STRATEGI PENGEMBANGAN PMII
STRATEGI PENGEMBANGAN PMII
PMII adalah
organisasi yang bertujuan pada terbentuknya pribadi muslim yang bertaqwa kepada
Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap, dan bertanggung jawab dalam
mengamalkan ilmu pengetahuannya serta komitmen atas perwujudan cita-cita
kemerdekaan Indonesia. Senafas dengan tujuannya tersebut PMII dituntuit
untuk membuktikan bahwa arah gerakannya memanifestasikan cita-cita yang dituju.
Sebagai organisasi yang etos pergerakannya bersandar opada aspek kemahasiswaan,
keislaman dan keindonesiaan, maka pengejawantahan gerakan PMII juga mencirikan
ketiga aspek diatas. Aspek kemahasiswaan harus diselaraskan dengan tipologi
mahasiswa sebagai agent of social change. Dimana mahasiswa
mempunyai kekuatan intwelektual untuk mendobrak bentuk-bentuk kemapaman yang
menghalangi kemajuan dan secara intens menembus kebekuan realitas menuju
dinamika yang mengarah pada pemecahan masalah-masalah sosial.
Pada aspek
keislman, PMII meyakini bahwa kehadiran atau eksistensinya adalah untuk
mewujudkan peran khalifatullah fi al-ardl, meneruskan risalah kenabian untuk
merahmati alam. Islam seharusnya selalu menjadi cahaya (nur) bagi ummatnya di
setiap waktu dan di setiap zaman. Oleh karena itu wacana keislaman yang
dipahami oleh PMII harus mampu melakukan tafsir terhadap dirinya agar relevansi
dan kontekstualisasinya aktual dengan perkembangan zaman. Sementara aspek
kebangsaan PMII harus dibuktikan dengan antusiasme aktif terhadap nilai
kebangsaan yang ditunjukkan oleh sikap penghargaan atas pluralitas dan inklusivitas
serta menghindari ekslusivitas dan sektarian.
Ketiga aspek di atas
harus terintegrasi dalam satu perspektif yang saling menopang satu dengan
lainnya. Oleh karena itu dialektika aktif di dalam kehidupan masyarakat harus
ditunjukkan dengan sikap penghargaan, solidaritas, persamaan, kesetaraan, dan
anti diskriminasi yang dilandasi suatu kesadaran yang utuh, bukan sebaliknya.
Dialektika ini juga hatus mengatasi problema yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat baik menyangkut aspek politik, budaya, ekonomi, hukum, pendidikan
dan agama.
POTRET PMII
Anggota PMII pada umumnya berasal
dari desa dan masih berparadigma pedesaan berpengaruh terhadap gaya pengembangan pmii
itu sendiri. Karakter geografis, demografis, sosiologis, membawa
implikasi pada sifat dan perilaku komunal baik menyangkut teologi, tradisi dan
budayanya. Penghargaan terhadap lokalitas tradisional yang menjunjung tinggi
pluarlitas dan keseimbangan relasi antar iman menjadi
kesadaran spiritualitas. Pemahaman teologis dinaungi oleh doktrin Aswaja yang
dikonstruksi sebagai manhaj al-fikr. Realitas nilai dan norma tradisionalis
keberagamaan yang telah terbangun dalam lingkungan keluarga, dan masyarakat
(terutama pesantren) memiliki korelasi positif terhadap paham keagamaan dan
membentuk karakter keberagamaan kader. Latar keberagamaan para kader PMII sarat
dengan pemahaman teologi Asy’ariyah yang mengedepankan keseimbangan,
solidaritas, dan ketenangan dalam perilaku dan karakternya dalam
pengejawantahan hidup bermasyarakat. Doktrin teologi yang dibangun memberikan
makna keagamaan yang sedikit beku karena nafas keberagamaan cenderung mengarah
pada dogmatisme tradisi dan ajaran, sehingga agama bagai relevan dalam
ritualitas tetapi kurang memungkinkan dalam menjawab realitas kehidupan.
Karakter keberagamaan
kader PMII ini satu sisi memberikan pengkayaan karena khazanah keagamaan bisa
dijadikan modal untuk mengilhami suatu perubahan menuju peradaban. Tetapi
khazanah yang dimungkinkan bisa mengarah kepada penciptaan peradaban adalah
khazanah yang niscaya untuk memberikan pemecahan aspek kemanusiaan, teknologi,
kebudayaan dan spiritualitas. Di sisi lain, kenyataan ini menjadi masalah
karena kekayaan khazanah ini tidak memberikan sesuatu maistream perubahan.
Mungkin karena masih terjadi kontradiksi antara frame lama yang dogmatis dan
frame baru yang secara sistematis belum bisa menjadi sandaran perjuangan secara
utuh. Padahal tantangan yang dihadapi adalah karakter modernitas yakni adanya
penafian sisi kemanusiaan dan spiritualitas dan hanya mendasarkan pada kehidupan
fisik dan material.
Oleh karena itu PMII
harus melakukan rekonstruksi -malah kalau bisa dekonstruksi- pemahaman
terhadap tafsir keagamaan agar lebih hidup sebagai upaya menggagas kehidupan
yang lebih bermakna dan tidak hanya ritual tetapi juga sosial. Tauhid tidak
hanya ada dalam diri tanpa mampu terrefleksikan dalam kehidupan, tetapi
sebaliknya tauhid adalah pemberian jawaban terhadap realitas yang ada. Oleh
karena itu teologi yang mengarah kepada aspek teosentris (Tuhan sebagai pusat
kajian) harus dibalik dengan mengarahkan poada teologi antroposentris (aspek
kemanusiaan sebagai pusat orientasi). Konsepsi teologi antroposentris
sebagai teologi yang dapat ditrasformasikan dalam kerangka empirik-praksis
merupakan antitesa terhadap teologi teosentris. Dengan demikian pemahaman
terhadap nalar keagamaan manusia harus didekonstruksi menjadi teologi
transformatif. Pemikiran teologis yang dikonstruksi sebagai tata nilai yang
mapan dianggap telah menafikan dinamisasi pergulatan nalar keberagamaan manusia
yang bersifat dinamis dan interpretable. Perubahan yang menjadi
sifat asasi manusia mengilhami nalar kader dalam mengapresiasikan pemikiran
teologisnya sehingga kader akan selalu menggeliat dengan kemapanan karena
berimplikasi pada stagnasi pemikiran yang menciptakan alienasi manusia terhadap
realitasnya.
Nalar teologis yang
hidup ini belum mampu menjadi cahaya yang mengarahkan pada satu titik sendi
perjuangan. Pola gerakan PMII masih carut marut dalam kesendirian yang
masing-masing belum terkomunikasikan menjadi gerakan yang padu. PMII adalah
organisasi kader yang mengarahkan kepada pembentukan kader yang mampu
beradaptasi dengan seluruh lingkungan yang ada. Keberpihakan terhadap
nilai-nilai harus disandarkan pada realitas kebutuhan anggota dan realitas
kebutuhan masyarakat. Komitmen ini harus selalu dikawal sebagai manifestasi
pemberdayaan individu (warga) di satu sisi dan disisi lain upaya membangun
masyarakat. Dari sinilah kemudian bisa dilihat pembinaan kader yang
intens menuju standar kualitas yang mampu berkompetisi dengan realitas
sejati yang ada di masyarakat bisa terwujud.
Konsentrasi
pemberdayaan ini juga harus dilihat dari sisi alumni OMII. Realitas
alumni PMII adalah proses timbal balik dari realitas PMII. Proses aktualisasi
alumni PMII tidak bisa optimal dalam kancah kompetisi kehidupan publik. Ranah
publik yang mestinya mampu dimasuki PMII tidak seluruhnya bisa digapai
dikarenakan adanya marginalisasi oleh sistem yang refresif. Sistem politik
tidak memberikan ruang yang leluasa untuk menggerakkan potensi kader PMII
mengapresiasikan apa yang dimilikinya. Banyak warga PMII dsn alumni PMII
kesulitan menempatkan diri dalam posisi strategis, baik tataran birokrasi,
partai politik, profesional, LSM, dan lain-lain. Hal ini akibat frame Orde Baru
yang hanya memberikan ruang dan kesempatan kepada kelompok ”modernis”
denganh mengesampingkan kelompok lain untuk mengaktualisasikan potensi yang
dimilikinya.
Jatuhnya
rejim Orde Baru memberikan secercah harapan bagi PMII untuk memposisikan diri
dalam ranah kehidupan publik. Kesempatan ini harus ditopang dengan pemberdayaan
dan pengkayaan warga PMII agar berkualitas, sehingga mampu beradaptasi dengan
lingkungan yang sudah terbuka dan menggeser realitas kehidupannya yang
pinggiran.
PENGEMBANGAN ORGANISASI
a.
Penguatan Ideologi Gerakan
PMII selama ini
mendasarkan dan menyandarkan pada ideologi dan wacana kritis sebagai upaya
pembacaan terhadap realitas sosial dan keberpihakan kepada masyarakat lemah,
terpinggirkan, dan perjuangan terhadap nilai-nilai universal (keadilan,
persamaan, kesetaraan, solidaritas, pluralisme dan lainnya). Penguatan ideologi harus ditekankan agar gerakan PMII
mempunyai kekuatan yang terarah dan konsisten. Penguatan ideologi harus
bersifat membantu dan mengarahkan nilai perjuangan, bukan sebaliknya. Fungsi
ideologi tidak hanya membantu dan mengarahkan, tetapi kadang juga menjadi
perintang. Ide ideologi sebagai perintang gerakan disebabkan ide yang dijadikan
pedoman telah menjadi sistem yang menghasilkan perilaku yang mempertahankan tatanan
yang ada.
Ideologi mempunyai
kekuatan merintangi apabila ia telah menjadi kekuatan yang mengendalikan tata
pikir, tata bicara, dan tata tindak dari setiap anggotanya. Dengan demikian
ideologi mengabsahkan kemapanan bukan sebaliknya mengarahkan kepada
perubahan. Ideologi membantu arah gerakan ketika ia membenarkan arah
baru, baik dengan mengacaukan tatanan lama maupun dengan mengkampanyekan dan
dan mensahkan tatanan yang baru muncul. Oleh karena itu ideologi harus
mengarahkan perilaku menuju perubahan. Dalam hal ini, ideologi menjadi
mekanisme pemersatu, harus berfungsi untuk meredakan konflik yang terjadi di
masyarakat.
Ideologi harus mampu
memotivisir individu agar terlibat dalam proses perubahan. Tetapi memang
seringkali ideologi tidak selaras dengan realitas sosial sehingga menggerakkan
orang untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu ideologi harus menjadi pengarah
untuk meretas perubahan sesuai bayangan masa depan. Dengan adanya penguatan
ideologi PMII akan membuat gerakan PMII lebih bermakna. Pencarian dan penguatan
terus menerus sebagaimana yang menjadi watak PMII sebagai organisasi kader dan
massa harus dilakukan sepanjang zaman, sesuai dengan tuntutan zaman agar
ideologi yang dibangun tidak menghalangi gerakan PMII itu sendiri.
b.
Desentralisasi Gerakan
Desentralisasi sebagai komponen penting dalam gerakan
sosial pemberdayaan masyarakat mempunyai arti strategis karena akan membuka
peluang yang lebar kepada masyarakat dalam perumusan dan pemantauan kebijakan
pemerintah atau organisasi. Suatu gerakan sosial
organisasi massa yang terdesentralisasi akan semakin besar potensi
pemberdayaan warga anggota organisasi. Organisasi PMII level Koordinator
Cabang, Cabang, Komisariat, dan Rayon mempunyai kekuatan dan fungsi strategis
dalam pemberdayaan masyarakat. Ada dua fungsi desentralisasi gerakan.
Pertama, agar sesuai dengan kepentingan lokal, yaitu gerakan sosial harus
disesuaikan dengan masalah dan potensi daerah, dan harus melibatkan
keterlibatan anggota dalam keputusan organisasi. Dari sinilah struktur organisasi
di daerah berfungsi sebagai institusi desentralisasi gerakan sosial, terutama
dalam wacana politik, dan sosial kemasyarakatan. Semakin terdorongnya
desentralisasi gerakan sosial PMII akan mendorong political equality(kesempatan
yang sama dalam pengambilan keputusan), accountability (meningkatkan
tanggung jawab),responsiveness (peningkatan pelayanan sosial
organisasi).
Kedua, fungsi pengadministrasian, yaitu mengurangi kemacetan organisasi di pusat
dan meningkatkan pengadministrasian wewenang gerakan sosial pusat di daerah.
Untuk itu gerakan harus dibangun dengan kekuatan yang platformnya dipahami
secara bersama. Pertama, dalam gugus ideal gerakan PMII diikat
dengan pemikiran dan kesadaran bersama sebagai upaya menyederhanakan konflik
yang ada dalam internal organisasi maupun masyarakat luas. Dari pemikiran bersama ini akan memunculkan paradigma
dan ideologi gerakan untuk membentuk tingkah laku bersama. Kedua, gerakan sosial
butuh kampanye untuk mensosialisasikan ide dan kesadaran sosialnya. Oleh karena
itu kampanye sebagai strategi harus dilakukan untuk meraih dukungan, baik
melalui komunikasi massa, negosiasi, maupun mobilisasi.
c.
Menghargai Kompetisi dan Konflik
Kompetisi adalah pendorong organisasi agar dinamis,
memaksa oraganisasi meningkatkan laju perubahan program dan tingkat
keterampilannya. Kompetisi juga merupakan faktor yang menimbulkan kreatifitas
dan inovasi.Harapan masa depan yang dirumuskan bersama akan selalu
menunggu kader-kader yang kreatif. Oleh karena itu organisasi PMII harus digerakkan
dengan kreativitas dan inovasi di berbagai bidang.
Konflik berpengaruh efektif
terhadap seluruh tingkat realitas sosial. Organisasi yang efektif dan berhasil
akan mengalami persoalan integrasi yang paling gawat dan derajat konflik yang
paling tinggi. Organisasi yang efektif harus mempunyai mekanisme formal dalam
menyelesaikan konflik yang berperan sebagai pemersatu. Mekanisme ini bukan
berarti mengurangi konflik tetapi hanya dapat menyelesaikan apabila itu
terjadi. Konflik berperan penting dalam mensukseskan gerakan sosial. Berlawanan
dengan apa yang mungkin dipikirkan orang, konflik internal dalam gerakan sosial
akan berdampak positif untuk mencapai tujuan gerakan bersama. Konflik internal
akan fungsional bila tujuannya adalah mempercepat gerakan dan peruahan sosial
masyarakat.
d.
Pemanfaatan Teknologi Informasi
Untuk mencapai masyarakat komunikatif yang
diangan-angankan dalam sebuah masyarakat sipil, peran teknologi teritama
teknologi informasi sangat besar artinya. Teknologi menciptakan beberapa alternatif
pilihan gerakan. Teknologi baru akan membawa cita-cita yang sebelumnya tidak
dapat dicapai ke alam kemungkinan dan dapat mengubah kesulitan relatif
atau memudahkan menyadari nilai-nilai yang berbeda. Dengan adanya inovasi
teknologi masyarakat mempunyai banyak alternatif, dan jika ia memilih
alternatif baru, maka ia memulai perubahan besar di berbagai bidang.
Teknologi informasi
akan mengubah pola interaksi antar manusia. Setelah teknologi baru diterima
akan terjadi pergeseran pola interaksi sebagaimana pergeseran yang dituntut
oleh teknologi itu sendiri. Pemanfaatan teknologi informasi akan membantu
menciptakan tatanan gerakan sosial yang baru yang sebelumnya tidak ada atau
tidak terpecahkan. Teknologi informasi berkait erat dengan industri informasi
yang menopang terjadinya perubahan besar dalam struktur sosial. Perjuangan
mengakses informasi merupakan keharusan untuk membangun ide perubahan dan
sebagai alat perjuangan menuju cita-cita yang dinginkan. Dengan mengakses
informasi sekaligus memiliki daya dukung material teknologinya, PMIIakan hadir
sebagai organisasi transnasional, menembus batas-batas yang sebelumnya tidak
bisa ditembus.
IMPLEMENTASI
Sandaran terhadap
wacana kritis, pengembangan organisasi, dan pengembangan perjuangan, maka
dibutuhkan target-target sebagai hasil pencapaian dari cita-cita yang
diinginkan. Pencapaian target merupakan proses logis manakala didalamnya
terjadi silogisme, deduksi atau induksi. Apabila mengacu kepada fakta-fakta di
dalam PMII saat ini dan masa lalu dengan serentetan sejarah gerakannya, makia
induksi dealektika target yang dicapai akan tergambar. Demikian pula
sebaliknya, ketika paradigma masa lalu dan saat ini sebagai acuan maka target
apa yang dicapai juga akan tergambar. Sebab dua dealektika ini, secara jelas
menggambarkan sebuah proses hepotesis empiris PMII, antitesis terhadap
paradigma gerakan yang akan terlahir pada setiap generasi, dan sintesis
kebaruan paradigma yang terus menerus. Dari sinilah dapat dibaca target yang
mewujud dengan pedoman model wacana yang dikembangkan mekaisme apa yang
dijalankan, dan barometer apa yang digunakan.
Pertama, pengawalan
PMII terhadap moralitas bangsa sebagai bentuk keberpihakan riil masa depan.
Keterbukaan, keseteraan dan keterlibatan dalam kancah kebangsaan merupakan pencapaian
target PMII dari paradigma yang dikembangkan. Bangunan kebangsaan terbuka harus
dilakukan sebagai upaya counter wacana atas pola masyarakat tertutup. Paradigma
keterbukaan sebagai sebuah target gerakan PMII dapat dipandang sebagai sebuah
model teoritis yang tata hubungannya bersifat konstraktual di mana ekstensi
institusi dengan keanggotaannya wajib atau terbatas tidak mempengaruhi
interpretasi ini. Kebebasan perseoranagan terjamin selama ada beberapa insitusi
berbeda yang setara terbuka bagi setiap orang hingga dia dapat memilih
salah satu yang akan dimasukinya.
Kesetaraan menyangkut aspek
kesadaran yang mampu berbagi kepada yang lain. Pencapaian dari kesataraan akan
memunculkan keberdayaan. Emansipasi yang berarti pada pengangkatan
merdeka dari hambatan atau mengeluarkan diri dari segala himpitan menuju gerak
yang merdeka adalah strategi yang merespon atas situasi-situasi. Situasi yang
menkungkungi dan mewujud dalam ketidakberdayaan merupakan hegemoni atas gerak
dari keterbukaan, kesetaraan dan emansipasi akan mendasari gerakannn pada
kekuatan konseptual dan profesionalitas. Dengan demikian warga merupakan ruh
komunal yang padanya mewujud proses discurve-formation yang memberikan
kebebasan dan menerima segenap eksplorasi pemikiran. Keadaan ini dapat tumbuh
bila dihadapkan pada realitas sosial, utamanya kebobrokan sistem budaya
dan warga PMII harus selalu menjarak dengan segala bentuk kemapanan.
Kedua, individu,
group dan struktur sosial. Individu menjadi penting di dalam PMII, karena gerak
paradigma yang mewujud dalam ekstensi tiap warga PMII adalah resonansi dari
paradigma yang empiris berjalan dalam diskursus pergerakan. Tipologi indiividu
yang menebar dalam ragam wacana, subsistem karakter wacana yang berkembang
menempatkan proses perkaderan sumber daya manusia harus diproses secara laten
untuk menciptakan hulu teknologi wacana dan muaranya nanti pada peran-peran
sosial. Penguatan kualitas individu melalui pendidikan formal maupun informal
sebagai kekuatan profesionalitas nantinya mampu mendobrak dan menghasilkan
penataan kembali terhadap sistem intelektualitas, pola bergaining pada tingkat
negara dan sistem relegiusitas menyadarkan bagaimana sistem kepercayaan dalam
tradisi keagamaan dapat menjadi nilai transformatif yang membebaskan.
Sementara group sebagai sistem
yang dapat diidentifikasi sebagai subsistem terorganisasi yang saling terkait
untuk mencapai tujuan tertentu. Di dalamnya menutut komitmen-komitmen
pencapaian target. Lewat group inilah pencapaian target PMII dapat diwujudkan.
Suatu gorup dapat mencapai target keseluruhan dalam suatu hubungan yang
kompleks manakala terdapat perangkat bangunan target lewat gorup yang saling
terkait. Bangunan target lewat gorup dalam sistem pergerakan PMII bisa melalui
delegasi kepanitiaan dalam aktivitas PMII maupun dalam aktivitas institusi
lainnya.
Struktur sosial dapat
diidentifikasi sebagai subsistem yang terorganisasi yang saling terkait untuk
mencapai tujuan tertentu. Struktur sosial selalu mempertahankan batas-batas
yang memisahkan dan membedakannnnnnn dari lingkungan lain.
Pencapaian target melalui struktur sosial adalah
bagaimana kader PMII mamp mentransformasi nilai, wacana, paradigma dalam
situasi sosial.
Target pencapaian ini harus
didukung dengan proses implementasi yang lebih operasional. Dibutuhkan agen
untuk mensososialisasikan apa yang dimiliki PMII kepada basis-basis sosial baik
internal maupun eksternal. Pertama, kelompok strategis sebuah
kekuatan yang memiliki bergaining position. Dalam wilayah PMII bisa dipetakan
pada wilayah internal dan eksternal. Keberadaan struktur kepengurusan dalam
sebuah organisasi memiliki konsekuensii terhadap jalannya organisasi. Dalam
PMII pengurus sebagai pengelola organisasi memiliki kewenangan untuk menjadi
agen sosialisasi wacana dan sekaligus di dalamnya sebagai penggerak dari
ide-ide yang hendak diaktualisasikan. Oleh karena itu pengawalan yterhadap
institusi dan memberikan penguatann menjadi sangat penting. Visi harus sama yang dimanefestasikan pada pola-pola
kerja-kerja keorganisasian. Visi yang tidak sama
akan menggulingkan organisasi pada perjalanan yang tidak terarah. Selain organ
di dalam PMII, organ di luar PMII merupakan wilayah yang harus dirambah dalam
pola strategi gerakan sebagai agen. NGO’s (LSM), kelompok diskusi, kajian,
penelitian dan kelompok-kelompok masyarakat merupakan wilayah mitra dalam
membangun siinergisitas bangunan PMII.
Kedua, partisipasi warga. Keterlibatan warga dalam gerak
langkah PMII merupakan hal penting dalam keberlangsungan organisasi. Dalam
konteks ini partisipasi warga adalah bagiamnan kemandirian agar dapat terbangun
dari kesadaran yang tumbuhhh dari pemahaman komprehensif terhadap ruh gerakan.
Sebagaii agen, partisipasi warga diharapkan mampu mengimplementasikan dan
mengaktualisasikan misi pergerakan. Keterlibatan warga PMII sebagai jaminan
bagaimana rumusan-rumusan yang ada dalam wacana kritis, komitmen sosial dan
kemanusiaan bisa dijalankan dengan kemandirian.
Metode
yang digunakan adalah non violence, konfrontatif dan koorporatif non
kooptasi. Pertama, anti kekerasan adalah melakukan perubahan yang
paling substansial dalam semangat kemanusiaann tanpa kekerasab. Karenanya
sebagai aktualisasi visi yang dikembangkan PMII, pendekatan model anti
kekerasan adalah salah satu pilihan alternatif dalam konteks penghargaan atas
hak asasi manusia. Kedua, seringkali untuk menyelesaikan
kontradiksi bangunan struktur sosial lama menuju bangunan struktrur sosial
baru, cara konfrontatif merupakan susatu hal yang tidak terelakkan. Ini akibat
lemahnya kekuatan struktural dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dialami
di masyarakat, padahal masyarakat ingin perubahan secara cepat. Ketiga.
kooperatif non kooptasi. Metode kooperatif adalah merupakan cara efektif untuk
mempengaruhi pihak lain dengan prinsip win-win solution. Metode
kooperatif harus didasari dengan konsep, sikap kemandirian, dan kedewasaan
melakukan hubungan dengan pihak lain. Dengan kekuatan ini kooperatif yang
dilakukan tidak menjebak kepada kooptatif baik terhadap dirinya maupun kepada
pihak lain
Komentar