PARADIGMA PMII
PARADIGMA PMII
1.PENGERTIAN
Paradigma merupakan cara
pandang yang mendasar dari seorang ilmuan. Paradigma tidak hanya membicarakan
apa yang harus dipandang, tetapi juga memberikan inspirasi, imajinasi terhadap
apa yang harus dilakukan, sehingga membuat perbedaan antara ilmuan satu dengan
yang lainnya.
Paradigma merupakan
konstelasi teologi, teori, pertanyaan, pendekatan, dan prosedur yang
dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial, untuk
memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas sosial.
Paradigma merupakan
konstalasi dari unsur-unsur yang bersifat metafisik, sistem kepercayaan,
filsafat, teori, maupun sosiologi dalam kesatuan kesepakatan tertentu untuk
mengakui keberadaan sesuatu yang baru.
Paradigma adalah model atau
sebuah pegangan untuk memandu mencapai tujuan. Paradigma, juga merupakan
pegangan bersama yaang dipakai dalam berdialog dengaan realitas. Paradigma
dapat juga disebut sebagai prinsip-prinsip dasar yang akan dijadikan acuan
dalam segenap pluralitas strategi sesuai lokalitas masalah dan medan juang.
2. PERAN PARADIGMA
Dengan paradigma pergerakan,
diharapkan tidak terjadi dikotomi modal gerakan didalam PMII, seperti
perdebatan yang tidak pernah selesai antara model gerakan “jalanan”
dan gerakan “pemikiran “.
Gerakan jalanan lebih
menekankan pada praksis dengan asumsi percepatan transformasi sosial. Sedangkan
model gerakan pemikiran bergerak melalui eksplorasi teoritik, kajian-kajian,
diskusi, seminar, dan pertemuan ilmiah yang lainnya, termasuk penawaran suatu
konsep kepada pihak-pihak yang memegang kebijakan, baik ekskutif, legislatif,
maupun yudikatif.
Perbedaan antara kedua model
tersebut tidak hanya terlihat dalam praksis gerakan, tetapi yang berimplikasi
pada objek dan lahan garapan. Apa yang dianggap penting dan perlu oleh gerakan
jalanan belum tentu dianggap penting dan perlu oleh gerakan pemikiran dan
begitu sebalikmya, walaupun pada dasarnya kedua model tersebut merupakan satu
kesatuan.
Dalam sejarahnya, gerakan
mahasiswa selalu diwarnai perdebatan model jalanan dengan
intelektual-intelektual. Begitu juga sejarah gerakan PMII selalu diwarnai
dengan “pertentangan” yang
termanifestasikan dalam gerakan politik-struktural dengan gerakan
intelektual-struktural dengan gerakan intelektual-kultural.
Semestinya kedua kekuatan
model tersebut tidak perlu dipertentangkan sehingga memperlemah gerakan PMII
itu sendiri. Upaya untuk mencari prinsip dasar yang menjadi acuan segenap model
gerakan, menjadi sangat penting untuk dirumuskan. Sehingga pluralitas setinggi
apapun dalam model dan strategi gerakan, tidak menjadi masalah, dan bahkan
secara sinergis bisa saling menguatkan dan mendukung.
Letak paradigma adalah dalam
menjaga pertanggungjawaban setiap pendekatan yang dilakukan sesuai dengan
lokalitas dan kecenderungan masing-masing.
3. PENERAPAN
Sepanjang sejarah PMII dari
Tahun 80an hingga 2010, ada 3 (tiga) Paradigma yang telah dan sedang digunakan.
Masing-masing menggantikan model paradigma sebelumnya. Pergantian paradigma ini
mutlak diperlukan sesuai perubahan dengan konteks ruang dan waktu. Ini
bersesuaian dengan kaidah Taghoyyurul ahkami bi taghoyyuril azminati wal
amkinati. Bahwa hukum itu bisa berubah sesuai dengan perubahan waktu dan
tempat. Berikut ada beberapa jenis paradigma yang disinggungpada pembahasandi
atas:
a.Paradigma Arus Balik
Masyarakat Pinggiran
Nalar gerak PMII secara
teoritik mulai terbangun secara sistematis pada masa kepengurusan Muhaimin
Iskandar (Ketum) dan Rusdin M. Noor (sekjend) 1994-1997. Untuk pertama kalinya
istilah paradigma yang populer dalam bidang sosiologi digunakan dalam PMII.
Paradigma pergerakan dirasa
mampu untuk menjawab kegerahan anggota pergeraan yang gerah dengan situasi
sosial-politik nasional. Era pra reformasi di PMII menganut paradigma Arus
Balik Masyarakat Pinggiran.
Paradigma ini muncul
dikarenakan restrukturisasi yang dilakukan orde baru telah menghasilkan format
poltik baru yang ciri-ciri umumnya tidak jauh berbeda dengan negara-negara
kapitalis pinggiran (peripheral capitalist state) di beberapa negara Amerika
Latin dan Asia.Ciri-ciri itu antara lain adalah.
1.Munculnya negara sebagai
agen otonom yang perannya kemudian “mengatasi”
masyarakat yang merupakan asal-usul eksistensinya.
2.Menonjolnya peran dan
fungsi birokrasi dan teknokrasi dalam proses rekayasa sosial, ekonomi dan politik.
3.Semakin terpinggirkannya
sektor-sektor “populer” dalam
masyarakat(termasuk kaum intelektual).
4.Diterapkannya model politik
eksklusioner melalui jarigan-jaringan korporatis untuk menangani berbagai
kepentingan politis.
5.Penggunaan secara efektif hegemoni
idiologi untuk memperkokoh dan melestarikan sistem politik yang ada.
Rezim Orde Baru adalah lahan
subur bagi sikap perlawanan PMII terhadap negara yang hegemonik. Sikap
perlawanan itu didorong pula oleh teologiantroposentrisme transendentalyang memposisikan
manusia sebagaiKholifatullah fil ardh.
Hal penting lain dari
paradigma ini adalah mengenai proses rekayasa sosial yang dilakukan PMII.
Rekayasa sosial yang dilakukan melalui dua pola,pertama, melalui advokasi
masyarakat,kedua, melaluiFree Market Idea. Advokasi dilakukan untuk
korban-korban perubahan, bentuk gerakannya ada tiga yakni, sosialisasi wacana,
penyadaran dan pemberdayaan, serta pendampingan.
Cita-cita besar advokasi
ialah sebagai bagan dari pendidikan politik masyarakat untuk mencapai angan-angan
terwujudnyacivil society.Kemudian yang diinginkan dariFree Market Ideaadalah
tejadinya transaksi gagasan yang sehat dan dilakukan oleh individu-individu
yang bebas, kreatif sebagai hasil dari proses liberasi dan independensi.
b.Paradigma Kritis Transformatif
Pada periode sahabat Saiful
Bahri Anshari (1997-2000) diperkenalkan paradigma Kritis Transformatif.Pada
hakikatnya, prinsip-prinsip dasar paradigma ini tidak jauh berbeda dengan
paradigma Arus Balik. Titik bedanya terletak pada kedalaman teoritik serta
pengambilan eksemplar-eksemplar teori kritis madzhab Frankfurt serta krtisisme
intelektual muslim seperti, Hasan Hanafi, Ali Asghar Enginer, Muhammad Arkoun
dll.
Di lapangan terdapat
konsentrasi pola yang sama dengan PMII periode sebelumnya, gerakan PMI
terkonsentrasi di aktivitas jaanan dan wacana kritis. Semangat perlawanan
terhadap negara dan dengan kapitalisme global masih mewarnai gerakan PMII.
Kedua paradigma sebelumnya
mendapat ujian berat ketika KH. Abdurrahman Wahid (almarhum) terpilih menjadi
presiden ke-4 RI pada November 1999. para aktivis PMII dan aktiviscivil
societyumumnya mengalami kebingungan saat Gus Dur yang menjadi tokoh dan simbol
perjuangancivil societyIndonesia naik ke tampuk kekuasaan.
Aktivis pro-demokrasi
mengalami kebingungan antara mendampingi Gus Dur dari jalur ekstraparlementer,
atau bersikap sebagaimana pada presiden-presiden sebelumnya. Mendampingi atau
mendukung didasari pada kenyataan bahwa masih banyak unsur-unsur orba yang
memusuhi preiden ke-4 ini.
Pilihan tersebut memunculkan
pendapat bahwa aktivis pro-demokrasi telah menanggalkan semangat perlawanannya.
Meski demikian secara rasional sikap PB. PMII dimasa kepengurusan Nusron Wahid
(2000-2002) secara tegas terbuka mengambil tempat mendukung demokrasi dan reformasi
yang secara konsisten dijalankan oleh presiden Gus Dur.
c.Paradigma Menggiring Arus,
Berbasis Realitas
Pada masa kepengurusan
sahabat Heri Harianto Azumi (2006-2008) secara massif, paradigma gerakan PMII
masih kental dengan nuansa perlawanan frontal baik baik terhadap negara maupun
terhadap kekuatan kapitalis internasional. Sehingga ruang taktis-strategis
dalam kerangka cita-cita gerakan yang berorientasi jangka panjang justru tidak
memperoleh tempat. Aktifis-aktifis PMII masih mudah terjebak larut dalam
persoalan temporal-spasial, sehingga perkembangan internasional yang sangat
berpengaruh terhadap arah perkembangan Indonesia sendiri sulit dibaca. Dalam
kalimat lain, dengan energi yang belum seberapa, aktifis PMII sering larut pada
impian membendung dominasi negara dan ekspansi neoliberal saat ini juga. Efek
besarnya, upaya strategis untuk mengakumulasikan kekuatan justru masih sedikit
dilakukan.
Celakanya, konsep-konsep yang
dipakai di kalangan akademis kita hampir seluruhnya beraroma liberalisme.
Sehingga di tingkat intelektualpun tidak ada kemungkinan untuk meloloskan diri
dari arus liberalisme.
Dengan kata lain dalam upaya
melawan neoliberalisme banyak gerakan terperangkap dalam knsep-konsep
Liberalsme, Demokrasi, HAM, Civil Society, Sipil vs Militer, Federalisme,dll
yang dipakai sebagai agenda substansial padahal dalam lapangan politik dan
ekonomi, kesemuanya nyaris menjadi mainan negara-negara neoliberal.
Persoalan sulitnya membangun
paradigma berbasis realitas paralel dengan kesulitan membuat agenda nasional
yang berangkat dari kenyataan Indonesia. Konsekuensi yang harus diambil dari
penyusuan paradigma semacam ini adalah, untuk sementara waktu organisasi akan
tersisih dari gerakan mainstream. Bagaimanapun untuk membangun gerakan kita
harus mendahulukan kenyataan dari pada logos.
Komentar