, agar nantinya apa yang kita hasilkan benar-benar membawa kemashlahatan bagi umat.

 Oleh Ali Masykur (Ketua Umum PMII Rayon Syariah Walisongo Semarang)








Komentar

Postingan Populer