Mahasiswa Dalam Proses Penegakan Hukum Indonesia



Mahasiswa Dalam Proses Penegakan Hukum Indonesia [1]
Oleh: M. Nur Hidayat, S. HI [2]

“Revolusi di Indonesia selalu digawangi anak-anak muda. Maka, yang bermimpi melakukan revolusi di Indonesia, jangan berharap bisa kecuali menyerahkan kunci pada kaum muda. Lebih tepatnya, para revolusioner itu adalah mahasiswa.”
(Soe Hok Gie)

            Masih segar dibenak kita, beberapa minggu lalu dunia hukum di negara kita digegerkan oleh berita tertangkapnya ketua Mahkamah Konstitusi yang tertangkap basah di rumah dinas sedang melakukan praktek suap. Ironis sekali, pejabat yang “punya hukum” sekaligus penegak hukum justru melanggar hukum itu sendiri. Tentu dengan kejadian ini memukul mundur dunia penegakan hukum di Indonesia. Sekaligus menjadi tanda bahwa penegakan hukum di Indonesia makin melemah.
Paling tidak menurut Satjipto Rahardjo ada tiga unsur dalam proses penegakan hukum. Salah satu unsur tersebut adalah warga negara, lebih spesifik lagi yaitu mahasiswa yang paling proaktif menyuarakan gagasan, memprotes bahkan melawan kebijakan-kebijakan yang tidak pro-rakyat.

Sistem Hukum Indonesia
            Ada dua sistem hukum besar di dunia, Pertama; mereka yang mengatakan bahwa hukum adalah sesuatu yang tertulis dalam undang-undang, tersusun secara sistematis dalam kodifikasi, sehingga hukum dikatakan adil jika sesuai dengan bunyi undang-undang tersebut. Sistem hukum seperti ini disebut dengan civil law system. Belanda salah satu contoh negara penganut civil law system mengatakan, hukum yang baik adalah yang tertulis karena dengan demikian terjadi sebuah kepastian hukum sehingga hakim yang baik adalah hakim yang bisa mengerti dan yang dapat menafsirkan bunyi undang-undang.
            Kedua; mereka yang mengatakan bahwa hukum bukanlah sesuatu yang tertulis melainkan keadilan yang ada dalam hati seorang hakim. Sistem hukum yang demikian dinamakan dengan common law system. Amerika dan Inggris adalah contoh negara penganut common law system. Dengan sistem seperti ini hakim sama sekali tidak terikat dengan bunyi undang-undang. Ketika terjadi kesenjangan antara undang-undang dengan fakta sebuah kasus maka hakim tidak harus mengacu kepada bunyi undang-undang. Hal ini dikarenakan dalam setiap kasus memiliki karakter tersendiri dan tidak mungkin diatur dan dicover dalam undang-undang.
            Kedua sistem hukum tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Dalam satu kondisi hakim “terikat” pada undang-undang, tidak dapat menentukan hukum sesuai dengan karakteristik dalam sebuah kasus. Akan tetapi kepastian hukum terjamin karena sudah terkodifikasi dalam undang-undang, inilah yang terdapat dalam civil law system. Sedangkan dalam kondisi lain hakim bebas menentukan hukum sesuai dengan karakteristik masing-masing kasus, dapat membuat putusan sendiri tanpa dasar undang-undang yang dirasa mampu mencapai keadilan. Namun hal ini jika berlebihan akan mengkhawatirkan karena akan terjadi kesewenangan hakim dalam menentukan hukum. Hal demikianlah yang terjadi pada common law system.
             Indonesia dihadapkan dengan beberapa sistem hukum besar di dunia. Akan tetapi masyarakat Indonesia dalam tindakannya sering mengambil jalan tengah dari sebuah perbedaan, yang kerap para ahli menilai dan menamakan dengan “prismatika”. Indonesia mengambil jalan tengah dalam permasalahan ini, dengan mengambil keunggulan dari civil law dan common law. Bahwa hukum adalah yang tertulis dalam undang-undang, berfungsi sebagai arahan hakim dalam menetapkan hukum. Namun apabila hukum yang tertulis tersebut dirasa kurang mampu memberikan keadilan bagi masyarakat, maka hakim boleh ber­-ijtihad sesuai dengan keyakinan pribadi masing-masing yang dirasa sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Dengan demikian jelas sudah, bahwa hukum di Indonesia adalah perpaduan yang baik antara civil law dan common law.

Ada Yang Terlepas Dari Proses Penegakan Hukum Indonesia
            Secara sederhana, Mahfud MD menjelaskan bahwa hukum adalah kristalisasi dari nilai-nilai moral dan etika yang hidup dalam masyarakat yang dipercaya mampu memberikan keadilan bagi masyarakat. Seharusnya dengan konsep sistem hukum matang yang dimiliki, Indonesia mampu menjadi negara yang berkeadilan dalam hukum. Namun persoalannya sekarang, mengapa begitu banyak hari ini pelanggaran-pelanggaran hukum di negara kita.
            Ada yang terlepas dari akar sistem hukum Indonesia. Yang sebenarnya merupakan inti dari ruh hukum itu sendiri. Kalau hukum adalah kristalisasi nilai moral dan etika yang berkembang dalam masyarakat. Maka justru yang terlihat hari ini bahwa hukum hanya ikut pada persoalan formal-legalitas saja, miskin dari aspek nilai moral dan etika. Akibatnya banyak permainan hukum, moral dikesampingkan dan yang paling trend sekarang dalam dunia hukum adalah “wani piro”.
Penetapan hukum yang seharusnya dilandaskan pada nilai moral dan etika sudah hilang. Praktek jual beli hukum yang marak di kalangan elite hukum terjadi salah satunya karena nilai keadilan dan moral para penegak hukum sudah lepas. Maka terkadang, ada yang secara moral dan etika seseorang dinyatakan bersalah, akan tetapi karena seseorang tersebut bermain curang dengan para oknum penegak hukum maka tidak heran jika orang tersebut akan dibela dengan pasal-pasal lain untuk meringankan bahkan membenarkan perbuatannya. Ini menunjukkan bahwa hukum yang formal-legalitas dapat dipermainkan, maka pada dasarnya hukum juga bersumber dari hati nurani.


Posisi Mahasiswa Dalam Proses Penegakan Hukum Di Indonesia
            Mahasiswa dalam kamus besar Indonesia diartikan orang yang belajar di perguruan tinggi. Sejarah mencatat bahwa mahasiswa mempunyai peranan yang signifikan dalam penegakan di Indonesia. Salah satu peran mahasiswa dalam menggulingkan rezim Soeharto pada tahun 1998 dengan cara menduduki gedung DPR dan MPR oleh ribuan mahasiswa. Mereka memaksa mundur presiden Soeharto dari kursi jabatanya, dalam kejadian tersebut tidak sedikit korban berjatuhan demi terciptanya Indonesia yang lebih baik. Maka sejak itulah mahasiswa didengung-dengungkan sebagai the agent of change dan the agent of control.
            Kaitannya dengan penegakan hukum di Indonesia, merujuk konsep Satjipto Rahardjo ada tiga komponen utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum, diantaranya; unsur pembuat undang-undang, unsur penegak hukum dan lingkungan meliputi warga negara dan sosial. Melihat dari ketiga unsur tersebut, posisi mahasiswa terletak pada unsur lingkungan atau masyarakat. Unsur lingkungan dan masyarakat ini kebanyakan merupakan pelaku sasaran hukum.
Masalah penegakan hukum di Indonesia seperti uraian diatas lebih mengarah kepada mental penegak hukum yang bobrok, mudah rapuh dan goyah. Semua harusnya diawali dengan pribadi yang berkarakter. Disini mahasiswa memiliki peran dan fungsi sebagai cadangan masa depan atau calon pengganti pemimpin pemerintahan di era selanjutnya. Dengan sifat sekuat besi yang kokoh dan kuat, diharapkan mahasiswa dapat membawa bangsa ini menjadi bangsa yang mandiri, tidak mudah goyah dengan setiap persoalan yang terjadi, berprinsip dan tentunya menuju ke arah perubahan yang lebih baik.
Namun hal ini tidak akan dapat terwujud dengan baik kecuali jika mahasiswa hari ini mempunyai moral dan etika yang baik. Mahasiswa sebagai generasi penerus diharapkan memiliki akhlak terpuji dan moral yang baik dengan harapan ketika mereka menempati posisi pemerintahan, hal yang tidak diinginkan seperti kasus korupsi dan hal-hal yang menyimpang lainnya bisa dihapuskan. Mereka dituntut untuk memberikan teladan yang baik demi perubahan bangsa.
Selain mempersiapkan diri, mahasiswa juga memainkan social control sebagai pengontrol masyarakat dan pemerintahan. Terlebih-lebih jika nanti ada sesuatu yang salah di jajaran pemerintahan. Mahasiswalah yang mengoreksi, mahasiswalah yang mengontrol setiap pergerakan pemerintahan. Namun tidak hanya mengkritik saja, mahasiswa dituntut ikut memecahkan masalah yang dihadapi bangsa dengan memberikan solusi yang membangun dan juga turut membangun dan memberdayakan masyarakat sebagai representasi dari the agent of change.


[1] Disampaikan pada MAPABA PMII Komisariat STAI Attanwir, 05 Desemeber 2013 di Kanor
[2] Penulis adalah kader PMII Sunan Ampel Malang UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Komentar

Postingan Populer