KE-PMII-an
MATERI KE-PMII-AN
Oleh A. muhajirin
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu
elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi
lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960
dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa
turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia. Pendirian
PMII dimotori oleh kalangan muda NU (meskipun di kemudian hari dengan
dicetuskannya Deklarasi Murnajati 14 Juli 1972,
PMII menyatakan sikap independen dari lembaga NU). Di antara pendirinya adalah Mahbub Djunaidi dan Subhan ZE (seorang jurnalis
sekaligus politikus legendaris).
1. Sejarah
Latar belakang pembentukan PMII
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama'ah. Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII:
- Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959.
- Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada.
- Pisahnya NU dari Masyumi.
- Tidak enjoynya lagi mahasiswa NU yang tergabung di HMI karena tidak terakomodasinya dan terpinggirkannya
1. Sejarah
Latar belakang pembentukan PMII
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama'ah. Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII:
- Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959.
- Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada.
- Pisahnya NU dari Masyumi.
- Tidak enjoynya lagi mahasiswa NU yang tergabung di HMI karena tidak terakomodasinya dan terpinggirkannya
mahasiswa NU.
- Kedekatan HMI dengan salah satu parpol yang ada (Masyumi) yang nota bene HMI adalah underbouw-nya.
Hal-hal tersebut diatas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahsiswa yang berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahsiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Organisasi-organisasi pendahulu
Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa'il Harits Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU.
Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma'il Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU.
Konferensi Besar IPNU
Oleh karena itu gagasan legalisasi organisasi mahasiswa NU senantisa muncul dan mencapai puncaknya pada konferensi besar (KONBES) IPNU I di Kaliurang pada tanggal 14-17 Maret 1960. Dari forum ini kemudian kemudian muncul keputusan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara khusus di perguruan tinggi. Selain merumuskan pendirian organ mahasiswa, KONBES Kaliurang juga menghasilkan keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13 tokoh mahasiswa NU. Mereka adalah:
A. Khalid Mawardi (Jakarta) ketua 1
M. Said Budairy (Jakarta) sekretaris
M. Sobich Ubaid (Jakarta)
Makmun Syukri (Bandung)
Hilman (Bandung)
Ismail Makki (Yogyakarta)
Munsif Nakhrowi (Yogyakarta)
Nuril Huda Suaidi (Surakarta)
Laily Mansyur (Surakarta)
Abd. Wahhab Jaelani (Semarang)
Hizbulloh Huda (Surabaya)
M. Kholid Narbuko (Malang)
Ahmad Hussein (Makassar)
Keputusan lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy, dan Makmun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid.
Deklarasi
Pada tanggal 14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang,Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat tu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari ‘P’ apakah perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf "P" merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah.
Independensi PMII
Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan partai induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Selanjuttnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. 14 Juli 1971 melalui Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.
Namun, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan organisasi lain.
Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan.
2. Makna Filosofis
Dari namanya PMII disusun dari empat kata yaitu “Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia”. Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya.
Pengertian “Mahasiswa” adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dimnamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara.
“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah wal jama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized).
Sedangkan pengertian “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 45.
- Kedekatan HMI dengan salah satu parpol yang ada (Masyumi) yang nota bene HMI adalah underbouw-nya.
Hal-hal tersebut diatas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahsiswa yang berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahsiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Organisasi-organisasi pendahulu
Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa'il Harits Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU.
Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma'il Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU.
Konferensi Besar IPNU
Oleh karena itu gagasan legalisasi organisasi mahasiswa NU senantisa muncul dan mencapai puncaknya pada konferensi besar (KONBES) IPNU I di Kaliurang pada tanggal 14-17 Maret 1960. Dari forum ini kemudian kemudian muncul keputusan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara khusus di perguruan tinggi. Selain merumuskan pendirian organ mahasiswa, KONBES Kaliurang juga menghasilkan keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13 tokoh mahasiswa NU. Mereka adalah:
A. Khalid Mawardi (Jakarta) ketua 1
M. Said Budairy (Jakarta) sekretaris
M. Sobich Ubaid (Jakarta)
Makmun Syukri (Bandung)
Hilman (Bandung)
Ismail Makki (Yogyakarta)
Munsif Nakhrowi (Yogyakarta)
Nuril Huda Suaidi (Surakarta)
Laily Mansyur (Surakarta)
Abd. Wahhab Jaelani (Semarang)
Hizbulloh Huda (Surabaya)
M. Kholid Narbuko (Malang)
Ahmad Hussein (Makassar)
Keputusan lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy, dan Makmun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid.
Deklarasi
Pada tanggal 14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang,Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat tu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari ‘P’ apakah perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf "P" merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah.
Independensi PMII
Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan partai induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Selanjuttnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. 14 Juli 1971 melalui Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.
Namun, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan organisasi lain.
Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan.
2. Makna Filosofis
Dari namanya PMII disusun dari empat kata yaitu “Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia”. Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya.
Pengertian “Mahasiswa” adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dimnamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara.
“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah wal jama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized).
Sedangkan pengertian “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 45.
3. Lambang PMII
Lambang PMII diciptakan oleh H. Said Budairi. Lazimnya lambang, lambang PMII memiliki arti yang terkandung di setiap goresannya. Arti dari lambang PMII bisa dijabarkan dari segi bentuknya (form) maupun dari warnanya.
Dari Bentuk :
1. Perisai berarti ketahanan dan keampuhan mahasiswa Islam terhadap
1. Perisai berarti ketahanan dan keampuhan mahasiswa Islam terhadap
berbagai tantangan dan pengaruh luar
2. Bintang adalah perlambang ketinggian dan semangat cita- cita yang
2. Bintang adalah perlambang ketinggian dan semangat cita- cita yang
selalu memancar
3. Lima bintang sebelah atas menggambarkan Rasulullah dengan empat
3. Lima bintang sebelah atas menggambarkan Rasulullah dengan empat
Sahabat terkemuka (Khulafau al Rasyidien)
4. Empat bintang sebelah bawah menggambarkan empat mazhab yang berhauan Ahlussunnah Wal Jama’ah
5. Sembilan bintang sebagai jumlah bintang dalam lambing dapat diartikan ganda yakni :
• Rasulullah dan empat orang sahabatnya serta empat orang Imam mazhab itu laksana bintang yang selalu bersinar
4. Empat bintang sebelah bawah menggambarkan empat mazhab yang berhauan Ahlussunnah Wal Jama’ah
5. Sembilan bintang sebagai jumlah bintang dalam lambing dapat diartikan ganda yakni :
• Rasulullah dan empat orang sahabatnya serta empat orang Imam mazhab itu laksana bintang yang selalu bersinar
cemerlang, mempunyai kedudukan tinggi dan penerang umat manusia.
• Sembilan orang pemuka penyebar agama Islam di Indonesia yang disebut WALISONGO.
• Sembilan orang pemuka penyebar agama Islam di Indonesia yang disebut WALISONGO.
Dari Warna :
1. Biru, sebagaimana warna lukisan PMII, berarti kedalaman ilmu pengetahuan yang harus dimiliki dan digali oleh
1. Biru, sebagaimana warna lukisan PMII, berarti kedalaman ilmu pengetahuan yang harus dimiliki dan digali oleh
warga pergerakan. Biru juga menggambarkan lautan Indonesia yang
mengelilingi kepulauan Indonesia dan
merupakan kesatuan Wawasan Nusantara.
2. Biru muda, sebagaimana warna dasar perisai sebelah bawah, berarti ketinggian ilmu pengertahuan, budi pekerti
2. Biru muda, sebagaimana warna dasar perisai sebelah bawah, berarti ketinggian ilmu pengertahuan, budi pekerti
dan taqwa.
3. Kuning, sebagaimana warna dasar perisai- perisai sebelah bawah, berarti identitas kemahasiswaan yang menjadi
3. Kuning, sebagaimana warna dasar perisai- perisai sebelah bawah, berarti identitas kemahasiswaan yang menjadi
sifat dasar pergerakan lambing kebesaran dan semangat yang selalu
menyala serta penuh harapan menyongsong
masa depan.
Kegunaan Lambang :
Lambang digunakan pada : papan nama, bendera, kop surat, stempel, badge, jaket/pakaian, kartu anggota PMII dan benda atau tempat lain yang tujuannya untuk menunjukan identitas organisasi.
Ukuran lambang disesuaikan dengan besar wadah penggunaan.
Kegunaan Lambang :
Lambang digunakan pada : papan nama, bendera, kop surat, stempel, badge, jaket/pakaian, kartu anggota PMII dan benda atau tempat lain yang tujuannya untuk menunjukan identitas organisasi.
Ukuran lambang disesuaikan dengan besar wadah penggunaan.
4. Visi dan Misi
Visi dasar PMII :
Dikembangkan dari dua landasan utama, yakni visi ke-Islaman dan visi kebangsaan. Visi ke-Islaman yang dibangun PMII adalah visi ke-Islaman yang inklusif, toleran dan moderat. Sedangkan visi kebangsaan PMII mengidealkan satu kehidupan kebangsaan yang demokratis, toleran, dan dibangun di atas semangat bersama untuk mewujudkan keadilan bagi segenap elemen warga-bangsa tanpa terkecuali.
Misi dasar PMII :
Merupakan manifestasi dari komitmen ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, dan sebagai perwujudan kesadaran beragama, berbangsa, dan bernegara. Dengan kesadaran ini, PMII sebagai salah satu eksponen pembaharu bangsa dan pengemban misi intelektual berkewajiban dan bertanggung jawab mengemban komitmen ke-Islaman dan ke-Indonesiaan demi meningkatkan harkat dan martabat umat manusia dan membebaskan bangsa Indonesia dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan baik spiritual maupun material dalam segala bentuk
Visi dasar PMII :
Dikembangkan dari dua landasan utama, yakni visi ke-Islaman dan visi kebangsaan. Visi ke-Islaman yang dibangun PMII adalah visi ke-Islaman yang inklusif, toleran dan moderat. Sedangkan visi kebangsaan PMII mengidealkan satu kehidupan kebangsaan yang demokratis, toleran, dan dibangun di atas semangat bersama untuk mewujudkan keadilan bagi segenap elemen warga-bangsa tanpa terkecuali.
Misi dasar PMII :
Merupakan manifestasi dari komitmen ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, dan sebagai perwujudan kesadaran beragama, berbangsa, dan bernegara. Dengan kesadaran ini, PMII sebagai salah satu eksponen pembaharu bangsa dan pengemban misi intelektual berkewajiban dan bertanggung jawab mengemban komitmen ke-Islaman dan ke-Indonesiaan demi meningkatkan harkat dan martabat umat manusia dan membebaskan bangsa Indonesia dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan baik spiritual maupun material dalam segala bentuk
5. Tujuan didirikannya PMII
Secara totalitas PMII sebagai suatu organisasi merupakan suatu gerakan yang bertujuan merubah kondisi sosial di Indonesia yang dinilai tidak adil, terutama dalam tatanan kehidupan sosial. Selain itu juga melestarikan perbedaan sebagai ajang dialog dan aktualisasi diri, menjunjung tinggi pluralitas, dan menghormati kedaulatan masing-masing kelompok dan individu.
Dalam lingkup yang lebih kecil PMII mencoba menciptakan kader yang memiliki pandangan yang luas dalam menghadapi realitas sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Memiliki pemahaman yang komprehensif tentang berbagai macam paham pemikiran yang digunakan dalam menganalisa realitas yang ada, sehingga diharapkan seorang kader akan mampu memposisikan diri secara kritis dan tidak terhegemoni oleh suatu paham atau oordina yang dogmatis.
Secara totalitas PMII sebagai suatu organisasi merupakan suatu gerakan yang bertujuan merubah kondisi sosial di Indonesia yang dinilai tidak adil, terutama dalam tatanan kehidupan sosial. Selain itu juga melestarikan perbedaan sebagai ajang dialog dan aktualisasi diri, menjunjung tinggi pluralitas, dan menghormati kedaulatan masing-masing kelompok dan individu.
Dalam lingkup yang lebih kecil PMII mencoba menciptakan kader yang memiliki pandangan yang luas dalam menghadapi realitas sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Memiliki pemahaman yang komprehensif tentang berbagai macam paham pemikiran yang digunakan dalam menganalisa realitas yang ada, sehingga diharapkan seorang kader akan mampu memposisikan diri secara kritis dan tidak terhegemoni oleh suatu paham atau oordina yang dogmatis.
6. Rekrutment
Dalam PMII, ada tahapan-tahapan pengkaderan. Untuk tahap pertama dalah MAPABA (Masa Penerimaan Anggota Baru) sebagai jendela awal untuk bergabung dalam organisasi PMII. Untuk berikutnya sebagai tindak lanjut ada PKD (Pelatihan Kader Dasar) dilaksanakan oleh Komisariat/Cabang, merupakan persyaratan untuk bisa menjadi pengurus komisariat/cabang. Dan diteruskan dengan PKL (Pelatihan Kader Lanjut), dilaksanakan oleh pengurus cabang, merupakan persyaratan untuk menjadi pengurus cabang/pengurus koordinator cabang.
Dalam PMII, ada tahapan-tahapan pengkaderan. Untuk tahap pertama dalah MAPABA (Masa Penerimaan Anggota Baru) sebagai jendela awal untuk bergabung dalam organisasi PMII. Untuk berikutnya sebagai tindak lanjut ada PKD (Pelatihan Kader Dasar) dilaksanakan oleh Komisariat/Cabang, merupakan persyaratan untuk bisa menjadi pengurus komisariat/cabang. Dan diteruskan dengan PKL (Pelatihan Kader Lanjut), dilaksanakan oleh pengurus cabang, merupakan persyaratan untuk menjadi pengurus cabang/pengurus koordinator cabang.
7. Struktural Organisasi
Pengurus Besar (PB) berpusat di Ibu Kota
Pengurus Koordinator Cabang (PKC) berpusat di Provinsi
Pengurus Cabang (PC) berpusat di Kabupaten
Pengurus Komisariat (PK) berpusat di Kampus
Pengurus Rayon (PR) berpusat di Fakultas
Pengurus Koordinator Cabang (PKC) berpusat di Provinsi
Pengurus Cabang (PC) berpusat di Kabupaten
Pengurus Komisariat (PK) berpusat di Kampus
Pengurus Rayon (PR) berpusat di Fakultas
8. Filsafat dan ideologi pendidikan
Filsafat induk dari segala ilmu dan berasal dari bahasa yunani yaitu philo dan Sophia
Philo berarti berfikir sedang Sophia berarti kebijaksanaan .
Berfikir secara rasional atau cinta akan kebijaksanaan ,
Kebenaran yang ilmiyah adalah kebenaran yang dapat disalahkan dengan kebenaran yang lain.sejarahnya pada zaman dahulu ilmu hanya ada dua yaitu ilmu filsafat dan ilmu psikologi
Ideologi, lalah landasan sedangkan arti dari pendidikan ,kita harus bisa membedakan dengan pengajaran. Usaha sadar orang dewasa untuk mendewasakan anak didik. Berarti filsafat ideologi pendidikan adalah;
Ø Kesadaran magis
Ø Kesadaran na’if
Ø Kesadaran kritis
Filsafat induk dari segala ilmu dan berasal dari bahasa yunani yaitu philo dan Sophia
Philo berarti berfikir sedang Sophia berarti kebijaksanaan .
Berfikir secara rasional atau cinta akan kebijaksanaan ,
Kebenaran yang ilmiyah adalah kebenaran yang dapat disalahkan dengan kebenaran yang lain.sejarahnya pada zaman dahulu ilmu hanya ada dua yaitu ilmu filsafat dan ilmu psikologi
Ideologi, lalah landasan sedangkan arti dari pendidikan ,kita harus bisa membedakan dengan pengajaran. Usaha sadar orang dewasa untuk mendewasakan anak didik. Berarti filsafat ideologi pendidikan adalah;
Ø Kesadaran magis
Ø Kesadaran na’if
Ø Kesadaran kritis
9. PMII dan tanggung jawab sosial
Sekitar poitik, kerjasama imf, world bank, dan Indonesia termasuk didalamnya. Indonesia adalah negara berkembang yang telah terikat scenario politik dan dampaknya mau ga’mau ind. Harus tunduk seperti kasus perpres 36 tentang pembebasan tanah, dan Indonesia dengan action mobile yang menguasai minyak cepu yang dikeruk habis dengan perjanjian limapuluh persen-lima puluh persen tetapi kalah peralatan dan kalah duluan.
Mahasiswa hanya bisa demo. Penguasa tidak takut pada demonstran tetapi yang ditakuti adalah suara rakyat karena rakyat selalu mengawasi pemerintah dan gerak-geriknya, rakyat sebagai kekuatan poliitk kekuatan penguasa dan juga sebaliknya. Sebenarnya petani yang miskin mempunyai peran sederhana yaitu mengolah lahan dengan baik, harapannya kita sebagai kader PMII sudah waktunya untuk berbaur dengan petani miskin dan mendidik petani bagaimana cara bertani dengan baik, berbaur dengan buruh-buruh pabrik dan memberikan kesadaran ke mereka tentang Hak & kewajiban Mereka serta hal yang menindas mereka
Sekitar poitik, kerjasama imf, world bank, dan Indonesia termasuk didalamnya. Indonesia adalah negara berkembang yang telah terikat scenario politik dan dampaknya mau ga’mau ind. Harus tunduk seperti kasus perpres 36 tentang pembebasan tanah, dan Indonesia dengan action mobile yang menguasai minyak cepu yang dikeruk habis dengan perjanjian limapuluh persen-lima puluh persen tetapi kalah peralatan dan kalah duluan.
Mahasiswa hanya bisa demo. Penguasa tidak takut pada demonstran tetapi yang ditakuti adalah suara rakyat karena rakyat selalu mengawasi pemerintah dan gerak-geriknya, rakyat sebagai kekuatan poliitk kekuatan penguasa dan juga sebaliknya. Sebenarnya petani yang miskin mempunyai peran sederhana yaitu mengolah lahan dengan baik, harapannya kita sebagai kader PMII sudah waktunya untuk berbaur dengan petani miskin dan mendidik petani bagaimana cara bertani dengan baik, berbaur dengan buruh-buruh pabrik dan memberikan kesadaran ke mereka tentang Hak & kewajiban Mereka serta hal yang menindas mereka
***
Tangan Terkepal, Maju Kemuka
Sekali Bendera Dikibarkan
Hentikan Ratap Tangis Dan Penindasan
Tangan Terkepal, Maju Kemuka
Sekali Bendera Dikibarkan
Hentikan Ratap Tangis Dan Penindasan
Disampaikan di MaPaBa Rayon
Raden Paku dan Syari’ah
PK PMII Sunan Giri Bojonegoro 2013
A S W A J A
AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Aswaja Dalam Pemahaman PMII
kita pernah tahu bahwa Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) adalah madzhab keislaman yang menjadi dasar jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ (NU) sebagaimana dirumuskan oleh Hadlratus Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasi yaitu: dalam ilmu aqidah/teologi mengikuti salah satu dari Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Dalam syari’ah/fiqh mengikuti salah satu Imam empat: Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idres Al-Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam tashawuf/ akhlaq mengikuti salah satu dua Imam:Junaidi al-Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali.
Namun pemahaman seperti ini tidak memadai untuk dijadikan sebagai gerak PMII. Sebab, pemahaman demikian cenderung menjadikan Aswaja sebagai sesuatu yang beku dan tidak bisa diutak-atik lagi. Pemakanaannya hanya dibatasi pada produk pemikiran saja. Padahal produk pemikiran, secanggih apapun, selalu tergantung pada waktu dan tempat (konteks) yang menghasilkannya. Padahal untuk menjadi dasar sebuah pergerakan, Aswaja harus senaniasa fleksibel dan terbuka untuk ditafsir ulang dan disesuaikan dengan konteks saat ini dan yang akan datang. Inilah yang dinamakan sebagai ideologi terbuka.
PMII memaknai Aswaja sebagai manhajul fikr yaitu metode berpikir yang digariskan oleh para sahabat Nabi dan tabi’in yang sangat erat kaitannya dengan situasi politik dan social yang meliputi masyarakat muslim waktu itu (Said Aqil Siradj, 1996). Dari manhajul fikr inilah lahir pemikiran-pemikiran keislaman baik dibidang aqidah, syari’ah, maupun akhlaq/tasawuf, yang walaupun beraneka ragam tetap brada dalam satu ruh. PMII juga memaknai Aswaja sebagai manhaj al-taghayyur al-ijtima’i yaitu pola perubahan sosial-kemasyarakatan yang sesuai dengan nafas perjuangan rasulullah dan para sahabatnya. Pola perubahan ini akan kita lihat nanti dalam arus sejarah peradaban masyarakat muslim. Inti yang menjadi ruh dari Aswaja baik sebagai manhaful fikr mapun manhaj al-taghayyur al-ijtima’i adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah : ma ana ‘alaihi waashabi (segala sesuatu yang akan datang dari rasul dan para sahanatnya). Inti itu diwujudkan dalam empat nilai: tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (keseimbangan), dan ta’adul (keadilan).
Maka untuk memahami Aswaja secara komprehensif, kita harus mencari akar-akar histories yang menunjukkan persinggungan antara nilai-nilai Aswaja dengan peristiwa-peristiwa sejarah. Kita harus mengaitkan pemahaman kita terhadap keempat nilai (normatifitas) Aswaja dengan perjalanan sejarahnya (historisitas). Dari pemahaman yang komprehensif terhadap dua komponen tersebut kita akan menemukan titik temunya pada Nilai-Nilai Dasar PMII.
AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Aswaja Dalam Pemahaman PMII
kita pernah tahu bahwa Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) adalah madzhab keislaman yang menjadi dasar jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ (NU) sebagaimana dirumuskan oleh Hadlratus Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasi yaitu: dalam ilmu aqidah/teologi mengikuti salah satu dari Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Dalam syari’ah/fiqh mengikuti salah satu Imam empat: Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idres Al-Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam tashawuf/ akhlaq mengikuti salah satu dua Imam:Junaidi al-Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali.
Namun pemahaman seperti ini tidak memadai untuk dijadikan sebagai gerak PMII. Sebab, pemahaman demikian cenderung menjadikan Aswaja sebagai sesuatu yang beku dan tidak bisa diutak-atik lagi. Pemakanaannya hanya dibatasi pada produk pemikiran saja. Padahal produk pemikiran, secanggih apapun, selalu tergantung pada waktu dan tempat (konteks) yang menghasilkannya. Padahal untuk menjadi dasar sebuah pergerakan, Aswaja harus senaniasa fleksibel dan terbuka untuk ditafsir ulang dan disesuaikan dengan konteks saat ini dan yang akan datang. Inilah yang dinamakan sebagai ideologi terbuka.
PMII memaknai Aswaja sebagai manhajul fikr yaitu metode berpikir yang digariskan oleh para sahabat Nabi dan tabi’in yang sangat erat kaitannya dengan situasi politik dan social yang meliputi masyarakat muslim waktu itu (Said Aqil Siradj, 1996). Dari manhajul fikr inilah lahir pemikiran-pemikiran keislaman baik dibidang aqidah, syari’ah, maupun akhlaq/tasawuf, yang walaupun beraneka ragam tetap brada dalam satu ruh. PMII juga memaknai Aswaja sebagai manhaj al-taghayyur al-ijtima’i yaitu pola perubahan sosial-kemasyarakatan yang sesuai dengan nafas perjuangan rasulullah dan para sahabatnya. Pola perubahan ini akan kita lihat nanti dalam arus sejarah peradaban masyarakat muslim. Inti yang menjadi ruh dari Aswaja baik sebagai manhaful fikr mapun manhaj al-taghayyur al-ijtima’i adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah : ma ana ‘alaihi waashabi (segala sesuatu yang akan datang dari rasul dan para sahanatnya). Inti itu diwujudkan dalam empat nilai: tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (keseimbangan), dan ta’adul (keadilan).
Maka untuk memahami Aswaja secara komprehensif, kita harus mencari akar-akar histories yang menunjukkan persinggungan antara nilai-nilai Aswaja dengan peristiwa-peristiwa sejarah. Kita harus mengaitkan pemahaman kita terhadap keempat nilai (normatifitas) Aswaja dengan perjalanan sejarahnya (historisitas). Dari pemahaman yang komprehensif terhadap dua komponen tersebut kita akan menemukan titik temunya pada Nilai-Nilai Dasar PMII.
Nilai-Nilai Aswaja Dalam Arus Sejarah
1. Tawassuth
Tawassuth bisa dimaknai sebagai berdiri di tengah, moderat, tidak ekstrim (baik ke kanan maupun kekiri), tetapi memiliki sikap dan pendirian. Khairul ujur awsthuha (paling baiknya sesuatu adalah pertengahannya). Tawassuth merupakan nilai yang mengatur pola pikir, yaitu bagaimana seharusnya kita mengarahkan pemikiran kita. Dalam rentang sejarah, kita menemukan bahwa nilai ini mewujud dalam pemikiran para imam yang telah disebut diatas.
Di bidang aqidah atau teologi, Al-Asy’ari dan Al-Maturidi hadir sebagai dua pemikir yang tawassuth. Di satu sisi mereka berusaha untuk menghindari pemikiran Mu’tazilah yang terlalu rasional dan memuja-muja kebebasan berpikir sehingga menomer duakan al-quran dan sunnah rasul. Tetapi di sisi lain beliau tidak sepakat dengan golongan jabariyah yang sama sekali tidak memberi tempat bagi akal dan memaknai al-quran dan hadits secara tekstual. Mereka berusaha menggabungkan dua pendekatan itu dan kemudian melahirkan dua konsep teologi yang saling melengkapi.
Di bidang fiqih atau hukum Islam kita juga mendapatkan Abu Hanifah, Malik bin Anas, Al-Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal sebagai para pemikir yang konsep fiqih Islam yang di dasarkan kepada Al-quran dan hadits, namun tradisi ataupun kepada rasionalitas akal belaka.
Di bidang tasawuf Al-Junaid tampil dengan pemikiran tasawuf yang berusaha mencari sinergitas antara kelompok falsafi dengan konservatif. Dia berhasil melahirkan konsep tasawuf sunni yang menjadikan taqwa (syari’ah) sebagai jalan utama menuju haqiqah. Dengan demikian, dia berhasil mengangkat citra tasawuf yang waktu itu dianggap sebagai ajaran sesat sebab terlalu syari’ah, seperti ajaran sufi Al-Hallaj. Apa yang dilakukan oleh al-Junaid sama dengan Wali Sanga pada masa awal Islam di Jawa ketika menolak ajaran tasawuf Syekh siti Jenar.
Dalam sejarah filsafat islam pun kita mendapatkan seorang Al-Ghazali yang mampu mempertemukan antara konsep-konsep tilosofis dengan Al-quran dan hadits. Dia terlebih dahuu mementahkan teori-teori filsafat yang menurutnya menyimpang dari ajaran Islam seperti Ikhwan al-Shafa. Kemudian menjadikan nilai-nilai al-Quran dan hadits sebagai pemandu pemikiran filosofis. Bukan filsafat yang ditolak Al-Ghazali, melainkan silogisme-silogisme filosofis yang bertentangan dengan al-Quran dan hadits.
Tawassuth bisa dimaknai sebagai berdiri di tengah, moderat, tidak ekstrim (baik ke kanan maupun kekiri), tetapi memiliki sikap dan pendirian. Khairul ujur awsthuha (paling baiknya sesuatu adalah pertengahannya). Tawassuth merupakan nilai yang mengatur pola pikir, yaitu bagaimana seharusnya kita mengarahkan pemikiran kita. Dalam rentang sejarah, kita menemukan bahwa nilai ini mewujud dalam pemikiran para imam yang telah disebut diatas.
Di bidang aqidah atau teologi, Al-Asy’ari dan Al-Maturidi hadir sebagai dua pemikir yang tawassuth. Di satu sisi mereka berusaha untuk menghindari pemikiran Mu’tazilah yang terlalu rasional dan memuja-muja kebebasan berpikir sehingga menomer duakan al-quran dan sunnah rasul. Tetapi di sisi lain beliau tidak sepakat dengan golongan jabariyah yang sama sekali tidak memberi tempat bagi akal dan memaknai al-quran dan hadits secara tekstual. Mereka berusaha menggabungkan dua pendekatan itu dan kemudian melahirkan dua konsep teologi yang saling melengkapi.
Di bidang fiqih atau hukum Islam kita juga mendapatkan Abu Hanifah, Malik bin Anas, Al-Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal sebagai para pemikir yang konsep fiqih Islam yang di dasarkan kepada Al-quran dan hadits, namun tradisi ataupun kepada rasionalitas akal belaka.
Di bidang tasawuf Al-Junaid tampil dengan pemikiran tasawuf yang berusaha mencari sinergitas antara kelompok falsafi dengan konservatif. Dia berhasil melahirkan konsep tasawuf sunni yang menjadikan taqwa (syari’ah) sebagai jalan utama menuju haqiqah. Dengan demikian, dia berhasil mengangkat citra tasawuf yang waktu itu dianggap sebagai ajaran sesat sebab terlalu syari’ah, seperti ajaran sufi Al-Hallaj. Apa yang dilakukan oleh al-Junaid sama dengan Wali Sanga pada masa awal Islam di Jawa ketika menolak ajaran tasawuf Syekh siti Jenar.
Dalam sejarah filsafat islam pun kita mendapatkan seorang Al-Ghazali yang mampu mempertemukan antara konsep-konsep tilosofis dengan Al-quran dan hadits. Dia terlebih dahuu mementahkan teori-teori filsafat yang menurutnya menyimpang dari ajaran Islam seperti Ikhwan al-Shafa. Kemudian menjadikan nilai-nilai al-Quran dan hadits sebagai pemandu pemikiran filosofis. Bukan filsafat yang ditolak Al-Ghazali, melainkan silogisme-silogisme filosofis yang bertentangan dengan al-Quran dan hadits.
2. Tasamuh
Pengertian tasamuh adalah toleran, tepa selira. Sebuah pola sikap yang menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur bagaimana kita harus bersikap dalam hidup sehari-hari, khususnya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Tujuan akhirnya adalah kesadaran akan pluralisme atau keragaman, yang saling melengkapi bukan membawa kepada perpecahan.
Kita bisa menengok sejarah, bagaimana sikap para imam yang telah disebutkan di atas terhadap para penentang dan ulama-ulama lain yang berbeda pendapat dengan mereka, selama ajaran mereka tidak mengancam eksistensi agama islam. Lihat pula bagaimana sikap Wali Sanga terhadap umat beragama lain (Hindu-Budha) yang sudah lebih dulu ada di Jawa. yang trpenting bagi mereka adalah menciptakan stabilitas masyarakat yang dipenuhi oleh kerukunan, sikap saling menghargai, dan hormat-menghormati.
Di wilayah kebudayaan, kita bisa menengok bagaimana Wali Sanga mampu menyikapi perbedaan ras, suku, adapt istiadat, dan bahasa sebagai elandinamis bagi perubahan masyarakat kea rah yang lebih baik. Perbedaan itu berhasil direkatkan oleh sebuah cita-cita bersama untuk membentuk masyarakat yang berkeadilan, keanekaragaman saling melengkapi. Unity in diversity.
Pengertian tasamuh adalah toleran, tepa selira. Sebuah pola sikap yang menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur bagaimana kita harus bersikap dalam hidup sehari-hari, khususnya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Tujuan akhirnya adalah kesadaran akan pluralisme atau keragaman, yang saling melengkapi bukan membawa kepada perpecahan.
Kita bisa menengok sejarah, bagaimana sikap para imam yang telah disebutkan di atas terhadap para penentang dan ulama-ulama lain yang berbeda pendapat dengan mereka, selama ajaran mereka tidak mengancam eksistensi agama islam. Lihat pula bagaimana sikap Wali Sanga terhadap umat beragama lain (Hindu-Budha) yang sudah lebih dulu ada di Jawa. yang trpenting bagi mereka adalah menciptakan stabilitas masyarakat yang dipenuhi oleh kerukunan, sikap saling menghargai, dan hormat-menghormati.
Di wilayah kebudayaan, kita bisa menengok bagaimana Wali Sanga mampu menyikapi perbedaan ras, suku, adapt istiadat, dan bahasa sebagai elandinamis bagi perubahan masyarakat kea rah yang lebih baik. Perbedaan itu berhasil direkatkan oleh sebuah cita-cita bersama untuk membentuk masyarakat yang berkeadilan, keanekaragaman saling melengkapi. Unity in diversity.
3. Tawazun
Tawazun berarti keseimbangan dalam pola hubungan atau relasi baik yang bersifat antar individu, antar struktur social, antara Negara dan rakyatnya, maupun antara manusia dan alam. Keseimbangan di sini adalah bentuk hubungan yang tidak berat sebelah, tidak menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak yang lain. Tetapi, masing-msing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai dengan fungsinya tanpa menggaggu fungsi dari pihak yang lain. Hasil yang diharapkan adalah teciptanya kedinamisan hidup.
Dalam ranah sosial yang ditekankan adalah egalitarianisme (persamaan derajat) seluruh umat manusia. tidak ada yang merasa lebih dari yang, yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya. Tidak ada dominasi dan ekspoitasi seseorang kepada orang lain, termasuk laki-laki terhadap perempuan. Maka kita lihat dalam sejarah, Nabi Muhammad dan khulafaurrasyidin dengan tegas menolak dan berusaha menghapus perbudakan. Begitu juga, sikap NU yang dengan egas menentang penjajahan dan kolonialisme terhadap bangsa Indonesia.
Dalam wialayah politik, tawazun meniscayakan keseimbangan antara posisi Negara (penguasa) dan rakyat. Penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang, menutup kran demokrasi, dan menindas rakyatnya. Sedangkan rakyat harus selalu mematuhi segala peraturan yang ditujukan untuk kepentingan bersama, tetapi juga senantiasa mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Kita lihat bagaimana sikap Ahmad bin Hanbal kepada Al-Makmun yang menindas para ulama yang menolah doktrin mu’tazilah. Dia membangun basis perlawanan kerakyatan untuk menolak setiap bentuk pemaksaan Negara, walaupun dia dan para ulama yang lain harus menahan penderitaan dan hukuman yang menyakitkan. Namun kita juga bisa melihat contoh lain sikap seorang al-Ghazali terhadap pemimpin yang adil bernama Nizam al-Muluk. Dia ikut berperan aktif dalam mendukung setiap program pemerintahan, memberi masukan atau kritik, dan hubungan yang mesra antara ulama’ dan umara’ pun tercipta. Kita juga bisa membandingkannya denga posisi Wali Sanga sebagai penasehat, pengawas dan pengontrol kerajaan Demak.
Dalam wilayah ekonomi, tawazun meniscayakan pembangunan system eknomi yang seimbang antara posisi Negara, pasar dan masuarakat. Kita melihat bagaimana Umar bin abdul azis mampu membangun ekonomi Islam yang kokoh dengan menyeimbngkan fungsi Negara (baitul mal) sebagai pengatur sirkulasi keuangan dan pendistribusian zakat, Mewajibkan setiap pengusaha, pedagang, dan pendistriusian jasa (pasar) untuk mengeluarkan zakat sebagai kontrol terhadap kekayaan individu dan melarang setiap bentuk monopoli, Serta menyalurkan zakat kepada rakyat yang tidak mampu sebagai modal usaha dan investasi. Sehingga dalam waktu tiga tahun saja telah terbangun struktur ekonomi yang stabil dan kesejahteraan hidup terjamin.
Dalam wilayah ekologi, tawazun meniscayakan pemanfaatan alam yang tidak eksploiratif (israf) dan merusak lingkungan. Banyak contoh dalam sejarah yang menunjukkan sikap ramah terhadap lingkungan. Larang menebang pohon waktu berperang misalkan, atau anjuran untuk reboisasi (penghijauan) hutan. Begitu juga ketika para intelekuta muslim semacam al-khawarizmi, al-Biruni, dan yang lain menjadikan alam sebagai sumber inspirasi dan
Tawazun berarti keseimbangan dalam pola hubungan atau relasi baik yang bersifat antar individu, antar struktur social, antara Negara dan rakyatnya, maupun antara manusia dan alam. Keseimbangan di sini adalah bentuk hubungan yang tidak berat sebelah, tidak menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak yang lain. Tetapi, masing-msing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai dengan fungsinya tanpa menggaggu fungsi dari pihak yang lain. Hasil yang diharapkan adalah teciptanya kedinamisan hidup.
Dalam ranah sosial yang ditekankan adalah egalitarianisme (persamaan derajat) seluruh umat manusia. tidak ada yang merasa lebih dari yang, yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya. Tidak ada dominasi dan ekspoitasi seseorang kepada orang lain, termasuk laki-laki terhadap perempuan. Maka kita lihat dalam sejarah, Nabi Muhammad dan khulafaurrasyidin dengan tegas menolak dan berusaha menghapus perbudakan. Begitu juga, sikap NU yang dengan egas menentang penjajahan dan kolonialisme terhadap bangsa Indonesia.
Dalam wialayah politik, tawazun meniscayakan keseimbangan antara posisi Negara (penguasa) dan rakyat. Penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang, menutup kran demokrasi, dan menindas rakyatnya. Sedangkan rakyat harus selalu mematuhi segala peraturan yang ditujukan untuk kepentingan bersama, tetapi juga senantiasa mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Kita lihat bagaimana sikap Ahmad bin Hanbal kepada Al-Makmun yang menindas para ulama yang menolah doktrin mu’tazilah. Dia membangun basis perlawanan kerakyatan untuk menolak setiap bentuk pemaksaan Negara, walaupun dia dan para ulama yang lain harus menahan penderitaan dan hukuman yang menyakitkan. Namun kita juga bisa melihat contoh lain sikap seorang al-Ghazali terhadap pemimpin yang adil bernama Nizam al-Muluk. Dia ikut berperan aktif dalam mendukung setiap program pemerintahan, memberi masukan atau kritik, dan hubungan yang mesra antara ulama’ dan umara’ pun tercipta. Kita juga bisa membandingkannya denga posisi Wali Sanga sebagai penasehat, pengawas dan pengontrol kerajaan Demak.
Dalam wilayah ekonomi, tawazun meniscayakan pembangunan system eknomi yang seimbang antara posisi Negara, pasar dan masuarakat. Kita melihat bagaimana Umar bin abdul azis mampu membangun ekonomi Islam yang kokoh dengan menyeimbngkan fungsi Negara (baitul mal) sebagai pengatur sirkulasi keuangan dan pendistribusian zakat, Mewajibkan setiap pengusaha, pedagang, dan pendistriusian jasa (pasar) untuk mengeluarkan zakat sebagai kontrol terhadap kekayaan individu dan melarang setiap bentuk monopoli, Serta menyalurkan zakat kepada rakyat yang tidak mampu sebagai modal usaha dan investasi. Sehingga dalam waktu tiga tahun saja telah terbangun struktur ekonomi yang stabil dan kesejahteraan hidup terjamin.
Dalam wilayah ekologi, tawazun meniscayakan pemanfaatan alam yang tidak eksploiratif (israf) dan merusak lingkungan. Banyak contoh dalam sejarah yang menunjukkan sikap ramah terhadap lingkungan. Larang menebang pohon waktu berperang misalkan, atau anjuran untuk reboisasi (penghijauan) hutan. Begitu juga ketika para intelekuta muslim semacam al-khawarizmi, al-Biruni, dan yang lain menjadikan alam sebagai sumber inspirasi dan
lahan peneitian ilmu pengetahuan.
4. Ta’adul
Yang dimaksud dengan ta’adul adalah keadilan, yang merupakan pola integral dari tawassuth, tasamuh, dan tawazun. Keadilan inilah yang merupakan ajaran universal Aswaja. Setiap pemikiran, sikap dan relasi, harus selalu diselaraskan dengan nilai ini. Pemaknaan keadilan yang dimaksud di sini adalah keadilan social. Yaitu nilai kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sejarah membuktikan bagaimana Nabi Muhammad mampu mewujudkannya dalam masyarakat Madinah. Begitu juga Umar bin Khattab yang telah meletakkan fundamen bagi peradaban Islam yang agung.
IMPLEMENTASI NILAI-NILAI ASWAJA DALAM KONTEKS GERAKAN
Aswaja sebagai manhaj al-taghayyur al-ijtima’I bisa kita tarik dari nilai-nilai perubahan yang diusung oleh Nabi Muhammad dan para sahabat ketika merevolusi masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang tercerahkan oleh nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan universal. Ada dua hal pokok yang menjadi landasan perubahan itu :
Ø Basis Nilai, yaitu nilai kebenaran qurani dan sunnah nabi yang diemplementasikan secara konsekuen dan penuh
Yang dimaksud dengan ta’adul adalah keadilan, yang merupakan pola integral dari tawassuth, tasamuh, dan tawazun. Keadilan inilah yang merupakan ajaran universal Aswaja. Setiap pemikiran, sikap dan relasi, harus selalu diselaraskan dengan nilai ini. Pemaknaan keadilan yang dimaksud di sini adalah keadilan social. Yaitu nilai kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sejarah membuktikan bagaimana Nabi Muhammad mampu mewujudkannya dalam masyarakat Madinah. Begitu juga Umar bin Khattab yang telah meletakkan fundamen bagi peradaban Islam yang agung.
IMPLEMENTASI NILAI-NILAI ASWAJA DALAM KONTEKS GERAKAN
Aswaja sebagai manhaj al-taghayyur al-ijtima’I bisa kita tarik dari nilai-nilai perubahan yang diusung oleh Nabi Muhammad dan para sahabat ketika merevolusi masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang tercerahkan oleh nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan universal. Ada dua hal pokok yang menjadi landasan perubahan itu :
Ø Basis Nilai, yaitu nilai kebenaran qurani dan sunnah nabi yang diemplementasikan secara konsekuen dan penuh
komitmen.
Ø Basis Realitas, yaitu keberpihakan kepada kaum tertindas dan masyarakat lapisan bawah.
Dua basis ini terus menjadi nafas perubahan yang diusung oleh umat Islam yang konsisten dengan aswaja, termasuk di dalamnya NU dan PMII. Konsistensi di sini hadir dalam bentuk élan dinamis gerakan yang selalu terbuka untuk dikritik dan dikonstruk ulang, sesuai dengan dinamika zaman dan lokalitas. Dia hadir tidak dengan klaim kebenaran tunggal, tetapi selalu berdialektika dengan realitas, jauh dari sikap eksklusif dan fanatic.
Maka empat nilai yang dikandung oleh aswaja, untuk konteks sekarang harus kita tafsirkan ulang sesuai dengan perkembangan teori-teori social dan ideology-ideologi dunia.
Tawassuth sebagai pola pikir, harus kita maknai sebagai tidak mengikuti nalar kapitalisme-liberal di satu sisi dan nalar sosialisme di sisi lain. Kita harus memiliki cara pandang yang otentik tentang realitas yang selalu berinteraksi dalam tradisi. Pemaknaanya ada dalam paradigma yang dipakai oleh PMII yaitu paradigma kritis transformatif.
Tasamuh sebagai pola sikap harus kita maknai sebagai bersikap toleran dan terbuka terhadap semua golongan selama mereka bisa menjadi saudar bagi sesama. Sudah bukan waktunya lagi untuk terkotak-kotak dalam kebekuan golongan, apalagi agama. Seluruh gerakan dalam satu nafas pro-demokrasi harus bahu membahu membentuk aliansi bagi terbentuknya masyarakat yang lebih baik, bebas dari segala bentuk penindasan dan penjajahan. PMII harus bersikap inklusif terhadap sesama pencari kebenaran dan membuang semua bentuk primordialisme dan tanatisme keagamaan..
Ø Basis Realitas, yaitu keberpihakan kepada kaum tertindas dan masyarakat lapisan bawah.
Dua basis ini terus menjadi nafas perubahan yang diusung oleh umat Islam yang konsisten dengan aswaja, termasuk di dalamnya NU dan PMII. Konsistensi di sini hadir dalam bentuk élan dinamis gerakan yang selalu terbuka untuk dikritik dan dikonstruk ulang, sesuai dengan dinamika zaman dan lokalitas. Dia hadir tidak dengan klaim kebenaran tunggal, tetapi selalu berdialektika dengan realitas, jauh dari sikap eksklusif dan fanatic.
Maka empat nilai yang dikandung oleh aswaja, untuk konteks sekarang harus kita tafsirkan ulang sesuai dengan perkembangan teori-teori social dan ideology-ideologi dunia.
Tawassuth sebagai pola pikir, harus kita maknai sebagai tidak mengikuti nalar kapitalisme-liberal di satu sisi dan nalar sosialisme di sisi lain. Kita harus memiliki cara pandang yang otentik tentang realitas yang selalu berinteraksi dalam tradisi. Pemaknaanya ada dalam paradigma yang dipakai oleh PMII yaitu paradigma kritis transformatif.
Tasamuh sebagai pola sikap harus kita maknai sebagai bersikap toleran dan terbuka terhadap semua golongan selama mereka bisa menjadi saudar bagi sesama. Sudah bukan waktunya lagi untuk terkotak-kotak dalam kebekuan golongan, apalagi agama. Seluruh gerakan dalam satu nafas pro-demokrasi harus bahu membahu membentuk aliansi bagi terbentuknya masyarakat yang lebih baik, bebas dari segala bentuk penindasan dan penjajahan. PMII harus bersikap inklusif terhadap sesama pencari kebenaran dan membuang semua bentuk primordialisme dan tanatisme keagamaan..
Tawazun sebagai pola relasi dimaknai sebagai usaha mewujudkan
egalitarianisme dalam ranah social, tidak ada lagi kesenjangan berlebihan antar
sesama manusia, antara laki-laki dan perempuan, antara kelas atas dan bawah. Di
wilayah ekonomi PMII harus melahirkan model gerakan yang mampu menyeimbangkan
posisi Negara, pasar dan masyarakat. Berbeda dngan kapitalisme yang memuasatkan
orientasi ekonomi di tangan pasar sehingga fungsi negara hanya sebagai
obligator belaka dan masyarakat ibarat robot yang harus selalu menurutikehendak
pasar, atau sosialisme yang menjadikan Negara sebagai kekuatan tertinggi yang
bengontrol semuakegiatan ekonomi, sehingga tidak ada kebebasan bagi pasar dan
masyarakat untuk mengembangkan potensi ekonomina. Di wilayah politik, isu yang
diusung adalah mengembalikan posisi seimbang antara rakyat dan Negara. PMII
tidak menolak kehadiran Negara, karena Negara melalui pemerintahannya merupakan
implementasi dari kehendak rakyat. Maka yang perlu dikembalikan adalah fungsi
Negara sebagai pelayan dan pelaksana setiap kehendak dan kepentingan rakyat. Di
bidang ekologi, PMII harus menolak setiap bentuk eksploitasi alam hanya
semata-mata demi memenuhi kebutuhan manusia yang berlebiahn. Maka, kita harus
menolak nalar positovisik yang diusung oleh neo-liberalisme yang menghalalkan eksploitasi
berlebihan terhadap alam demi memenuhi kebutuhan bahan mentah, juga setiap
benuk pencemaran lingkungan yang justru dianggap sebagai indikasi kemajuan
teknologi dan percepatan produksi.
Ta’adul sebagai pola integral mengandaikan usaha PMII bersama seluruh komponen masyarakat, baik nasional maupun global, untuk mencapai keadilan bagi seluruh umat manusia. keadilan dalam berpikir, bersikap dan relasi. Keadilan dalam ranah ekonomi, politik, social, hukum, budaya, pendidikan, dan seluruh ranah kehidupan. Dan perjuangan menuju keadilan universal itu harus dilaksanakan melalui usaha sungguh-sungguh, bukan sekadar menunggu anugeah dan pemberian turun dari langit.
Ta’adul sebagai pola integral mengandaikan usaha PMII bersama seluruh komponen masyarakat, baik nasional maupun global, untuk mencapai keadilan bagi seluruh umat manusia. keadilan dalam berpikir, bersikap dan relasi. Keadilan dalam ranah ekonomi, politik, social, hukum, budaya, pendidikan, dan seluruh ranah kehidupan. Dan perjuangan menuju keadilan universal itu harus dilaksanakan melalui usaha sungguh-sungguh, bukan sekadar menunggu anugeah dan pemberian turun dari langit.
Komentar