ISLAM TEOLOGI PEMBEBASAN
ISLAM
TEOLOGI PEMBEBASAN
(Langkah kritis dialektis pergerakan)
Disampaiakan oleh M.ARIBPAK’I
PRAWACANA
MASALAH utama kemanusiaan saat ini adalah kemiskinan,
kebodohan, dan penindasan. Islam, sebagai agama paripurna yang bukan hanya
berisi aturan-aturan mengenai hubungan manusia dan Allah namun juga mengatur
hubungan antara manusia dengan manusia lain, tentu diharuskan untuk menuntaskan
masalah kemanusiaan yang ada. Menghadapi realitas seperti ini, Islam diberikan
dua pilihan, menjadi seperti yang Marx katakan, candu dan membawa umat manusia,
khususnya umat Islam, untuk bersabar dan ikhlas dengan kondisi ketertindasan
yang ada serta pada akhirnya melanggengkan status quo; atau menjawabnya
dengan menempatkan Islam sebagai agama pembebasan, agama yang menggali dan
mewujudkan makna revolusioner dan berkonsekuensi untuk memihak kepada rakyat
yang lemah dan tertindas.
Banyak contoh konkret yang dapat kita temui dalam
keseharian, bagaimana praktik beragama hanya sebatas ritual semata dan
melupakan aspek sosial dari agama itu sendiri. Bagaimana ustadz-ustadz (dan
pemuka agama lain) hari ini sibuk mengutip ayat-ayat yang menjanjikan
kenikmatan surga dan hidup bahagia setelah mati kelak kepada para jama’ah/umat,
tetapi kemudian setelah mendengar ceramah, para jama’ah kembali ditindas di
tempat kerjanya, di pabriknya, di sawahnya, atau di ladangnya. Mereka hanya pasrah,
terkunci pada sikap sabarnya karena ingat akan janji surga di kehidupan setelah
mati kelak. Sebuah ilusi dan harapan palsu yang menyelubungi penindasan yang
ada. Sikap pasif dan apolitis ini juga direproduksi tanpa henti di media massa
sebagai aparatus ideologi termaju. ‘Kotak ajaib’ itu telah menjadikan dakwah
sekadar ajang komersialisasi agama yang tidak ada bedanya dengan
komoditas-komoditas lain. Ustadz pun kemudian dibayar berdasarkan ‘waktu kerja’
mereka berdakwah di layar televisi.
Berbicara
tentang teologi pembebasan dalam diskusi-diskusi resmi atau tak resmi memang terasa
problematik. Seringkali diskusi seperti ini dicurigai sebagai gerakan pemikiran
kekiri-kirian yang diasosiasikan dengan pendukung komunisme atau dianggap
menyebarkan pemikiran subversif. (khususnya pada era Orde Baru lalu).
Setelah
Orba jatuh dan kebebasan berpikir mulai terbuka diskusi semacam ini juga
dianggap tabu dan dipandang dengan mata sinis oleh sebagian kalangan. Rupanya
persepsi itu disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya kesalahpahaman
mengenai term teologi pembebasan (liberation theology) itu sendiri. Kedua,
karena teologi pembebasan adalah terminologi yang lahir dari tradisi Kristiani,
khususnya di Amerika Latin, dan tidak pernah dikenal secara eksplisit dalam
khazanah pemikiran Islam. Dan ketiga, karena teologi pembebasan sedikit
banyak diinspirasikan oleh ideologi kiri dari pemikiran Marxisme yang dalam
sejarah perpolitikan Indonesia dianggap memiliki cacat yang tak termaafkan
setelah peristiwa G 30 S. Tulisan reflektif ini dimaksudkan untuk sedikitnya
mengklarifikasikan asumsiasumsi yang menjadi keberatan berbagai kalangan
terhadap wacana teologi pembebasan. Dan untuk tujuan ini saya berusaha
menyelami sejarah sekaligus menemukan makna dan signifikansi teologi pembebasan
bagi pemahaman keagamaan kita ke arah pengertian yang lebih transformatif,
rasional dan fungsional.
Histori Termonologi Teologi Pembebasan
Pada
mulanya istilah teologi pembebasan atau liberation theology diperkenalkan oleh
para teolog Katolik di Amerika Latin pada pertengahan abad lalu. Para teolog
ini mau membedakan antara metode teologi pembebasan dengan teologi tradisional.
Teologi tradisional adalah teologi yang membahas tentang Tuhan sematamata, sementara
teologi pembebasan adalah cara berteologi yang berasal dari refleksi iman di
tengah realitas konkrit yang menyejarah. Yakni teologi yang memprihatini nasib dan
solider kepada mereka yang menderita ketidakadilan, kalah, miskin, ditindas dan
menjadi korban sejarah; teologi yang mau mentransformasikan dunia. Atau dalam
ungkapan Gustavo Gutierrez: This is a theology which does not stop
with reflecting on the world, but rather tries to be part of the process
through which the world is transformed. It is theology which is open in
the protest against trampled human dignity, in the struggle against the
plunder of the vast majority of humankind, in liberating love, and in
the building of a new, just, and comradely society to the gift of the
Kingdom of God. (Ini teologi pembebasan] adalah sebuah teologi yang tidak
hanya
merefleksikan
dunia, melainkan juga mencoba melakukan proses transformasi terhadapnya. Ia
[teologi pembebasan] adalah teologi yang berupaya untuk melawan pelecehan
terhadap martabat manusia, melawan perampasan oleh mayoritas, berupaya untuk
membebaskan cinta dan membangun suatu masyarakat baru yang adil dan penuh
persaudaraan untuk meraih rahmat dari Kerajaan Tuhan)(Alfred T. Hennelly, SJ,
1995: 16)
Ada
banyak macam penamaan yang secara subtansial amat dekat dengan gagasan teologi
pembebasan ini, diantaranya: teologi pemerdekaan (Romo Mangun), teologi Kiri
(Kiri Islam ala Hassan Hanafi), teologi kaum mustadh’afin, teologi kaum tertindas,
dan lain-lainnya. Masing-masing penamaan ini hendak mengartikulasikan suatu
cara beragama yang otentik, yang lahir dari situasi, sejarah dan keprihatinan atas
penderitaan kaum miskin dan tertindas. Oleh karena itu dengan pengertian tersebut
jelas sekali teologi pembebasan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan
bebas semau gue atau sikap permisif sebagaimana yang sudah
disalahpahami.
Anggapan seperti itu tentu saja salah alamat dan menunjukkan kebodohan saja.
ISLAM TEOLOGI PEMBEBABASAN DARI BERBAGAI TOKOH
Islam dan Teologi Pembebasan menurut Asghar Ali
Engineer
Dalam kajian sejarah Islam dan teologi pembebasan,
kita dapat melihat pokok-pokok pemikiran Engineer dalam salah satu karyanya Islam
and Its Relevance to Our Age (1987). Di sini, sebagaimana diungkapkan oleh
para pengkaji karya Engineer dan Engineer sendiri, kita juga dapat melihat
pengaruh Marxisme dalam analisa Engineer mengenai sejarah Islam dan konsepsinya
tentang teologi pembebasan. Menurut Engineer, kedatangan Islam di jazirah Arab
merupakan sebuah momen yang revolusioner. Perlu diingat, bahwa terdapat banyak
kontradiksi dalam masyarat Arab pra-Islam waktu itu: di satu sisi, masyarakat
Arab pra-Islam memiliki tradisi kesusastraan dan perdagangan yang kuat, namun,
di sisi lain, terdapat perbagai penindasan atas berbagai kelompok dalam
masyarakat tersebut – seperti perempuan, kelas bawah dan para budak. Yang
revolusioner dari ajaran Nabi Muhammad adalah tuntutan-tuntutannya yang
bersifat egalitarian: seruan atas tatanan sosial yang egaliter baik dalam
ritual (seperti shalat dan zakat), kehidupan sosial (penghapusan perbudakan
secara perlahan-lahan), ekonomi-politik (penentangan atas akumulasi kekayaan
dan monopoli ekonomi oleh sejumlah pedagang besar yang bersifat eksploitatif)
dan hubungan antar agama (dengan para penganut agama lain). Tetapi, seruan revolusioner
yang universal dari Al-Qur’an ini juga tidak melupakan konteks sosial
masyarakat Arab pra-Islam waktu itu: penghapusan perbudakan misalnya, dilakukan
secara gradual. Di sini, kita dapat melihat sebuah pola pembacaan yang menarik
dari Engineer: ada unsur teologis dan transedental dari sejarah munculnya
Islam, namun ia tidak menegasikan atau menafikan peranan manusia dalam membuat
sejarah itu. Pembacaan ‘materialis’ atas sejarah Islam ini juga mempengaruhi
rumusan Engineer mengenai teologi pembebasan. Engineer memulai pembahasannya
mengenai sejarah sosial berbagai variasi teologi pembebasan dalam Islam. Saya
menyebutnya sebagai ‘sejarah sosial’ karena Engineer tidak hanya membahas
pemikiran berbagai aliran teologis dalam Islam namun juga berusaha mengaitkannya
dengan konteks sosial-politik di mana aliran atau mazhab tersebut muncul.
Sejumlah aliran teologi yang dibahas oleh Engineer antara lain adalah
Mu’tazilah, Qaramitah dan Khawarij.
Alirah Mu’tazilah muncul di masa kenaikan Kekhalifahan
Abbasiyah yang menantang Kekhalifan Umayyah yang mulai bersifat eksploitatif
dan opresif. Kehalifahan Abbasiyah mendapat dukungan ‘dari bawah’ dari rakyat,
terutama kelompok-kelompok non-Arab, dan ‘dari atas’, terutama dari para elit
kelompok Persia. Karenanya, di masa awal perkembangan Kekhalifahan Abbasiyah,
iklim pemerintahannya cenderung lebih terbuka dan inklusif: cendekiawan Persia
diakomodir dalam kekuasaan, penerjemahan karya-karya sains dan filsafat dari
Yunani dan India dipromosikan dan hak-hak masyarakat non-Arab lebih diakomodir.
Dalam konteks inilah, aliran Mu’tazilah, yang mempromosikan teologi rasional
dan peranan usaha (ikhtiyar) serta kebebasan manusia dalam menentukan
nasibnya (Qadariyah), muncul. Ironisnya, ketika Kekhalifahan Abbasiyah
mulai bersifat opresif dan mempersekusi lawan-lawan politiknya, aliran
Mu’tazilah kemudian dijadikan dogma: aliran Mu’tazilah dijadikan paham teologi
resmi negara oleh Khalifah Al-Ma’mun, dan mereka yang menolak atau mengkritisi
beberapa ajaran dari Mu’tazilah tidak hanya dicap ‘sesat’ namun juga
‘pembangkang’ terhadap pemerintah dan dihukum. Imam Hambali, pendiri Mazhab
Hambali, bahkan tidak luput dari hukuman ini.
Islam teologi pembebasan menurut Ali Syari’ati
Pemahaman Islam yang ditawarkan Ali Syari’ati berbeda
dengan pemahaman maintreem saat itu. Islam yang dipahami banyak orang di masa
Syari’ati adalah Islam yang hanya sebatas agama ritual dan fiqh yang tidak
menjangkau persoalan-persoalan politik dan sosial kemasyarakatan. Islam
hanyalah sekumpulan dogma untuk mengatur bagaimana beribadah tetapi tidak
menyentuh sama sekali cara yang paling efektif untuk menegakkan keadilan,
strategi melawan kezaliman atau petunjuk untuk membela kaum tertindas
(mustad’afîn).
Islam yang demikian itu dalam banyak kesempatan sangat
menguntungkan pihak penguasa yang berbuat sewenang-wenang dan mengumbar
ketidakadilan, karena ia bisa berlindung di balik dogma-dogma yang telah dibuat
sedemikian rupa untuk melindungi kepentingannya.
Syari’ati berpendapat bahwa Islam lebih dinamis dari
pada agama lainnya. Terminologi Islam memperlihatkan tujuan yang progresif. Di
Barat, kata "politik" berasal dari bahasa Yunani "polis"
(kota), sebagai suatu unit administrasi yang statis, tetapi padanan kata
Islamnya adalah "siyasah", yang secara harfiyah berarti
"menjinakkan seokor kuda liar,", suatu proses yang amengandung makna
perjuangan yang kuat untuk memunculkan kesempurnaan yang inheren.
Islam, dalam pandangan Syari’ati bukanlah agama yang
hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hanya sekadar hubungan
antara hamba dengan Sang Khaliq (Hablu min Allah), tetapi lebih dari itu, Islam
adalah sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan:
" Adalah perlu menjelaskan tentang
apa yang kita maksud dengan Islam. Dengannya kita maksudkan Abu Zar; bukan
Islamnya Khalîfah . Islam keadilan dan kepemimpinan yang pantas; bukan Islamnya
penguasa, aristokrasi dan kelas atas. Islam kebebasan, kemajuan (progress) dan
kesadaran; bukan Islam perbudakan, penawanan dan pasivitas. Islam kaum mujâhid;
bukan Islamnya kaum ulama. Islam kebajikan dan tanggungjawab pribadi dan
protes; bukan Islam yang menekankan dissimulasi (taqiyeh) keagamaan, wasilah
ulama dan campur tangan Tuhan. Islam perjuangan untuk keimanan dan pengetahuan
ilmiah; bukan Islam yang menyerah, dogmatis, dan imitasi tidak kritis (taqlîd)
kepada ulama" .
Selanjutnya, gambaran Islam pembebasan ditegaskan
kembali oleh Syari’ati:
" Adalah tidak cukup dengan
menyatakan kita harus kembali kepada Islam. Kita harus menspesifikasi Islam
mana yang kita maksudkan: Islam Abu Zar atau Islam Marwan (bin. Affan), sang
penguasa. Keduanya disebut Islam, walaupun sebenarnya terdapat perbedaan besar
diantara keduanya. Satunya adalah Islam ke-khalîfah-an, istana dan penguasa.
Sedangkan lainnya adalah Islam rakyat, mereka yang dieksploitasi dan miskin.
Lebih lanjut, tidak cukup syah dengan sekadar berkata, bahwa orang harus
mempunyai kepedulian (concern) kepada kaum miskin dan tertindas. Khalîfah yang
korup juga berkata demikian. Islam yang benar lebih dari sekedar kepedulian.
Islam yang benar memerintahkan kaum beriman berjuang untuk keadilan, persamaan
dan penghapusan kemiskinan" .
Ali Syari'ati menyebut Islam sebagai agama pembebasan.
Islam, menurutnya, bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan
moral atau hubungan individual dengan Sang Pencipta, melainkan lebih merupakan
ideologi emansipasi dan pembebasan. Syari'ati juga mengatakan masyarakat Islam
sejati tak mengenal kelas. Islam menjadi sarana bagi orang-orang yang
tercerabut haknya, yang tersisa, lapar, tertindas, dan terdiskriminasi, untuk
membebaskan diri mereka dari ketertindasan itu.
Syariati mendasarkan Islamnya pada
kerangka ideologis. Dia memahami Islam sebagai kekuatan revolusioner untuk
melawan segala bentuk tirani, penindasan, dan ketidakadilan menuju persamaan
tanpa kelas. Syari'ati bahkan mencetuskan formula baru: ''Saya memberontak maka
saya ada.
Teologi Pembebasan adalah produk kerohanian. Dan harus
diakui, dengan menyertakan di dalamnya suatu doktrin keagamaan yang benar-benar
masuk akal, Teologi Pembebasan telah memberikan sumbangsih yang amat besar
terhadap perluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Doktrin masuk akal
itu telah membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional keagaman
yang mapan. Beberapa diantara doktrin itu adalah ; 1). Gugatan moral dan sosial
yang amat keras terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem
yang tidak adil dan menindas, 2) Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka
memahami sebab-musabab kemiskinan, 3) pilihan khusus pada kaum miskin dan
kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan, 4) Suatu pembacan
baru terhadap teks keagamaan, 5) Perlawanan menentang pemberhalaan sebagai
musuh utama agama 6) Kecaman teradap teologi tradisional yang bermuka ganda
sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis.
Sejalan dengan kerangka pikir gerakan teologi
pembebasan yang diusung oleh kalangan revolusioner di lingkungan agama
Katholik, Islam revolusioner atau Islam pembebasan kurang lebih mempunyai
kerangka pikir yang sama. Teologi pembebasan berbasis pada kesadaran rohani dan
Islam pembebasan juga berbasis pada kesadaran Islam sejati atau otentik.
Masing-masing mempunyai tujuan untuk menjadikan agama sebagai sarana untuk
memperjuangkan tegaknya keadilan, meruntuhkan segala sistem despotik dan
otoriter dan menjaga agar tidak ada penindasan di muka bumi ini.
Sebagaimana yang telah terekam dalam sejarah Islam,
bahwa kedatangan Islam adalah untuk merubah status quo serta mengentaskan
kelompok yang tertindas dan eksploitasi; mereka inilah yang disebut dengan
kelompok masyarakat lemah. Masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi
sebagian anggota yang lainnya yang lemah dan tertindas, tidak disebut sebagai masyarakat
Islam (Islamic society), meskipun mereka menjalankan ritualitas Islam. Ajaran
Nabi menyatakan bahwa kemiskinan itu dekat dengan kekufuran, dan menyuruh
umatnya untuk berdoa kepada Allah agar dapat terhindar dari keduanya.
Penghapusan kemiskinan merupakan syarat begi terciptanya masyarakat Islam.
Dalam hadis lain Nabi menyatakan, bahwa sebuah negara dapat bertahan hidup
walau di dalamnya ada kekufuran, namun tidak bisa bertahan jika di dalamnya
terdapat dhulm (penindasan).
Belajar
dari Teologi Pembebasan Amerika Latin
Teologi
pembebasan di Amerika Latin merupakan sebuah entitas gerakan sekaligus juga
doktrin. Gerakan ini muncul karena perpaduan dari perubahanperubahan internal
dan eksternal. Secara internal gerakan ini muncul berbarengan dengan
perkembangan aliran-aliran teologis dan keterbukaan terhadap perkembangan sains
sosial modern. Sementara secara eksternal ia didorong oleh dua situasi: pertama
adalah keterbelakangan, ketergantungan, keterpinggiranm ketertindasan dan kemiskinan
yang diakibatkan oleh proses industrialisasi sejak tahun 1950-an di seluruh benua
di bawah arahan modal multinasional; dan kedua meningkatnya perjuangan sosial,
gerakan-gerakan gerilya, pergantian pemerintah melalui kudeta militer dan
krisis keabsahan sistem politik, sejak meletusnya revolusi Kuba tahun 1959.
Gerakan
teologi pembebasan ini melibatkan sektor-sektor penting gereja (para romo,
pengamal tarekat atau ordo-ordo, para uskup), gerakan keagamaan orang awam,
keterlibatan pastoral yang merakyat serta kelompok-kelompok basis masyarakat
gereja yang menghimpun diri menentang sebab-sebab penghisapan dan penindasan,
atas dasar nalar moral dan kerohanian yang diilhami oleh budaya keagamaan
mereka. Dorongan moral dan keagamaan inilah yang merupakan faktor hakiki yang
menggerakkan semangat ribuan aktifis dalam serikat-serikat buruh, kerukunan-kerukunan
tetangga, dan front-front kerakyatan untuk melawan penindasan dan kemiskinan. Adapun
doktrin atau ajaran-ajaran penting yang menggerakkan mereka di antaranya adalah:
pertama, gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan
pada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan tidak beradab,
sebagai suatu bentuk dosa struktural. Kedua, penggunaan alat analisis Marxisme
dalam rangka memahami sebab musabab kemiskinan, pertentanganpertentangan dalam
tubuh kapitalisme dan bentuk-bentuk perjuangan kelas.
Ketiga,pilihan khusus bagi kaum miskin
dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan. Keempat,
pengembangan basis kelompok-kelompok masyarakat agama di kalangan orang-orang
miskin sebagai suatu bentuk baru keagamaan dan alternatif terhadap cara hidup
individualis yang dipaksakan oleh sistem kapitalis.
Kelima, suatu
penafsiran baru Kitab Suci yang memberikan perhatian penting pada bagian-bagian
yang mengusung paradigma perjuangan pembebasan rakyat yang diperbudak. Keenam,
perlawanan terhadap permberhalaan sebagai musuh utama agama, yakni
berhala-berhala baru: uang, kekayaan, kekuasaan, keamanan nasional, negara,
militerisme, peradaban Barat. Ketujuh, sejarah pembebasan manusia adalah
antisipasi akhir dari Keselamatan. Dan kedelapan, kecaman terhadap
teologi tradisional yang bercorak platonik yang memisahkan antara sejarah
kemanusiaan dan ketuhanan (Michel Lowy, 1999: 25-30). Dari susunan doktrin
teologi pembebasan di atas nampak jelas sekali bahwa gerakan tersebut tidak
semata-mata diilhami oleh spirit moral dan keagamaan, melainkan juga oleh
keterbukaan para pemrakarsa dan aktivisnya terhadap pemikiranpemikiran filsafat
dan ilmu-ilmu sosial modern, khususnya Marxisme. Rupanya karena itulah dalam
perjalanannya model teologi pembebasan ini juga banyak menerima kritik bahkan
cemoohan dan tentangan dari berbagai kalangan. Di antara para pengkritik sendiri
adalah para agamawan konservatif yang masih mempertahankan ortodoksi. Mereka
pada umumnya berada, berlindung dan mengambil untung dari kekuasaan yang ada
yang justeru lalim dan menindas, dan untuk itu mereka menggunakan dalil-dalil
keagamaan untuk mempertahankan status quo. Para pengkritik lain menganggap
teologi pembebasan cenderung menggunakan jalan kekerasan sebagai alat
perlawanan. Hal ini dipandang berkebalikan dengan nilai agama yang membawa
pesan cinta kasih dan perdamaian.Teologi pembebasan tentu sangat berbeda dengan
pandangan teologis kaum konservatif di atas yang menggunakan agama sebagai
instrumen status quo. Kaum konservatif telah memperlakukan agama sebagai candu
untuk mencapai kenikmatan sesaat, seraya mengabaikan panggilan profetik
kenabian yang bersolidaritas terhadap kaum miskin dan tertindas. Di tangan kaum
konservatif ini pulalah energi agama yang sesungguhnya menjadi kekuatan untuk
melawan kezaliman, ketidakadilan dan penindasan menjadi susut dan akhirnya
musnah.Konservatisme biasanya juga selalu berkarakter sempit dalam cara
berpikir dan tertutup dalam wawasan.
Mereka
menolak keterbukaan karena dianggap mengurangi kadar keimanannya. Sehingga
dalam beberapa kesempatan mereka menolak teologi pembebasan yang telah memakai
analisis kelas yang dikembangkan Marxisme. Bagi mereka konflik kelas dalam
Marxisme telah menyebabkan agama telah kehilangan watak spiritualitasnya
sekaligus menjadi sekadar gerakan sosial yang kerap diperjuangkan dengan
cara-cara kekerasan. Oleh pandangan-pandangan yang sempit inilah, lalu dalam
setiap wacana dan gerakannya teologi pembebasan banyak disalahpahami dan
dicibir. Bukannya menjadi sarana belajar dan refleksi kritis atas
praksis
untuk memperkaya pemahaman keagamaan yang sudah usang. Ada beberapa tokoh atau
teolog di Amerika Latin yang mulai membangun dan merumuskan teologi pembebasan.
Di antara mereka yang berpengaruh dan sedikit disinggung di sini adalah Gustavo
Gutierrez dan Joan Luis Segundo. Gutierrez dalam bukunya berjudul A Theology of
Liberation menyatakan: If faith is a comitment to God and to human
beings, it is not possible to believe in today world without a comitment to
the process of liberation. (Bila iman adalah suatu komitmen kepada Allah
dan umat manusia, maka mustahil keberimanan kita pada hari ini mengabaikan
komitmen kepada proses pembebasan umat manusia (dari segala kemiskinan dan
penindasan) (Alfred T. Hannelly, 1995: 11).
Di sini
jelas bagi Gutierrez bahwa pembelaan terhadap kaum miskin dan perlawanan
terhadap para penindas sesungguhnya adalah konsekuensi dari iman seseorang kepada
Allah. Iman seseorang tidak bermakna apapun tanpa keterlibatan dirinya dalam
praksis sosial dan sejarah. Karena bagi Gutieres, makna teologi itu sendiri
sebenarnya adalah suatu refleksi kritis terhadap praksis dalam terang Kitab Suci.
Oleh karena itu pula makna spiritualitas selalu terkait langsung dengan
tindakan. Gutierrez menunjukkan tiga karakteristik teologi pembebasan (Alfred
T. Hannelly, 1995: 12).
Pertama,
teologi pembebasan adalah pemahaman yang progresif dan terus menerus atas dasar
komitmen kemanusiaan dan keberimanan yang selalu hidup. Oleh karena itu teologi
sesungguhnya adalah praksis pembebasan dari belenggu ekonomi, sosial, politik,
dan dari sistem masyarakat yang mengingkari kemanusiaan dan dari kedosaan yang
merusak hubungan manusia dengan Allah.
Kedua,
teologi adalah sebuah refleksi yang lahir dari tindakan. Gutierrez menulis dalam
sebuah paragraf yang cantik: Theology is a reflection that is, a second act,
a turning back, a reflecting, that comes after action. Theology is not
first; the commitment is first. Theology is the understanding of
commitment, and the commitment is action. The central action is charity,
which involves commitment, while theology arrives later on. (Teologi
adalah sebuah refleksi, yakni suatu tindakan kedua, suatu gerak balik, sebuah
perefleksian yang dilakukan setelah bertindak. Jadi bukan teologi, melainkan komitmenlah
yang pertama. Teologi adalah hasil pemahaman dari komitmen, dan komitmen itu
adalah kesediaan untuk bertindak. Inti tindakan adalah kemurahan hati yang
disertai komitmen, setelah itu baru teologi hadir). Oleh karena itu teologi
harus menjadi kritis ketika berhadapan dengan masyarakat maupun terhadap
institusi keagamaan. Ia harus menjadi pembebas bagi kedua institusi sosial itu
dari berbagai macam ideologi, keberhalaan dan alienasi. Sehingga teologi itu
sendiri pada akhirnya akan memberikan orientasi dan inspirasi bagi aksi
tindakan selanjutnya. Inilah yang disebut dengan keberimanan dalam praksis sejarah,
keberimanan yang transformatif. Dan ketiga, setiap tindakan kita harus disertai
dengan refleksi untuk memberi orientasi masa depan yang diyakini dan diharapkan
dan koherensi agar ia tidak jatuh pada aktivisme.
Meskipun
Gutierrez telah memberikan ancangan rumusan metode teologi pembebasan, baru
kemudian Juan Luis Segundo yang berhasil mensistematisasi rumusan metodologi
teologi pembebasan. Sistematisasi inilah yang nantinya menjadi acuan berbagai
metode teologi-teologi pembebasan (liberation theologies) lainnya di dunia.
Dalam salah satu tulisannya Two Theologies of Liberations, ada
pernyataan menarik dari Segundo yang dikutip oleh Michel Lowy (Michel Lowy,
1999). Ia menyatakan, Jangan lupa kita hidup di tanah-tanah yang paling agamis
dan di tanahtanah yang paling tidak berprikemanusiaan. Pernyataan ini tampaknya
menyembunyikan tapi sekaligus menyingkap suatu ironi. Bagaimana mungkin penindasan
justeru terjadi dalam masyarakat yang mayoritas beragama yang meyakini bahwa
ajaran agamanya melawan ketidakadilan dan penindasan.
Mengapa
tidak ada protes atau perlawanan atas kondisi ini dari pihak kaum agamawan?
Apakah kaum agamawan buta atau membutakan diri terhadap situasi yang ada?
Segundo menyadari bahwa ketidakmampuan mengambil sikap yang diperlihatkan para
agamawan itu disebabkan ketidakmampuannya melihat persoalan sosial dan
menganalisis struktur-struktur penindasan yang ada. Bukan hanya itu, berlanjutnya
penindasan karena agama mengalami impotensi karena pemahaman terhadap teologi
dan kitab suci didominasi oleh tafsir yang justeru tidak sensitif terhadap
persoalan masyarakat tertindas. Oleh karena itu menurutnya perlu dilakukan deideologisasi
terhadap realitas sosial dan superstruktur serta deideologisasi terhadap interpretasi
kitab suci, agar iman kita bisa merespon situasi konkrit penindasan dan ikut berjuang
bersama-sama kaum tertindas melawan para penindas.Kebekuan agamawan dalam
merespon situasi konkrit ini mendorong Segundo untuk menawarkan metode berteologi
yang bukan hanya sebagai usaha ortodoksi tapi juga suatu ortopraksis. Yang
dimaksud adalah bahwa berteologi bukan hanya untuk memperteguh dan memantapkan
ajaran, tapi juga menjadikan pengalaman konkrit sebagai basis menerapkan sebuah
rumusan ajaran.
KORELASI
ISLAM TEOLOGI PEMBEBASAN DENGAN GERAKAN PMII
Dari
wacana islam sebagi teologi pembebasan inilah pada masa 1990 an menjadi bahan
dialektik dan reflektif dalam mencetuskan “ paradigma
menggiring arus masyarakat pinggiran “ sebagai pisau anlisis dan strategi
gerakan dalam membela kaum mustad’afin serta sebagai alat tekan kepada
pemerintah 0rba yang mengekang kebebasan demokrasi dan cenerung mengabaikan
rakyat sipil dengan berbagai kebijakanya maka lahirlah reformasi sebagai puncak
gerakan dalam meruntuhkan rezim 0rba tersebut. Bahkan sampai saat ini materi
ini masih menjadi salah satu item materi wajib dalam setiap pendidikan
pengkaderan sesuai jenjangnya untuk memunculkan nalar kritis.
PMII
sebagai basic gerakan mahasiswa yang menjunjung tinggi asas intelektual
religius dan juga national relegius harus mampu mengilhami dari sekian banyak
varian pemikiran kritis sebagai bahan refleksi dalam menstrukturisasi gerakanya
sesuai paham yang di anutnya yaitu Ahlu Sunnah wal jama’ah (ASWAJA) yang berpeggang pada mabbadi’ul khomsah yaitu
tawazun dan tawashut dalam pikiran, tasamuh dan ta’adul dalam tindakan sebagai
bentuk amur ma’ruf nahi mungkar. dan aswaja inilah yang menjadi ideologi islam
sebagia teologi pembebasan yang di miliki PMII karena menjadi ruh pergerakan.
KESIMPULAN
Semangat
kritis dalam berdialektika dan peka terhadap realitas sosial hal inilah yang
paling dibutuhkan bagi setiap kader-kader PMII untuk menjawab tantangan zaman
bukan larut dalam arus zaman yang akan menghegemoni dan membekukan pemikran
sehingga gerakan PMII menjadi tumpul dan terjebak pada arus kekuasaan.
Tanpa
sadar kader-kader PMII sudah tidak mampu merasakan sindiran-sindiran Tuhan yang
termaktub dalam ayat-ayat suci al-Qur’an yang mempertanyakan eksintensi
pemikirannya dan ke-peka-anya. Afala ta’qilun, afala ta’lamun, afala
tangdlurun, afala tatafakkarun dan afala-afala yang lain sampai pada afala
ta’malun.
W allaahul muwaffiq ila aqwamith-thorieq
Untukmu satu tanah airku, untukmu satu keyakinanku
DAFTAR PUSTAKA
Shimogaki
Kazuo, Kiri Islam Antara Modrnisme dan Posmodernisme; Yogyakarta LkiS, 2012
Nur Sayyid
Santoso Kristeva, Manivesto Wacana Kiri; Yogyakarta LkiS, 2012
Engineer, A. A. (1987). Islam and Its Relevance to Our
Age. Kuala Lumpur: Ikraq.
Engineer, A. A. (1989). The Muslim Communities of
Gujarat. Delhi: Ajanta Publications.
Engineer, A. A. (2006). The Rights of Women in Islam.
In A. I. Alwee, & M. I. Taib, Islam, Religion and Progress: Critical
Perspective (pp. 161-177). Singapore: The Print Lodge Pte. Ltd.
Engineer, A. A. (2009). Governance and Religion: An
Islamic Point of View. In C. Muzaffar, Religion and Governance (pp.
109-119). Selangor Darul Ehsan: Arah Publications.
Engineer, A. A. (2009). Islam dan Pluralisme. In D.
Effendi, Islam dan Pluralisme Agama (pp. 25-41). Yogyakarta :
Interfidei.
Stepan, A. C. (2000). Religion, Democracy, and the
“Twin Tolerations”. Journal of Democracy, 11 (4), 37-57.
The Oxford Encyclopedia of the Modern
Islamic World, Esposito: 2001, 294
Ekky Malaky, Ali Syari’ati ; Filosof Etika
dan Arsitek Iran Modern. (TERAJU;Jakarta, 2004)
Ali Rahnema, "Ali Syari’ati: Biografi
Politik Intelektual Revolusioner (Jakarta:Erlangga, 2002)
Azyumardi Azra, Pergolakan Islam Politik;
Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina,
1996)
Muhammad Nafis, "Dari Cengkeraman
Penjara Ego Memburu Revolusi: Memahami "Kemelut" Tokoh
Pemberontak", dalam M. Deden Ridwan (ed.), Melawan Hegemoni Barat: Ali
Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia (Jakarta: Penerbit Lentera, 1999)
Ali Syari'ati, Ideologi Kaum Intelektual:
Suatu Wawasan Islam, Mizan, Bandung, 1985)
Robert D. Lee, "Ali Shari’ati",
dalam Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal, Hingga Nalar Kritis
Arkoun, terj. Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 2000)
Michael Lowy, Teologi Pembebasan
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan:
Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya (Yogyakarta: LkiS, 2000)
Komentar