ISLAM INDONESIA (ASWAJA)



Islam Indonesia “ASWAJA”
Oleh: Ahmad Lutfi Fuqoha’
A.    Sejarah Munculnya ASWAJA
Pada masa Rasulullah SAW. masih hidup, istilah Aswaja sudah pernah ada tetapi tidak menunjuk pada kelompok tertentu atau aliran tertentu. Yang dimaksud dengan Ahlussunah wal Jama’ah adalah orang-orang Islam secara keseluruhan.
Ada sebuah hadits yang mungkin perlu dikutipkan telebih dahulu:
افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَ سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إلَّا وَاحِدَةً. قَالُوا: مَنْ هم يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي.
Artinya: Rasulullah SAW bersabda: “ Sesungguhnya bani Israil akan terpecah menjadi 70 golongan dan ummatku terpecah menjadi 73 golongan dan semuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Para Shohabat bertanya: Siapa yang satu golongan itu? Rasulullah SAW. menjawab: yaitu golongan dimana Aku dan Shahabatku berada”. Hadits inilah yang sering digunakan oleh orang-orang NU sebagai salah satu dalil atau dasar tentang Ahlussunah wal Jamaah.
Sejarah tentang paham atau aliran pemikiran Ahlussunah wal Jamaah itu kira-kira muncul mulai kapan? Paham atau aliran Ahlussunah wal Jamaah baik aliran keagamaaan atau aliran pemikiran pada zaman Nabi belum ada. Kalau istilahnya memang sudah. Dalam sejarah Islam kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW wafat sebagai khalifah (kepala negara). Yang pertama terpilih untuk menggantikan Nabi adalah Abu Bakar ash-Shiddiq ra (tahun 11-13 H/632-634 M). Beliau menjadi khalifah itu ditunjuk oleh Nabi Muhammad atau bagaimana?, beliau menjadi khalifah atas kesepakatan atau musyawarah para sahabat, beliau terpilih melalui forum atau lembaga yang sangat demokratis. Jadi tidak ditunjuk oleh Nabi tetapi melalui kesepakatan para Sahabat pada waktu itu. Kemudian ketika Abu Bakar ash Shidiq meninggal digantikan oleh Umar bin Khattab ra (tahun 13-23 H/634-644 M). Umar bin Khattab menjadi khalifah itu ditunjuk oleh abu bakar atau siapa?, beliau menjadi khalifah ditentukan oleh para Sahabat tetapi bersifat tidak langsung. Setelah Umar wafat diganti oleh Utsman bin ‘Affan ra (tahun 23-35 H/644-656 M), juga melalui musyawarah. Inilah yang disebut sebagai dasar-dasar demokrasi. Jadi demokrasi itu sudah berjalan setelah Rasulullah SAW meninggal, negara Islam yang pertama setelah Rasulullah SAW itu ditentukan melalui sistem demokrasi. Setelah Utsman wafat, yang terpilih menjadi khalifah adalah Sahabat Ali bin Abi Thalib ra (tahun 35-40 H/656-661 M). Kita melihat sejarah kemunculan Ahlussunah wal Jamaah itu bisa ditelusuri sejak pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Pada jaman pemerintahan Utsman ada seorang Gubernur Syiria yang bernama Muawwiyah bin Abu Sufyan. ketika Ali bin Abi Thalib terpilih menjadi presiden/khalifah, Muawwiyah tidak setuju dan melakukan pemberontakan.
Adapun runtutan kejadian sampai munculnya faham Ahlussunah wal Jamaah, sebagai berikut:
1.      Terjadi “perang Siffin” antara Ali dan Muawwiyah, Akhirnya perang dimenangkan oleh Ali bin Abi Thalib. Dalam pertempuran tersebut ketika Muawwiyah bin Abu Sufyan dan pasukannya hampir terdesak beliau mengibarkan bendera putih tanda menyerah dengan Al Qur’an di atas minta perdamaian.
2.      Kemudian mengadakan “tahkim” atau perundingan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawwiyah untuk merembug tentang perdamaian. Maka Ali bin Abi Thalib diwakili oleh Abu Musa al Asy’ari kemudian Muawwiyah diwakili oleh Amru bin Ash. Dalam perundingan disini terjadi ketidak seimbangan basik pengetahuan atau latar belakang keilmuan. Abu Musa al Asy’ari adalah seorang Ulama, sedangkan Amru bin Ash adalah seorang politisi. Dari hasil tahkim dimenangkan oleh Amru bin Ash yang mewakili Muawwiyah.
3.      Umat islam pecah menjadi 3 golongan yaitu:
a.       Pendukung setia Ali (syi’ah).
b.      Tidak setuju Ali dan Muawwiyah alasanya karena membuat keputusan hukum tidak menggunakan hukum Allah atau hukum Al Qur’an sehingga disebut Khawarij (Kharaja: keluar).
c.       Pendukung Muawwiyah.
4.      Kemudian dalam rangka melanggengkan kekuasaan (kekuasaan mulai turun temurun/dinasty) Muawiyah membuat aliran keagamaan yang dikenal dengan Jabariyyah. (Disini ada juga masyarakat muslim yang netral, tidak ngeblok kesana maupun kesini atau golput tidak ikut faksi politik) Semua masyarakat pada waktu itu kecuali golongan Muawiyyah memandang bahwa perebutan kekuasaan dari tangan Ali ke Muawiyyah tidak melalui proses politik yang benar atau tidak mengindahkan etika politik Islam. Kemudian khalifah membuat paham keagamaan Jabariyyah yang antara lain mengatakan bahwa: “Semua yang terjadi di dunia ini adalah kehendak Allah. Termasuk Muawiyyah salah ketika memerangi Ali, tetapi bahwa Muawwiyah menang itu juga sudah dikehendaki oleh Allah”. Pendeknya semua apapun yang dilakukan manusia adalah sudah dikehendaki dan dinginkan oleh Allah. Inilah ajaran dari paham Jabariyyah. Sehingga kemunculan paham Jabariyyah ini adalah dalam rangka untuk kepentingan politik untuk melegitimasi kekuasaan bani Muawiyah bin Abu Sufyan yang mengatakan bahwa manusia ini tidak punya kekuasaan untuk berkehendak. Semuanya sudah dikehendaki oleh Allah SWT. Banyak Ayat al Qur’an yang dipakai untuk melegitimasi diantaranya adalah :“… Wamaa ramaita idzromaita walaaa kinnalllaaha ramaa…”Ada ayat Al Qur’an yang mengatakan bahwa tidaklah engkau memanah ketika engkau memanah, melainkan Allah lah yang memanah. Ini salah satu ayat yang digunakan oleh para ulama, para kyai yang mendukung aliran Jabariyah mungkin para ulama, para kyai yang ingin dekat dengan kekuasaan, ingin mendapatkan fasilitas dari kekuasaan, mungkin mendukung aliran ini dan ikut menyebarkan. Nah inilah yang kemudian kita menyebutnya sebagai ajaran fatalisme. Mengapa Muawiyyah menyebarkan ajaran paham Jabariyah? Karena untuk melindungi cara-caranya ketika mengalahkan Ali melalui peristiwa Tahkim atau arbitrase. Kemudian dari akibat paham Jabariyah ini kemudian muncul banyak pengemis. Ekonomi pada waktu itu hancur, manusia banyak yang tidak berusaha (Hanya menjalankan rutinitas ritual peribadatan tanpa berusaha mencari rizeki, karena memandang bahwa rizeki itu sudah diatur oleh Allah, akan datang dengan sendirinya).
5.      Sebagai perimbangan kemudian muncullah paham baru yang dipelopori oleh cucu Ali bin Abu Thalib (Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib) yang bernama Qodariyah. Paham ini mengajarkan sebaliknya dari paham Jabariyah. Bahwa manusia ini yang berkehendak atau yang berkuasa, Allah tidak turut campur terhadap apa yang dilakukan oleh manusia. Oleh karena manusia berkehendak, Allah tidak turut campur maka manusia harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Paham ini dalam rangka melawan terhadap berkembangnya paham Jabariyah, ini juga menggunakan ayat-ayat Al Quran diantaranya misalnya tentang:“…laa yughoyiru qomun khatta yughoyiru bi anfusihim… “Artinya : “… tidak akan berubah suatu kaum kecuali kaum itu yang merubah….” di sini mulai ada reformasi (pembaruan). Kemudian khalifah bani Muawiyyah (Muawiyyah=Umayyah) ini digulingkan oleh kekhalifahan Abassiyah. Kekhalifahan Abassiyah ini murni, pemerintahannya memang maju pesat. Karena berprinsip bahwa manusia tidak bisa mengandalkan pada takdir, tetapi kalau ingin maju maka harus merubah dirinya sendiri.
6.      Kemudian aliran qodariyah pada zaman Abassiyah (kalau sebelumya hanya sekedar menjadi kritik atas paham Jabariyah), lalu menjadi spirit pembangunan negara yang kemudian turunannya (dengan sedikit modifikasi) kita kenal sebagai paham Mu’tazilah. Paham Mu’tazilah ini karena pada mulanya dalam rangka memberi kekuatan pada manusia bahwa manusia mempunyai kehendak, dan prinsipnya dia menggunakan prinsip akal, segala sesuatu yang masuk akal, segala sesuatu harus dirasionalkan, sehingga ini keblabasan karena semuanaya serba akal dan kehendak manusia (akal mutlak). Sampai ada terjadi peristiwa ketika salah satu keturunan Abassiyah ini menggunakan paham Mu’tazilah sebagai paham resmi negara, sehingga timbul korban yang tidak mengikuti paham Mu’tazilah dibunuh dan lain sebagainya.
7.      Lahirnya faham Ash’ariyah yang didirikan oleh seorang ulama besar (dulunya pengikut Mu’tazilah) yang bernama Abu Hasan Al Asy’ari menyatakan diri keluar dari paham Mu’tazilah. Beliau berada di tengah, tidak mengikuti dua kubu ekstrim Jabariyah maupun Qodariyah. Beliau memproklamasikan kembali pada “maa anna alaihi wa ashabihi” sebuah kelompok dimana Rasulullah dan para Sahabat berada di dalamnya. Paham tengah ini yang merujuk kepada maa alaihi wa ashabihi yang kemudian oleh Abu Hasan Al Asy’ari ini disebut sebagai Ahlussunah wal Jama’ah. Faham Ash’ariyah ini menyebar luas di Irak dan Syam kemudian ke Mesir.
8.      Bersamaan dengan itu juga muncul faham Maturidiyah yang didirikan oleh Abu Mansur Al Maturidi dengan ajarannya yang sama dengan faham Ash’ariyah. Faham ini menyebar luas di Samarkand.
Dari sinilah lahirnya paham tengah-tengah Ahlussunah wal Jama’ah, konteksnya kembali pada semangat awal Islam ma anna alaihi wa ashabihi yang dipelopori oleh dua ulama besar pada waktu itu Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi, ini dalam bidang teologi/tauhid. Kemudian dalam bidang Fiqih lahirlah ulama-ulama besar yang merumuskan fiqih dengan mendasarkan kepada Ahlussunah, artinya kepada kebiasaan-kebiasaan Rasulullah dan para Sahabat (para Sahabat itu artinya wal Jama’ah) kemudian lahirlah Imam Hanafi, kemudian Imam Malik,  Imam Syafi’i, kemudian Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali).
Sehingga orang Ahlussunah wal Jama’ah sering dikatakan: “orang Islam yang secara teologi (Aqidah) mengikuti ijthad Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi dan secara Fiqih (Syari’at) mengikuti ijtihad salah satu madzhab yang empat yaitu Imam hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Kemudian dalam bidang tasawuf (Akhlaq) mengikuti ijtihad ulama besar Imam Al Ghazali dan Al-Junayd Al-Baghdadi.
Inilah yang kemudian sampai pada pengertian Aswaja, kalau kita melihat ijtihadnya ulama-ulama tersebut di atas maka pengertian yang pertama adalah tentang faham dan ajarannya. Kemudian pengertian kedua adalah (melihat cara berpikir dari berbagai kelompok aliran yang bertentangan), orang-orang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar moderasi menjaga keseimbangan dan toleransi. Ahlussunah wal Jama’ah ini tidak mengecam Jabariyah, Qodariyah maupun Mu’tazilah akan tetapi berada di tengah-tengah dengan mengembalikan pada ma anna alaihi wa ashabihi. Itulah latar belakang sosial dan latar belakang politik munculnya paham Aswaja. Jadi aswaja tidak muncul tiba-tiba tetapi karena ada sebab, ada ekstrim mutazilah yang serba akal, ada ekstrim jabariyah yang serba taqdir, aswaja ini di tengah-tengah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Aswaja sebagai sebuah paham keagamaan (ajaran) maupun sebagai aliran pemikiran (manhajul fiqr) kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dinamika sosial politik pada waktu itu, lebih khusus sejak peristiwa Tahkim yang melibatkan Sahabat Ali dan sahabat Muawiyyah sekitar akhir tahun 40 H.

B.     Prinsip-prinsip ASWAJA
Secara sederhana dalam perspektif teks, ASWAJA diterjemahkan sebagai: sekelompok golongan yang mengikuti, meyakini, dan mengamalkan sikap, perbuatan, dan perkataan yang dijalankan oleh Rasul SAW, Sahabatnya, dan para pengikut sahabatnya dimanapun berada, kapan pun dan siapa pun (4 ulama’ madzab, salafussholikh, dll).
Awal munculnya ASWAJA menjadi salah satu kelompok dalam kehidupan sosial, adalah karena perdebatan teologi, di sini ada Mu’tazilah (akal), Syi’ah (percaya mutlak ahlul bait), Khowarij (tekstual), dan ASWAJA (moderat) Muncul sebagai alternatif perdebatan kelompok-kelompok tersebut.
Prinsip yang dikembangkan ASWAJA adalah prinsip moderat (tengah-tengah),  mempertimbangan teks dan konteks, prinsip seperti itu sebenarnya telah ada dalam pesan risalah nubuwwah Muhammad SAW, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Al-Hadits. Dalam prisip dan sikap seperti ini, ASWAJA selalu menjadi solusi alternatif dalam setiap persoalan perdebatan yang bersifat dhonni (masih butuh penafsiran), dengan mengedepankan pendapat yang paling benar, paling bermanfaat, dan menghilangkan kemadlorotan (usulul fiqhi). Tokoh perintis faham ASWAJA, Abu Hasan al-Basri (wafat tahun 110 H/728M), Abu Hasan Al-Asy’ari (wafat tahun 324 H/935 M), dan Abu Mansur al-Maturidzi (wafat tahun 331 H/944 M), dan banyak ulama’ sunni lainnya.
Menilik perjalanan ASWAJA sebagai sebuah pola berfikir dan bertindak adalah tidak lepas dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia, dengan corak kesunniannya. Di mana ulama sunni, baik dari cina, India, maupun timur tengah sambil berdagang mampu menyebarkan Islam ala Sunni, dengan prinsip moderatnya, sehingga Islam bisa diterima masyarkat pribumi dengan elegan tanpa paksaan dan kekerasan. Islam mampu berdialektika dengan budaya lokal yang sudah berkembang, Hindu, Budha, Animisme, Dinamisme, dan adat Istiadat masyarakat Indonesia lainnya. Begitu pula yang dilakukan oleh para Wali Songo, mereka mampu mengislamkan Jawa dengan wajah moderatnya.
Artinya sebenarnya model Islam yang seprti itulah, (sunni, moderat, mengedepankan maslahah, menghilangkan madlarat) yang sejak awal berkembang dan bisa diterima oleh masyarkat Indonesia. Sehingga nilai Islam sebagai Agama Universal (rahmatan lil ‘alamin) menjadi kelihatan semakin nyata.
Model Islam sunni/Islam ASWAJA inilah yang kemudian mendorong lahirnya ornganisasi kemasyarakatan yang bervisi sosial keagamaan, yakni Nahdlatul Ulama’ (NU), yang sampai sekarang memegang teguh identitas tersebut sebagai sebuah nilai, idiologi, dan doktrin kedisiplinan. dan PMII adalah bagian dari dinamika perkembangan ke NU an di kalangan pemuda, terutama Mahasiswa (simak sejarah lahirnya PMII).
Pada perkembangan berikutnya lahirlah doktrin ASWAJA An-Nahdliyah yang dimotori oleh (alm.) K.H. Hasyim Asy’ari (Ra’is Akbar NU pertama). Dengan secara tekstual menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai landasan utamanya. Serta fiqih/usul fiqih (Ijama’ dan Qiyas, serta maslahatul mursalah) sebagai landasan kontekstualnya, sehingga dari kedua landasan tersebut, lahir dialektika antara teks dan konteks dalam mengambil keputusan, tindakan, pemikiran, dll. Maka tidak ada lain pola fakir yang dikedepankan adalah menolak bahaya (madlarat), mendatangkan kebaikan (maslahah). Dengan mengedepankan prinsip umum “al-muhafadzotu alaa qodimi al-sholikh, wal akhdzu bi al-jadiidil aslakh”, Yakni menjaga tradisi lama yang baik, dan mengembangkan (kreatif) sesuatu baru yang lebih baik”.
Adapun secara terperinci prinsip-prinsip Aswaja sebagai berikut:
1.      Tawassuth (moderat), yang selalu tampil dalam upaya untuk menjawab tantangan umat dan sebagai bentuk semangat ukhuwah sebagai prinsip utama dalam memanivestasikan paham Aswaja.
2.      Tawazun (seimbang), yaitu sebuah prinsip istiqomah dalam membawa nilai-nilai aswaja tanpa intervensi dari kekuatan manapun, dan sebuah pola pikir yang selalu berusaha untuk menuju ke titik pusat ideal
3.      Tasamuh (toleran), sebuah prinsip yang fleksibelitas dalam menerima perbedaan, dengan membangun sikap keterbukaan dan toleransi, hal ini lebih diilhami dengan makna.
4.      Ta’addul (adil), konsep tentang adanya proporsionalitas yang telah lama menjadi metode berfikir ala aswaja. Dengan demikian segala bentuk sikap amaliah, maqoliah dan haliah harus diilhami dengan visi keadilan
5.      Ta’awun (saling tolong menolong), inilah yang menjadi puncak dari semuanya prinsip aswaja yaitu menjadi orang yang saling tolong menolong bagi sesama.
Demikianlah materi aswaja yang dapat disampaikan adapun lebih kurangnya saya minta maaf yang sebesar-besarnya, dan semoga materi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.







Komentar

Postingan Populer