ke-Indonesiaan
Disampaikan oleh Sahabat Imam
Hambali
Pengantar
Awal
Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir tidak bebas nilai.[2]
PMII lahir bukan hanya sebagai wadah gerakan mahasiswa nahdliyin, tetapi
juga memiliki nilai-nilai kesejarahan yang sangat kuat dengan Indonesia. PMII
lahir bukan hanya untuk sekelompok golongan, tetapi memiliki tujuan universal
untuk dan demi Indonesia. Pilihan nama PMII, pada dasarnya merupakan bukti
bahwa PMII merupkan perpaduan dari berbagai karakter yang menyatu, meliputi
karakter agresif (bergerak), kemahasiswaan (simbol kepemudaan), Islam (komitmen
keberagamaan yang genuine dan substansial) serta Indonesia (sebagai
bangunan dasar perjuangan kebangsaan PMII).[3]
Dalam
konteks Indonesia, hanya PMII yang menjadi satu-satunya organisasi mahasiswa
yang “berani” menyatakan diri sebagai organisasi yang memadukan antara
nilai-nilai keislaman dengan nilai-nilai keindonesiaan. Bagi PMII, Islam adalah
sebagai agama dan Indonesia dengan seperangkat sejarah dan kebudayaannya
sebagai satu entitas yang harus bersenyawa dengan Islam. Artinya, PMII mencoba
menghadirkan Islam dengan tetap mengacu pada nilai-nilai kesejarahan dan
kebudayaan bangsa Indonesia.
PMII tidak
mau menyatakan diri sebagai “PMI” (Pergerakan Mahasiswa Islam, tanpa
Indonesia), karena nama itu cenderung mereduksi aspek kesejarahan dan
kebudayaan bangsa Indonesia. Nama PMII dipilih karena PMII lahir dari rahim
kebudayaan bangsa Indonesia, sehingga nilai-nilai keindonesiaan tetap tidak
bisa dihilangkan dan akan (tetap) menjadi pijakan gerak PMII di tengah
kontestasi peradaban dunia yang terus bergerak : saling mendominasi.
Dalam
konteks ini, kehadiran PMII di muka bumi ini, membawa dua misi besar, yaitu
membela nilai-nilai Islam dan membela nilai-nilai keindonesiaan. PMII merupakan
wadah dimana dua nilai bersenyawa : antara lain nilai keislaman dan nilai
keindonesiaan, yang tidak bisa dihilangkan. PMII bukanlah organisasi eksklusif
(tertutup) dan bukan organisasi yang terjebak dengan logika kearaban (Arabisme),
karena PMII menganut nilai-nilai keislaman, bukan nilai kearaban, sehingga
dalam konteks Indonesia, PMII mencoba menghadirkan nilai-nilai keislaman (bukan
nilai-nilai arab) dan nilai-nilai keindonesiaan yang mengental.[4]
Menjadi
kader PMII, secara otomatis menjadi generasi Indonesia yang siap berbakti dan
mengabdi untuk kejayaan Indonesia. Generasi Indonesia adalah generasi yang
tidak pernah kehilangan nilai-nilai keindonesiaan yang telah ditanamkan oleh
para pendiri bangsa ini. Sebab, membangun PMII sama halnya dengan membangun
bangsa Indonesia. Generasi Indonesia yang sejati adalah generasi yang berjiwa
Indonesia, yaitu berhati putih, dan berjiwa merah sebagai lambang keberanian :
berani untuk dan demi Indonesia, sehingga menjadi generasi sejati haruslah
mampu berinteraksi secara total dengan nilai-nilai keindonesiaan (baik nilai
sejarah maupun nilai-nilai kebudayaan Indonesia. Dan, itulah salah satu ciri
kader PMII yang kaffah, yaitu kader yang memahami kondisi Indonesia
sejak awal sampai bagaimana memposisikan Indonesia di tengah pusaran global
yang setiap waktu bisa berubah.
Embrionisasi
Nasionalisme Ke-Indonesiaan
Indonesia
adalah Negara yang besar. Indonesia terdiri dari pulau-pulau kecil yang
menyemut. Indonesia menjadi bangsa yang besar tidak lepas dari upaya para
pendahulu bangsa ini sebelum menjadi Indonesia, karena secara historis
Indonesia diracik dari nasionalisasi yang sangat kental. Negeri ini pada awal
Masehi sampai abad ke-13 merupakan negeri-negeri kecil yang terpisah-pisah
diantara ribuan pulau-pulau kecil yang menyebar.[5]
Akibat upaya
nasionalisasi para pendiri bangsa ini, akhirnya negeri-negeri yang
terpencar-terpencar tersebut bisa disatukan dalam satu nama bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, salah satu jargon bangsa Indonesia yang selalu didoktrinkan
kepada seluruh lapisan masyarakat sampai saat ini adalah : Bhinneka tunggal
ika, yaitu berbeda-beda, tetapi tetap satu. Itulah Indonesia, yang dibangun
dengan kekuatan nasionalisme yang memuncak.
Terdapat
beberapa pulau yang besar, antara lain pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan Papua. Di Pulau tersebut, telah berdiri kerajaan yang independen.
Kemudian pada abad ke-13, muncullah ide untuk menyatukan negeri-negeri tersebut
dalam satu Negara yang besar dan berdaulat. Gajah Mada adalah pencetus ide
brilian dan menakjubkan itu[6].
Dengan komitmennya ia berjuang mewujudkan impian besarnya : menyatukan
negeri-negeri yang independen dalam satu kesatuan yang kuat : akhirnya bernama
Indonesia.
Dalam
konteks kesejarahan nusantara, Gajah Mada dikenal dengan Sumpah Palapa-nya.
Sumpah tersebut merupakan puncak nasionalisme bagi Gajah Mada sekaligus
pertaruhan besar untuk merangkai sebuah negeri dari berbagai negeri yang
berkeping-keping. Sumpah Palapa diucapkan oleh Gajah Mada pada tahun 1331-1364,
bersama Prabu Hayam Wuruk (1350-1389), yaitu janji prasetia untuk berpantang
makan buah palapa sebelum seluruh kepulauan nusantara bisa takluk di bawah
kekuasaan Negara.[7]
Nasionalisasi
yang telah di cetuskan oleh Gajah Mada pada waktu itu, telah melahirkan gerakan
persatuan yang dihelat pada 28 Oktober 1928, bahwa kesatuan Nusantara
mendapatkan keputusan pada kongres Sumpah Pemuda di Jakarta menuju Indonesia
Raya dengan berbangsa, bertumpah darah dan berbahasa Indonesia.[8]
Sumpah Pemuda ini, pada gilirannya yang menjadi cikal bakal terwujudnya sebuah
republik atau yang mashur yang nation state (Negara-bangsa)
Kolonialisasi
di Indonesia
Sejak masih
berstatus nusantara dan setelah menjadi nation satate, Indonesia telah
menjadi bagian dari pergolakan yang terjadi di belahan dunia. Hubungan dengan
Negara lain yang telah terbangun dengan dunia luar, pada akhirnya membuat
posisi Indonesia berada dalam incaran kaum kolonialis. Kedatangan Portugis,
Spanyol, Belanda dan Ingris ke daerah bagian Nusantara merupakan akibat dari
persaingan dagang dan politik antar negeri-negeri Eropa. Salah satunya
persaingan antara Portugis dan Spanyol yang melahirkan perjanjian Tordessilas
yang membelah dunia menjadi dua bagian dengan Eropa sebagai titik tengahnya,
sementara bagian timur menjadi bagian Portugis dan sebelah barat diserahkan
kepada Spanyol.[9]
Indonesia
menjadi bagian dari Negara yang membuat bangsa lain tertarik. Kolonialisasi
yang dilakukan kepada Indonesia, bukan tanpa alasan. Indonesia merupakan Negara
primadona, selain karena faktor kekayaan alam Indonesia yang melimpah, letak
Indonesia juga sangat strategis. Potensi tersebut dijelaskan oleh Tan Malaka
dalam bukunya yang terkenal Madilog, menurutnya bahwa minyak di Sumatra,
Kalimantan, dan Irian sudah tersohor di seluruh dunia. Bauksit dan alumunium,
keduanya telah digunakan untuk membuat baja yang kuat, keras, sudah dikerjakan
di Riau dan akan dikerjakan di Asahan. Benda perang seperti, timah, getah, dan
kopra (untuk bom TNT yang maha dahsyat terbuat dari minyak kelapa), semua itu
terdapat di Indonesia melebihi di dunia yang lain.[10]
Bahkan lebih
jauh, Tan Malaka menulis bahwa salah seorang penulis buku Amerika pernah
meramalkan, bahwa kalau suatu Negara, seperti Amerika ingin menguasai samudera
dan dan dunia, ia harus merebut Indonesia lebih dulu sebagai sendi
kekuasaannya.[11]
Kondisi yang demikian telah tercium oleh bangsa-bangsa yang lain, sehingga
berbagai upaya kolonialisasi dan imperialisasi dari sejumlah bangsa lain telah
membuktikan tentang tesis tersebut. Beratus-ratus tahun bangsa Indonesia
dijajah, dan beratus-ratus tahun pula kekayaan bangsa Indonesia di keruk oleh
para penjajah. Busset!
Penjajahan
yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Barat tersebut telah menjadi awal
keterpurukan bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa. Sebab, ideology kaum
penjajah tetap tidak bisa dilepaskan dari upaya untuk mengerdili hak dan
martabat bangsa yang di jajah. Mungkin karena berpuluh-puluh tahun berada dalam
cengkeraman penjajah, - sampai saat ini - bangsa Indonesia masih kental dengan
karakter keterjajahan : menjadi Negara yang bergantung dan “mau” diproteksi pada
bangsa lain, terutama dalam aspek kebudayaan, politik dan ekonomi.
Kedatangan
Belanda masuk ke Indonesia sejak tahun 1596 – Cornelis de Houtman di Banten -
dan puncaknya terjadi pada saat VOC yang merupakan kongsi dagang pemerintah
Belanda berada di Indonesia. VOC memulai kekejaman eksploitasinya sejak tahun
1602 di bawah komando Gubernur Jenderal Hindia Belanda, J.P. Coen, salah satu
kebijakan eksploitatifnya ialah sistem tanam paksa. [12]
Indonesia di
Tengah Gelombang Globalisasi Dunia
Globalisasi
telah menjadi raksasa kehidupan dunia yang tidak bisa dihindari. Globalisasi
telah menggilas setiap ruang dan jarak antar Negara yang berjauahn sekaligus.
Kemajuan teknologi informasi telah menjadi salah satu karya nyata persembahan
globalisasi terhadap dunia. Bahkan, kemajuan teknologi dan informasi telah
menjadi infrastruktur yang menopang gerakan globalisasi dan ekonomi neoliberal.
Dengan kecanggihan teknologi, para pemilik modal besar, dengan mudah memindah
modalnya dari satu Negara ke Negara yang lain.
Selain itu,
sistem moneter dan pengetahuan juga dikuasai oleh para pemilik modal raksasa,
terutama Negara-negara maju, sehingga mempersempit ruang gerak bagi
Negara-negara berkembang, apalagi Negara yang miskin. Itulah salah satu aturan
main yang terjadi di tengah globalisasi, dengan prinsip utama kapitalisasi yang
mengakar.[13]
Dalam
gerakan global, tidak ada lagi ruang bagi Negara berkembang, karena yang
memiliki hak dominan adalah negara-negara kaya yang bermodal. Apalagi dalam
konsep international division of labour teori world-system, Negara-negera
dunia pertamalah yang yang menguasai system dunia sebagai Negara-negara pusat.[14]
Sementara Negara-negara bekembang hanya dijadikan sebagai boneka dan
bulan-bulanan oleh Negara-negara bermodal. Setiap kebijakan yang akan
dilahirkan oleh Negara berkembang, tidak bisa melampaui kebijakan yang diatur
oleh Negara pemodal.
Negara-negara
berkembang, telah dijebak dengan kekuatan modal oleh Negara-negara besar,
sehingga tidak bisa berbuat lebih dari apa yang telah ditentukan oleh Negara
pemodal dalam berbagai aspek. Dan, Indonesia tengah berada dalam posisi
terkunci dalam gerak kenyataan global tersebut, sehingga kebijakannya, baik
dalam skala nasional maupun internasional tetap tidak bisa dipisahkan dari
aturan main yang telah ditentukan Negara-negara pemodal.
Negara-negara
pusat ( pemodal) memainkan peran strategisnya dalam setiap perumusan aturan
internasional melalui lembaga-lembaga internasional. Misalnya, ISO (International
Standard Organization) yang menjadi salah satu aturan internasional dalam
masalah perdagangan lintas Negara. Cara pandang penentuan aturan dalam ISO
tentu saja mengacu pada cara pandang dunia pertama, yang tentu saja berbeda
dengan cara pandang Negara-negara berkembang yang banyak merugikan negara dunia
ketiga yang cenderung menghadapkan Negara dunia ketiga pada hukum besi
mekanisme pasar.[15]
Bahkan beberapa lembaga internasional dibentuk oleh Negara-negara besar sebagai
amunisi untuk menjebak Negara-negara lemah. Institusi seperti PBB, WTO (World
Trade Organization), IMF (International Monetary Fund), dan
institusi regional, seperti Uni Eropa dan NAFTA (North America Free Trade
Agreement). Institusi itulah yang menciptakan aturan main politik skala
global, terutama yang menyangkut isu-isu perdagangan dan keamanan inernasional.
Perkembangan politik internasional telah menggerogoti batas-batas teritori
Negara, sehingga potensial untuk memunculkan rezim internasional yang
berpengaruh dalam menentukan masa depan Negara-negara lain. Dampaknya, peran
Negara atas warganya sendiri semakin kecil, digantikan oleh rezim global yang
mampu menggerakkan struktur sosial dan politik sebuah Negara.[16]
Globalisasi dan
kapitalisasi juga telah melahirkan hegemoni berlebihan Negara-negara adi kuasa.
Propaganda tentang pasar bebas yang dikampanyekan oleh Negara-negara kaya telah
membuahkan hasil. Indonesia termasuk Negara yang “berani” menerima keberadaan
Pasar Bebas tersebut. Menerima pasar bebas berarti juga telah terikat dengan
perjanjian dagang yang sangat mengikat, baik di level regional maupun
internasional. Melalui intitusi internasional tersebut, Negara capital
memainkan peran hegemoniknya, dengan cara memberikan pinjaman modal kepada
Negara berkembang berdasarkan kesepakatan yang menguntungkan Negara pemimjam.
Negara-negara capital membuat bank sentral global, seperti IMF yang
memfasilitasi pinjaman luar negeri yang sangat besar.[17]
Pasar Bebas
dan kebijakan lainnya yang dikampanyekan oleh Negara-negara kaya, pada dasarnya
adalah upaya untuk menghegemoni Negara-negara berkembang sekaligus sebagai
aktualisasi dari ajaran kapitalisme yang mereka anut. Kapitalisasi yang menjadi
agenda besar negara-negara kaya, tidak lebih hanya bagian dari imperialisasi
gaya baru terhadap bangsa lain, termasuk Indonesia. Karena setiap Negara yang
menerima ajaran Negara-negara kaya tersebut sama halnya dengan telah
menyerahkan dirinya untuk diperdaya.
Mereka telah
menyerahkan kemerdekaannya terhadap Negara lain, sehingga kemedekaan yang
sepenuhnya tidak lagi dimiliki. Apa yang pernah dicetuskan oleh Tan Malaka, agar
kita memiliki kemerdekaan sepenuhnya, telah raib, karena kita telah memilih negociated
independence. Indonesia telah tunduk pada hukum pasar global yang
diproteksi oleh Negara-negara kapital, sehingga tidak memiliki kemerdekaan yang
sepenuhnya.
Bahkan posisi
Indonesia saat ini, tidak akan mungkin bisa terhindar dari proses politik
internasional tersebut, aplagi dengan posisi geografis, Indonesia di kawasan
Asia Pasifik yang strategis, baik secara politik maupun ekonomi. Tanpa
kewaspadaan dan strategi jitu, Indonesia akan kehilangan banyak peran dan hanya
akan menjadi actor kecil dalam pental dunia global, karena actor penting akan
digantikan oleh kelompok non-negara (kalangan bisnis dan organisasi non
profit). Meraka akan menjadi pemain utama dengan peran yang sangat strategis
baik dalam level nasional maupun internasional.[18]
Catatan
Penutup : Hidupkan Nasionalisme Gajah Mada
Gambaran
sekilas di atas merupakan peta memprihatinkan tentang gerakan global, dimana
Negara-negara berkembang, seperti Indonesia hanya dijadikan sebagai umpan untuk
memenuhi ambisi hegmonik Negara-negara maju. Itulah penjajajahan gaya baru yang
lebih halus dan sistematis. Kapitalisasi yang dianut oleh Negara-negara kaya,
telah menjadi alat untuk menundukkan dan mempersempit ruang gerak Negara
berkembang, baik secara ekonomi, politik dan budaya. Kemerdekaan yang menjadi
hak setiap bangsa, telah terkendali secara perlahan oleh kekuataan
Negara-negara besar.
Sebagai
bagian dari Indonesia, PMII memiliki tanggung jawab yang besar untuk merespon
kondisi Indonesia di tengah ancaman politik-ekonomi global ini. Ide dan
aksi-aksi rasional PMII sangat dibutuhkan oleh bangsa ini, agar kembali menjadi
bangsa yang berdaulat dan memiliki kemerdekaan yang penuh. Diam atas kondisi
ini, bagi PMII sama halnya lari dari tanggungjawab dan membiarkan bangsa ini
tercekik secara perlahan-lahan.
Sumpah
Palapa ala Gajah Mada perlu dihidupkan kembali dengan format dan model yang
lain guna (tetap) mempertahankan jati diri bangsa Indonesia. Sebab, dampak
politik global sangat memungkinkan akan menciptakan konflik politik dalam
negeri, salah satunya membelah NKRI. Upaya untuk membelah NKRI harus dijadikan
sebagai musuh utama seluruh lapisan bangsa Indonesia, terutama PMII, karena
NKRI adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Setiap gerakan yang
mencoba membelah NKRI merupakan upaya penjajahan yang harus dilawan dengan
kekuatan penuh. Dan, globalisasi bisa saja hantu bagi eksistensi NKRI di
masa-masa yang datang.
PMII harus
bisa mewaspadai dan setiap gerakan globalisasi serta berupaya dengan sekuat
tenaga menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dengan sepenuhnya dan
memiliki kedaulatan yang kaffah, karena itulah yang menjadi prinsip
dasar Gajah Mada pada saat ia bertekad untuk menyatukan nusantara dalam satu
ikatan Negara besar sebagai cikal bakal Republik Indonesia. Oleh karena itu,
posisi PMII sebagai class of struggle (kelas pejuang), yang menempatkan
bangsa Indonesia sebagai obyek perjuangan. Artinya, perjuangan PMII hanya untuk
kemajuan bangsa dan Negara, sehingga berjuang menjaga kehormatan dan
kemerdekaan bangsa menjadi tugas wajib PMII.
[1] Disampaikan
dalam Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) PMII Komisariat STKIP-PGRI Sumenep,
12-14 Desember 2008
[2] Tentang kelahiran PMII, lihat Fauzan Alfas, PMII dalam Simpul-Simpul
Sejarah Perjuangan (Jakarta, PB PMII, 2006)
[3] PMII harus
dipandang sebagai invidu-invidu yang otonom dan mempunyai kebebasan untuk
berfikir serta mengambil peranan sesuai dengan kecenderungan dan otoritas diri
yang dimiliki. Sehingga, PMII akan dimaknai sebagai tempat berkumpulnya
individu-individu yang merdeka dan independen. Lihat. Muh. Hanif Dhakhiri-Zaini
Rahman, Post-Tradisionalisme Islam ; Menyingkap Corak Pemikiran dan Gerakan
PMII (Jakarta, Isisindo Mediatama, 2000), hlm. 61
[4] Membela
NKRI telah menjadi prinsip dasar PMII. Salah satu motivasi kelahiran PMII pada
17 April 1960, adalah memanifestasikan nasionalisme sebagai semangat
kebangsaan, karenanya nama Indonesia harus tetap tercantum. Lihat. Dr. Ahmad
Ali Riyadi, Dekonstruksi Tradisi Kaum Muda NU Merobek Tradisi (Jogjakarta,
ar-Ruzz, 2007), hlm. 73
[5] Dr.
Purwadi, M.Hum, Jejak Nasionalisme Gajah Mada : Refleksi Perpolitikan dan
Kenegaraan Majapahit untuk Masa Depan Indonesia Baru (Jogjakarta, Diva
Press,2004), hlm. 11
[7] M. Kholid
Syeirazi, “The Death of Nationalisme? Problem dan Tantanganya Bagi Paham
Kebangsaan Indonesia” dalam Majalah Tradem, edisi 5, April-Juli 2003, hlm.
71
[13] Perang
nuklir juga merupakan akibat global yang tidak bisa dipisahkan. Menurut Anthony
Giddens, perang nuklir secara potensial adalah yang terdekat dan paling
mengahncurkan diantara sekian bahaya global masa kini. Sejak 1980-qn telah
diketahui bahwa aktivitas nuklir yang sangat kecil bisa membawa dampak yang
sangat luas terhadap iklim dan lingkungan. Lihat. Anthony Giddens, Konsekuensi-KonsekuensiModernitas
(Jogjakarta, Kreasi Wacana, 2005), hlm. 166
Komentar